Alfito Deannova (3): Jodoh Sesama Jurnalis

By nova.id, Jumat, 29 Januari 2010 | 06:30 WIB
Alfito Deannova 3 Jodoh Sesama Jurnalis (nova.id)

Alfito Deannova 3 Jodoh Sesama Jurnalis (nova.id)
Alfito Deannova 3 Jodoh Sesama Jurnalis (nova.id)
Alfito Deannova 3 Jodoh Sesama Jurnalis (nova.id)

"Istri dan kedua putriku. Jika anak-anak ingin sesuatu, mereka harus berusaha dulu untuk mendapatkannya. (Foto: Dok. Pri) "

Bicara soal liputan yang menegangkan adalah saat bersama Ali Imron, terpidana kasus bom Bali. Aku meminta izin resmi untuk meliput dia dengan tujuan hendak menyosialisasikan dampak negatif teror. Jadi, aku harus cerita dari yang paling dasar, bagaimana dia termotivasi lalu tobat. Dikemas sedemikian rupa agar orang paham, caranya dengan melakukan dialog. Akhirnya aku jalan bersama Ali Imron, yang tentu saja dikawal.

Ini pengalaman paling mahal bagiku dan menegangkan. Karena harus berhati-hati dalam mengakomodir banyak pihak, jangan terlalu memojokkan apa yang dilakukan Ali Imron. Tapi kalau dua pihak bilang aku ngaco, berarti kerjaku sudah benar karena dua-duanya merasa terganggu. Yang paling sulit memuaskan kedua belah pihak. Jangan sampai yang satu merasa bersyukur dan pihak lain terbebani berarti aku enggak balance. Tapi kalau keduanya marah berarti sudah benar.

Ketika di tahun ke-7 aku bekerja di SCTV, aku mulai resah karena aku merasa sudah menguasai bidang ini. Takut pengetahuanku mentok di situ-situ saja, aku memutuskan mengambil S2 Komunikasi Politik di UI. Sibuk bekerja pun lantas membuatku enggak punya kesempatan membaca. Aku berpikir kalau mengajar berarti aku harus membaca dan mendalami materi kuliah. Akhirnya, aku melamar ke Universitas Paramadina dan Al Azhar sebagai dosen. Kalau di Universitas Pancasila aku ditawari mengajar. Aku mengajar Teori Komunikasi, kebanyakan Teve Production dalam konteks broadcast.

Memang beda ya dunia mengajar dan teve. Mengajar ketemu murid, langsung ada feedback. Sementara di teve seolah-olah kita bagus karena ukurannya rating, padahal ada unsur lain yang mendukung. Saat mengajar lebih "telanjang" karena enggak harus ber-make-up. Di teve sebagai fasilitator, sedangkan di kelas sebagi sumber, jadi enggak boleh asal omong.

Jodoh Sesama JurnalisBicara soal keluarga, pertama kali aku bertemu istri, Rencany Indra Martani saat liputan sidang istimewa Gus Dur. Waktu itu dia bekerja di TPI. Begitu kenal langsung cocok, kami pun menikah. Sosok Cany, orangnya enggak terlalu banyak menuntut, memberikan ruang toleransi buatku. Dia tahu aku enggak macam-macam, makanya dia enggak menuntut macam-macam. Mau makan di kaki lima, ayo, enggak harus dibelikan barang mewah. Aku yang dulunya sering hidup sendiri, lalu dapat pendamping yang mau melayaniku, bagiku itu mahal banget. Apalagi sampai menyiapkan makan, obat kalau aku sakit, pakaian ketika berangkat kerja, bagiku luar biasa.

Aku berpacaran serius cuma dua kali, meski sejak SMP sudah kenal cewek. Ya, sebatas begitu saja, kalau pacaran hanya ngobrol. Begitu juga di SMA, enggak pernah ngajak nonton, karena ayahnya enggak membolehkan kami pacaran. Kalaupun ngajak nonton, mau pakai uang siapa? Hahaha. Saat di SK pernah pacaran tapi putus karena dia menjalin hubungan dengan orang lain. Nah, begitu ketemu Cany, pas. Namanya juga unik.

Tak hanya namanya, sosok Cany pun unik, karena dulunya dia mantan model. Bahkan dia menjadi salah satu finalis Elite Model. Dunia tersebut sangat bertolak belakang ketika Cany memilih menjadi jurnalis. Sekarang Cany sedang hamil 5 bulan, setelah memberikan dua putri yang cantik-cantik, Laqisya Phillianova Gintings (6) dan Lavere Fallenova Gintings (2). Dia memutuskan pindah kerja ke bidang keuangan karena dunia sebelumnya tidak ideal buat ibu rumah tangga. Aku bilang sebenarnya mau berhenti juga enggak apa-apa. Tapi kalau bisa jangan, karena kalau berhenti pasti menggangguku. Hahaha.

Wajib Berbahasa IndonesiaKonsep keluarga yang kami jalani tentu saja mementingkan agama. Lalu, cari sekolah yang bagus, harus bilingual, Inggris dan Indonesia. Aku bilang ke istri, boleh-boleh saja anak sekolah di sekolah bilingual, tapi syaratnya jangan minta aku bicara bahasa Inggris dengan mereka. Bagiku berbahasa Inggris dengan anak justru membuat hubungan kami enggak penuh kasih sayang. Karena bahasa Inggris buatku hanya untuk cari duit. Sedangkan dengan anak harus pakai bahasa yang aku cintai, belajar bahasa Indonesia dulu yang benar.

Ketika kecil aku enggak bicara Inggris, tapi setelah besar ya mengerti begitu saja. Terlalu berlebihan kalau di kafe atau mal, anak Indonesia bicara Inggris dengan orangtuanya. Tapi susah juga mau disekolahkan di sekolah negeri, istri tidak yakin, apakah anak-anak bisa tumbuh optimal. Ya, akhirnya aku serahkan ke istri saja.