Cara Merawat Anak Ekspresif

By nova.id, Rabu, 10 Oktober 2012 | 23:54 WIB
Cara Merawat Anak Ekspresif (nova.id)

Cara Merawat Anak Ekspresif (nova.id)

"Ilustrasi "

1. Kembangkan Praktek Pengasuhan

Seorang bayi perlu menjadi anak terlebih dahulu untuk dapat mengekspresikan perasaan. Inilah sebabnya  penting bagi para orangtua menjadi responsif terhadap isyarat bayi.

Bayi berusia satu bulan akan menangis untuk mengekspresikan kebutuhan makan maupun digendong. Sayangnya, kerapkali orangtua tak menangkap isyarat ini. Kendati beberapa orangtua juga mampu menanggapi secara sensitif isyarat bayi. Sementara, bayi juga belajar tentang impuls yang memiliki makna. Tangisan dimaknai bayi sebagai sebuah upaya membawa tanggapan yang menghibur dari orangtua. Kemudian, bayi juga akan belajar mengarahkan kebutuhan dalam hal-hal baik.

Menjadi terbuka dan responsif terhadap isyarat bayi, juga dapat menegaskan ekspresi diri bayi. Ketika orangtua mengantisipasi kebutuhan dengan  menanggapi sinyal pra menangis, bayi belajar lebih banyak  cara  mengekspresikan diri sendiri. Bayi kemudian memahami jika dirinya tidak harus menangis untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan.

Hal ini membuat bayi lebih mampu menikmati berada bersama lingkungannya. Dimana bayi  menyadari, ada jaminan orang tuanya akan terus  bersikap simpatik dengan kebutuhan. Bayi yang terhubung dengan orangtuanya akan menjadi  anak yang mampu mengenali dan menunjukkan perasaan yang terdalam. Sebaliknya, bayi yang terputus dari koneksi dengan orangtuanya akan sulit menyatakan apa yang dirasakan.

Mengupayakan anak yang ekspresif juga dapat dirintis dengan mengupayakan penjadwalan. Bayi yang dirawat terjadwal, dibiarkan saja  menangis, dan  diperlakukan terlalu disiplin (karena ketakutan berlebih akan dampak memanjakan anak, Red.), akan belajar secara awal  tentang dunia pengasuhan yang tidak selalu responsif terhadap kebutuhan. Dia akan belajar  berhenti bertanya.  Begitu pula, akan berhenti mengungkapkan dan mengidentifikasi perasaan di usia dini.  Pada permukaan, bayi akan belajar memperlihatkan dirinya sebagai "orang baik" yang tidak mengganggu siapapun. Bayi akan menyesuaikan jadwal secara fleksibel, tidur sepanjang malam dan berusaha nyaman dengan sekitar. Anak yang dipaksa dan ditekan secara internal ini akan menyimpan kemarahan di dalam dirinya. Ia boleh saja nampak "baik" dan "cukup disiplin". Sayangnya ini bukan sebuah perkembangan yang baik.

Atau, bukan bayi yang "baik" yang didapat, justru bayi "pemarah" yang kerap menangis keras ketika menerima jawaban. Mereka berubah lebih menjengkelkan dan marah secara terbuka. Bayi-bayi ini akan menjadi anak yang sulit dihadapi. Ketika kemarahan ini terbawa hingga dewasa, anak-anak ini justru berisiko berakhir di kantor konsultan psikologi.

2. Dorong Perasaan Balita

Bayi yang ekspresif dan orangtua yang responsif menjadi kombinasi terbaik bagi masa balita.  Ini karena  bayi  belajar mendengar dan menerjemahkan isyarat pada tahun pertama, sehingga  lebih mampu mengekspresikan dirinya.

