Jenuh Terikat

By nova.id, Selasa, 30 Oktober 2012 | 23:09 WIB
Jenuh Terikat (nova.id)

Ibu Rieny Yth.,

Saya ibu rumah tangga (35) dengan dua putra berusia 9 tahun dan 3 tahun. Saya menikah hampir 10 tahun dengan pria yang kini berusia 36 tahun. Perkawinan kami biasa saja. Tapi, setahun belakangan, saya jenuh, Bu.

Sebelum menikah, saya bekerja di Batam. Tapi, suami meminta saya berhenti setelah menikah agar fokus mengurus rumah tangga. Bodohnya, saya mengiyakan tanpa membicarakan apa pun. Kalau saya tidak bekerja lagi, bagaimana suami memenuhi kebutuhan saya seperti bedak, baju, dan sebagainya?

Di awal perkawinan, saya enjoy dan tidak khawatir meski gaji suami pas-pasan. Toh, sebelum menikah, saya punya stok make up dan baju. Jadi tidak perlu pusing-pusing beli. Tapi, lama-lama, kan, habis, ya, Bu?

Permasalahan dimulai sejak suami memutuskan pulang ke Makassar. Dia mengambil keputusan sepihak dan mengikuti permintaan orangtuanya. Sejak tinggal di kampung suami, saya kesepian, Bu. Tidak ada saudara atau teman mengobrol atau jalan-jalan ke mal. Aktivitas saya hanya berkutat di urusan rumah tangga dan anak.

Saya makin jenuh. Apalagi kalau melihat suami berkumpul dengan teman kampung atau kampusnya. Dada saya nyeri, Bu. Belakangan teman-teman saya juga suka memengaruhi. Mereka bilang, saya bodoh karena saya cantik, putih, supel, dan gaul, mestinya saya bisa mendapatkan suami yang lebih daripada suami saya. Bahkan, di antara mantan pacar-pacar saya, suami paling pas-pasan, baik ekonomi maupun tampang.

Asal Ibu tahu, saya menikah dengan suami karena dia tidak mau lama-lama pacaran. Sementara pacar yang lain memilih mengejar karier, mengumpulkan uang untuk membeli rumah, baru memutuskan menikah. Orangtua suami juga kurang suka dengan saya karena saya cuma tamat SMA dan keluarga saya bukan Islam.

Setiap kali suami mengambil keputusan, ia melakukannya berdasarkan keputusan orangtuanya. Ia tidak peduli perasaan saya. Tantenya pernah menghina saya di depannya, tapi suami hanya diam. Meski orangtua menyalahkan saya, dan ia tahu saya benar, ia tidak membela. Ia tidak mau ribut atau menyakiti hati orangtuanya. Ketika saya berulang tahun, dia mendahulukan kepentingan kakaknya. Padahal, saya janjian jauh-jauh hari sebelumnya.

Saya sering merenung. Apa yang saya peroleh dari semua pengorbanan saya? Harta? Tidak. Cinta? Saya tidak tahu kenapa suami mencintai saya seperti ini. Saya tinggalkan kesenangan hidup, karier, dan teman-teman. Tapi, hanya ini balasannya? Saya pernah hanya pegang uang belanja Rp 250 ribu sebulan, Bu. Tapi, dia membeli sepeda motor yang cicilannya Rp 1 juta per bulan. Barangkali saya bermimpi buruk, ya, Bu?

Seandainya waktu bisa diputar ulang, saya akan berpikir 1000 kali untuk melangkah bersama dia. Saya tak mau menyia-nyiakan hidup. Setiap wanita pasti ingin menikah untuk bahagia, kan, Bu? Dalam benak saya, saya bukan the special one di hidupnya, Bu. Saya hanya prioritas kesekian setelah orangtua dan saudara-saudaranya.

Saya pernah marah dan bilang kepada suami bahwa saya ini cuma pencetak anak dan pembantu rumah tangga yang siap melayani dan menyenangkannya. Tanpa dia perlu menyenangkan atau peduli perasaan saya. Untung ada anak-anak yang lucu dan bisa menghibur saya, Bu.

Saya juga kasihan sama anak-anak kalau terus menjadi sasaran emosi setiap kali saya marah sama suami. Saya mencintai anak-anak, Bu, tapi saya lebih mencintai diri saya. Bagaimana saya bisa medidik dan membahagiakan anak-anak kalau saya sendiri tidak bahagia? Tolong bantu saya mencari jalan keluar, ya, Bu. Terimakasih.