Tommy Tjokro: Si Tukang Bikin Gaduh Yang Kerap Dihukum (1)

By nova.id, Selasa, 16 Februari 2010 | 09:12 WIB
Tommy Tjokro Si Tukang Bikin Gaduh Yang Kerap Dihukum 1 (nova.id)

Tommy Tjokro Si Tukang Bikin Gaduh Yang Kerap Dihukum 1 (nova.id)
Tommy Tjokro Si Tukang Bikin Gaduh Yang Kerap Dihukum 1 (nova.id)

"Semasa balita, aku sudah memberi banyak PR kepada orangtua. "

Di sebuah kota kecil di Braunschwigh, Jerman aku dilahirkan sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pada 10 Juli 1977. Orangtuaku, pasangan Tjokro Supriadi dan Sri Watiningdyah, memberiku nama Tjokro Utomo.

Di Jerman pula adik lelakiku, Tjokro Prasetyadi lahir, sedangkan si bungsu Dyah Katinka Listioriny lahir di Indonesia. Tjokro adalah nama keluarga kami. Semua lelaki di keluarga besar kami pasti memakai nama depan Tjokro.

Sejak kecil, aku biasa disapa Tommy. Itu sebabnya, aku menggunakan nama Tommy Tjokro. Sebenarnya, tak banyak yang kuingat tentang masa kecilku di Jerman. Maklum, aku tinggal di sana hanya sampai usia 4 tahun.

Aku "numpang" lahir di Jerman karena kebetulan orangtuaku sedang menimba ilmu di sana. Ceritanya, Bapak yang kala itu berusia 25 tahun, baru saja menikah dengan Ibu. Bapak kuliah di jurusan Teknik Mesin di Jerman dan memboyong Ibu tinggal di sana.

Dari cerita orangtua, semasa balita aku dikenal sebagai anak yang tak bisa diam. Sedikit saja orangtua lengah, aku bisa lari ke mana-mana. Suatu kali aku pernah diajak ke suatu pasar malam. Aku pernah menghilang dari pandangan orangtua, menyelinap di antara banyak orang. Wah, mereka sempat cemas. Eh, ketika sudah ketemu, aku hanya tertawa-tawa.

Pernah juga aku "terjebak" di lift. Sebenarnya, sih, aku bersama orangtua. Hanya saja ketika pintu lift terbuka, orangtuaku keluar tapi aku diam saja. Malah memencet tombol naik. Rupanya, orangtua kurang waspada. Akupun meluncur di dalam lift menuju lantai atas.

Kabarnya, sih, cukup lama aku tertinggal di dalam lift. Lagi-lagi ketika ditemukan, aku hanya tertawa-tawa. Orangtua sampai berkomentar, "Wah, anak pertama sudah memberi banyak PR."

Memang, sih, aku dikenal sebagai anak pemberani dan ramah. Aku suka menyapa orang. Keramahanku membawa berkah. Karena senang melihat sikapku, aku sering mendapat makanan gratis dari orang-orang yang kusapa. Misalnya saja permen dan kue-kue. Duh, senangnya.

Hobi komik wayangSetelah Bapak menyelesaikan studi, kami pulang ke Jakarta. Bapak bekerja di IPTN, Bandung. Selama setahun Bapak bolak-balik Jakarta-Bandung. Setelah dua tahun tinggal di Jakarta, kami sekeluarga sepakat untuk pindah dan menetap di Bandung.

Di sanalah aku menghabiskan masa kecilku. Aku bersekolah di SD dan SMP Katolik, meski aku sendiri Muslim. Bapak melihat, sekolah Katolik lebih menonjol dalam hal disiplin. Semasa SD, "bakatku" yang tak bisa diam masih melekat.

Pernah, Ibu berjanji mau menjemputku sepulang sekolah. Lonceng pelajaran terakhir berbunyi, aku sudah bersiap pulang. Namun, Ibu belum datang juga. Dasar tak bisa diam, aku enggak sabar menunggu Ibu. Aku berani, lho, jalan kaki pulang sendirian ke rumah. Jarak Sukajadi (lokasi sekolah) - sampai rumah di Geger Kalong, sebenarnya cukup jauh.

Ibu sempat bingung mencariku. Saking jengkelnya, Ibu menghukumku. Aku dimasukkan ke kamar mandi. Bukan takut, aku hanya tersenyum simpul. Bahkan, mungkin karena kecapekan, aku malah tidur di kamar mandi. Ibu hanya bisa mengelus dada.'

Henry Ismono

Foto-foto: Repro Dok. Pribadi, Daniel Supriyono/NOVA