Dilarang Mencari Nafkah

By nova.id, Rabu, 30 Januari 2013 | 07:54 WIB
Dilarang Mencari Nafkah (nova.id)

Banyak hal positif yang bisa diperoleh pasangan muda seperti Jeng Ayu, karena tinggal bersama orangtua. Ada yang membantu mengasuh anak. Kakek dan nenek mana, sih, yang tidak sayang cucunya? Bila hemat, pasangan muda bisa menabung karena tak perlu membayar kontrak rumah, misalnya.

Akan tetapi, di sisi lain, yang paling sering terjadi, pasangan ini lalu kehilangan banyak kesempatan untuk menguji sampai di mana tingkat kemandirian mereka.

Kalau tinggal bersama orangtua, bukankah masih bisa menumpang makan? Artinya, tak perlu belanja keperluan sehari-hari? Rekening listrik dan air juga tak perlu dipikirkan, misalnya. Konflik dengan pasangan? Selalu ada mama atau papa yang membantu menyelesaikan masalah.

Singkat kata, motivasi memiliki hal-hal yang bisa mendukung perasaan otonomi dan kemandirian sebagai keluarga akan cenderung rendah. Toh, kebutuhannya memang tidak terlalu terasa. Untuk apa mau beli mobil? Setiap saat bisa, kok, memakai salah satu mobil milik orangtua.

Secara psikologis, kematangan mental suami-istri juga kurang terasah dibandingkan mereka yang sejak menikah sudah bertekad mandiri dan berpisah dari orangtua. Kalau tinggal dengan keluarga istri, suami yang belum berdaya sebenarnya tidak happy. Biasanya, suami akan kurang betah di rumah dan mencari-cari alasan untuk pulang setelah mertuanya tidur.

Sebaliknya, tinggal bersama orangtua suami juga membutuhkan seni. Apalagi kalau hubungan suami dan ibunya memang dekat. Wah, menu masakan pun tetap didominasi ibu mertua. Sedih, ya, menjadi istri tetapi hanya punya sedikit keleluasaan untuk melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan demi menyenangkan hati suami.

Kalau Anda katakan gaji suami sedikit tetapi merokoknya kuat dan senang main game, bukankah ini pertanda ia mempunyai banyak keleluasaan memakai gaji untuk kesenangan tanpa perlu khawatir kebutuhan pokok istri dan anaknya bisa tak terpenuhi? Saya menduga, ini salah satu alasan kenapa ia tak mengizinkan Anda bekerja. Toh, uang tidak kurang, kan?

Keresahan Anda, hemat saya, lebih karena Anda tidak "memegang" uang yang Anda cari sendiri dan bisa dibelanjakan sesuai keinginan. Rasa jengkel kemudian muncul ketika suami ternyata membelanjakan uang dengan cara yang tidak sesuai harapan Anda. Tapi, apa daya, dia yang cari, kan? Tidak enak, tentunya.

Bagaimana kalau Anda bicara lagi dengan suami. Tetapi, kali ini kemukakan alasan Anda yang sebenarnya? Jangan gunakan kata-kata yang seakan-akan memberi kesan Anda meragukan kemampuannya mencukupi nafkah. Jangan katakan kurang, tapi katakan Anda ingin lebih leluasa. Jangan katakan bosan menunggu diberi orangtua, tapi katakan Anda ingin bisa merasa bangga atas jerih payah sendiri.

Sebenarnya, saran paling utama adalah cobalah berumah tangga benar-benar terpisah dari orangtua kedua belah pihak. Kontrak rumah pada awalnya, tetapi canangkan rencana memiliki rumah sendiri. Nanti akan terasa betapa nyamannya kalau tinggal terpisah dari orangtua. Suami pun mau tak mau akan lebih dewasa karena setiap rupiah yang ia bakar melalui rokoknya, patut ia perhitungkan agar anak dan istri tetap hidup layak.

Saya tak tahu, apakah Anda juga memperoleh subsidi keuangan bulanan dari orangtua. Saya sudah banyak menyaksikan, Jeng Ayu, betapa uang itu bisa sangat berkuasa di kondisi seperti ini. Seseorang yang saya kenal, suaminya anak orang kaya, akan tetapi memilih karier sebagai ilmuwan. Setiap hari Sabtu, ia harus menyetir mengantarkan kedua anaknya untuk menjenguk kakek dan neneknya, dan baru boleh pulang keesokan harinya, hari Minggu.

Dia sangat tersiksa. Melelahkan secara fisik dan secara psikologis, ia kehilangan banyak waktu yang sebenarnya bisa dipakai untuk berkumpul sebagai keluarga. Melawan? Mana berani, karena supply bisa dihentikan Sang Mertua Perempuan yang sangat feodal dan gila hormat itu.

Jadi, ia bilang, orang lain melihatnya bahagia dan nyaman. Padahal ia tertekan, marah, tetapi tak berani lepas dari dukungan keuangan mertua. Akibatnya, anak-anak cenderung ia kerasi. Alhasil, ia marah setiap hari serta membentak dan berteriak untuk alasan sepele kepada anak-anaknya. Setelah itu, ia menangis memeluk mereka karena merasa bersalah.

Kalau sudah begini, aspek disiplin yang rusak karena tidak konsisten menerapkan apa yang boleh dan tidak boleh. Anak-anak pun bingung dan takut tapi tidak patuh kepada mamanya. Mudah-mudahan hal seperti ini tidak terjadi kepada Anda, ya?

Jangan menangis apalagi meratap karena tak akan ada yang berubah. Berbuatlah, tetapkan tujuan perkawinan bersama suami. Hari demi hari, evaluasilah sampai mana Anda berdua berhasil mewujudkannya. Anda berdua juga harus lebih banyak mengeratkan hubungan dengan mengembangkan sikap saling memahami. Tak kalah penting, buatlah pasangan nyaman serta mau mendengarkan harapan dan keinginan istrinya (bagi suami). Mudah-mudahan dengan kedewasaan yang makin meningkat, kebiasaan-kebiasaan kekanak-kanakan seperti main games yang berlebihan dapat ia kurangi.

Sekali lagi lakukan sesuatu. Jangan putus asa dan pasif, perbanyak kata-kata penuh kasih sayang bila bicara kepada suami. Mudah-mudahan, di saat suami makin nyaman, ia akan makin percaya Anda dan memberi izin bekerja. Di rumah juga tak apa-apa, kan? Jeng Ayu pasti bisa, maka jangan tunda lagi, ya? Salam sayang.