Suatu saat, ada guru yang saat menerangkan pelajaran, matanya selalu memandang ke atas. Eh, aku bisa-bisanya berkomentar, "Bu, ada apa di atas?" Wah, aku dikira meledek. Langsung saja aku disetrap, disuruh berdiri di depan kelas. Hahaha...
Selebihnya, aku termasuk anak yang baik-baik saja. Bahkan, aku aktif di kelompok paduan suara sekolah. Sering, lho, kelompok paduan suaraku tampil di sejumlah acara. Salah satunya mengisi acara di gereja.
Tingkahku di kelas dan di rumah sama saja. Aku disebut si pembuat ramai. Maklum, adik lelakiku tergolong pendiam. Sering aku ngerjain adikku. Waktu SD aku dan adikku main bergaya Superman. Aku mendandani adik, memasang jubah dan mengangkatnya, seolah-olah dia terbang. Tapi, aku melepaskan adik begitu saja. Tentu saja adik jatuh dan menangis. Aku hanya bilang, "Dik, jangan nangis, ya."
Di luar itu, aku dan adik tergolong kompak. Maklum, usia kami tak berbeda jauh. Sering kami main sama-sama. Hobi kami pun sama, yaitu baca komik. Saat itu, zamannya komik Eropa seperti Tintin, Asterix.
Aku juga senang banget baca komik wayangnya R.A. Kosasih. Bahkan, sampai kini komik-komik itu masih tersimpan rapi. Kalau aku sekadar baca, adikku suka menggambar komik.
Bicara soal prestasi akademis, aku termasuk biasa-biasa saja. Enggak pernah masuk ranking 5 besar, papan bawah pun tidak. Aku pun tak pernah tinggal kelas. Jadi, meski di tengah-tengah, tapi masih oke-lah.
Ikut tim basketDi masa SMP, selain hobi nyanyi, aku juga gemar main basket. Kebetulan fasilitas olahraga di sekolah memang nyaris lengkap. Ada lapangan basket, voli, dan kolam renang. Semua cabang olahraga di sekolah kuikuti, tapi aku paling menggandrungi basket. Aku termasuk tim inti di kelas. Saat ada pertandingan basket antarkelas, aku selalu ikut main.
Soal ngobrol di dalam kelas dan bikin gaduh, aku juaranya. Hahaha... Beberapa kali aku ditegur guru gara-gara asyik bercerita sendiri. Tanpa ampun, aku dihukum guru. Bahkan, sampai dipanggil kepala sekolah. Artinya, guru kelasku sudah menyerah melihat kelakuanku. Anehnya, aku enggak pernah kapok.
Selanjutnya, aku masuk SMA Negeri I Bandung. Tak lama masuk sekolah, Bapak pindah tugas ke Surabaya. Aku, ibu, dan adik-adik masih di Bandung, sementara Bapak cari tempat tinggal dan sekolah. Maksudnya, saat kami boyongan ke Surabaya, semua sudah siap. Dua bulan setelahnya, barulah kami pindah ke Surabaya pada 1992.
Aku pun meneruskan sekolah ke SMA 6 Surabaya. Aku benar-benar harus melewati proses adaptasi. Soalnya, lingkungan sekolah di Bandung dan Surabaya beda banget. Aku yang sudah terbiasa berbahasa Sunda, tiba-tiba bertemu lingkungan yang berbahasa Jawa.