Setelah bayi  tumbuh  lebih besar dan memiliki kebutuhan yang lebih besar,  bayi  belajar  mengekspresikan kebutuhan  yang berhubungan dengan perasaannya. Beberapa Ibu memberitahu, mereka kesulitan memahami balita karena mereka tak memiliki cukup kosakata yang dapat dipahami. Lalu beberapa Ibu juga menuntut balitanya mampu "mengatakan" sesuatu yang dibutuhkannya. Sayangnya, beberapa balita justru "mengatakan" keinginannya dengan ekspresi di mata. Dan, balita tahu persis apa yang ingin diberitahukannya kepada Anda. Mata mereka seringkali lebih fasih berbicara daripada lidahnya. Mata balita mampu berbicara "sejujur jiwanya" kendati kerap mengungkapkan kata-kata secara kacau.

3. Upayakan Lebih Mendekat

Balita adalah manusia kecil dengan kebutuhan yang besar. Sayangnya, mereka masih  memiliki kemampuan terbatas untuk berkomunikasi. Sebagai orangtua, cobalah membantu mereka.

Buatlah kontak mata dengan mereka ketika berbicara. Cobalah lebih mencurahkan perhatian ketika  tidak mengerti apa yang sedang  balita Anda coba katakan. Berikan pula cukup apresiasi dengan isyarat tubuh seperti menganggukkan kepala, kontak mata, dan tepukan lembut di bahu. Bahkan disaat Anda sedang sangat sibuk dan sulit berbicara dengan bertatap mata, cobalah lakukan kontak suara dengannya. Ingat, anak belum cukup dewasa untuk memahami mengapa orang dewasa sangat sibuk dengan kebutuhannya. Mereka hanya ingin Anda berbicara dengannya. Karena itu cobalah berbicara "katakan pada mama, apa yang kamu inginkan..." dan anak akan merasa Anda peduli padanya.

Seorang anak berusia dua tahun dan jarinya terluka, menjerit histeris pada Ibunya. Sang Ibu pun memeriksa lukanya lalu berkata, "Tunjukkan mana yang sakit. Seberapa buruk lukamu, sayang?."  Kendati dirinya mengetahui, luka itu tidak separah  jeritannya, namun tindakannya  melihat ke dalam mata dengan simpatik dan  memeriksa jarinya menunjukkan sensitivitas dirinya sebagai orangtua.  Setelah Ibu selesai membalutkan plester elastis dan membereskan lukanya, lalu memeluk sang anak beberapa menit sebelum mengalihkan perhatian ke hal lain. Orangtua  kerap kali tak ingin membuat hal-hal sepele menjadi besar, sedangkan anak-anak terkadang over sensitif dengan hal-hal yang terjadi pada tubuhnya. Dalam sudut pandang seorang anak, hal-hal kecil seperti tertusuk peniti adalah sebuah pengalaman yang traumatis. Ia membutuhkan perban untuk membalut lukanya. Jadikan momen-momen  semacam ini sebagai kesempatan lebih dekat pada anak-anak.

4. Hindari Menasehati

Anak-anak memang kerap  menjengkelkan, melelahkan, dan benar-benar mengganggu ketika mereka berlebihan. Sadarilah, anak-anak memang lazimnya begitu. Mereka kerap melakukan pertunjukan dramatis  di waktu yang kurang tepat. Namun demikian, peristiwa "kecil" ini penting bagi mereka.

Jangan menasehati anak ketika dirinya marah. Ketika anak marah dan duduk menyendiri, cobalah lihat ke dalam mata dan berikan waktu baginya untuk mengekspresikan diri. Tahan keinginan untuk membongkar kemarahannya. Umumnya orangtua justru ingin marah, menghakimi dan sok logis ketika anak sedang marah. Anak-anak belum tentu memiliki cara pandang yang reseptif untuk menerimanya. Penyampaian orang dewasa justru membuat anak-anak menekan perasaannya.

Menasehati akan memberi pesan Anda tidak dapat menerima emosinya. Ini akan membuat anak bungkam. Anak jug akan kehilangan kemampuan mengekspresikan dirinya dan Anda pun menjadi orangtua yang kurang dapat menerima sehingga anak tidak bisa terbuka pada Anda.

Laili/ dari berbagai sumber