Memang apa pekerjaan utama Anda?
Kalau di kartu nama, sih, posisi saya Direktur. Ha ha ha. Saya bekerja di perusahaan kontraktor (PT Hidro Masindo Sentratek) milik keluarga. Kebetulan, kan, saya lulusan Teknik Mesin (Universitas Brawijaya, Malang, Angkatan 1999), jadi masih nyambunglah. Kalau tidak ke lapangan langsung, sehari-hari saya mengawasi pekerjaan (construction, piping, building, mechanical, dll) sekitar 200-an pegawai dari kantor (Jl Dewi Sartika, Jaksel.Red). Saat ini perusahaan May sedang membangun steel structure turbin PLTU di Pacitan.)
Usaha rumah pohon ini hanya sebagai pengisi waktu luang di saat saya sedang tidak ada proyek. Saya pilih rumah pohon karena memang saya sangat menyenangi dunia anak. Malah dulu, saya sempat bercita-cita menjadi guru TK, lo. Tapi, karena saya pikir penghasilan guru TK tidak seberapa dan saya juga tidak yakin bisa sesabar itu menghadapi anak-anak, saya memilih menjadi kontraktor. Belum lagi orangtua, Kusnul Hadi dan Ichda Banati, yang 'memaksa' saya untuk bekerja di perusahaan mereka. Kebetulan saya anak pertama dari 3 bersaudara, jadilah saya yang ketumpahan tanggung jawab ini.
Di waktu luang pun Anda tetap bekerja, jadi kapan Anda meluangkan waktu jalan-jalan dengan keluarga?
Kebetulan, dalam keluarga saya tidak ada budaya 'mencari hiburan'. Kami bukan orang yang konsumtif. Kalau memang ada yang perlu dirayakan, paling kami sekeluarga hanya cari makanan enak di suatu tempat. Saya pribadi juga tidak terlalu sering memanjakan diri. Ke salon pun kalau merasa rambut sudah sangat gondrong. Nonton juga enggak pernah. Buat saya, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari klien itu sudah menjadi hiburan tersendiri. Hiburannya ya saat uang masuk ke rekening saya. Ha ha ha.
Sebelumnya pernah bekerja di perusahaan lain?
Pernah. Setelah lulus kuliah saya pernah bekerja di salah satu perusahaan kontraktor di Jakarta. Ya itu tadi, karena saya memang tidak cocok dengan sistem kerja yang mengikat, kemudian saya memutuskan keluar.
Memang, sih, beban kerja di perusahaan sendiri lebih berat. Saya harus mengerjakan proyek sesuai dengan schedule dan penghitungan keuntungan juga harus sesuai dengan target. Jika gagal, saya harus survive agar target itu tetap terpenuhi. Kalau kerja di perusahaan orang, kan, saya tidak perlu memikirkan itu semua. Minimal, saya hanya cukup mengerjakan bagian saya saja dengan baik.
Terlepas dari itu semua, kalau ditanya passion terbesar saya di mana, hati saya lebih ke dunia anak. Dunia itu benar-benar dapat merelaksasi pikiran dan tubuh saya di tengah stres tinggi yang kerap saya dapatkan di lapangan. Selain rumah pohon, May juga membuat paket kamar anak (tempat tidur, lemari, meja belajar, tempat bermain, dll), rak, dan rak sepatu dengan konsep karakter.
Kapan biasanya Anda ada di kantor?
Tidak tentu, ya. Kadang saya ada di lapangan (lokasi proyek) sampai beberapa bulan, seperti saat mempersiapkan proyek di Pacitan itu, saya ada di sana sekitar 2 bulan. Yang pasti kalau sedang tidak di lapangan, saya ada di kantor Senin-Jumat dari pagi hingga sore.
Omong-omong, berapa harga rumah pohon Anda?
Agak mahal, ya, di atas Rp 20 jutaan.
Wah, mahal sekali. Apa tidak takut rumah pohonnya tak laku karena pasti para Ibu berpikir panjang untuk menghadiahkan anaknya rumah pohon seharga itu?
Ha ha ha. Tentunya rumah pohon ini sudah punya pasar sendiri. Saya sudah menghitung semuanya. Kalau biayanya saya kurangi, kualitas materialnya pasti harus dikurangi juga. Rumah pohon ini, kan, bakal diletakkan di luar rumah, tentunya harus mampu bertahan dalam segala cuaca. Takutnya kalau materialnya tidak bagus, rumah pohonnya akan mudah rusak.
Punya rumah pohon sendiri di rumah?
Malah belum, tuh. Kebetulan anak saya, Andhika Jati Utomo, masih berusia 1,5 tahun, belum bisa manjat-manjat dan main sendiri. Nantilah, kalau sudah agak besar, akan saya buatkan.
Apa suami juga mendukung usaha Anda ini?
Wah, suami saya, Ratno Dwi Utomo (28), adalah suami dan sahabat saya yang paling setia. Kami sudah saling mengenal sejak kami masih sekolah di SMA 61 Pondok Bambu, Jaktim, lalu berpacaran sejak tahun 1998. Meski kami kuliah di kota yang berbeda (Malang-Jakarta), dukungan dan doanya tak pernah lepas untuk saya.
Setelah kami menikah pada 1 Juli 2007, ia tidak tersinggung saat saya memintanya untuk bergabung dengan saya di perusahaan ini sebagai salah seorang Manajer. Padahal saat itu posisinya di perusahaan tempat ia bekerja sedang bagus-bagusnya. "Yang penting saya senang dan bahagia," begitu katanya. Jelas saya sangat bahagia karenanya!
Ester Sondang