Tarlen Handayani, Laboratorium Hidup dalam Sebuah Toko Buku

By nova.id, Rabu, 29 Juli 2009 | 03:45 WIB
Tarlen Handayani Laboratorium Hidup dalam Sebuah Toko Buku (nova.id)

Tarlen Handayani Laboratorium Hidup dalam Sebuah Toko Buku (nova.id)

"Tarlen Handayani (Foto: Edwin Yusman/NOVA) "

Sejak kecil sudah suka buku ? Ya, orang tua jarang membelikan mainan. Tapi hampir setiap bulan, ayah mengajak saya dan saudara-saudara ke toko buku dan memperbolehkan kami memilih satu buku. Lama-lama koleksi buku saya lumayan banyak. Kebetulan tetangga sebelah rumah ada yang membuka penyewaan buku dan komik. Saya pikir, kenapa saya enggak bisa seperti itu?

Ketika masih duduk di bangku SD, saya mulai menyewakan buku dan komik kepada teman-teman. Lumayan, hasilnya bisa ditabung untuk membeli buku dan komik baru. Nah, kegiatan menyewakan buku ini saya lakukan hingga SMA. Saya suka membawa komik atau buku ke sekolah untuk dipinjamkan kepada teman-teman. Repotnya kalau ada razia. Untung saya punya tempat rahasia untuk menyimpan komik-komik itu supaya enggak kena razia. Ha ha ha.

Apa istimewanya buku bagi seorang Tarlen? Di dalam sebuah buku terdapat prinsip, energi positif dan inspirasi. Sebagai wanita, Anda merasa cantik ketika bersinggungan dengan buku? Ya. Menurut saya cantik adalah sesuatu yang muncul dari dalam, bukan hanya bisa dilihat tapi dirasakan dan mendapat inspirasi dari situ. Seperti yang saya rasakan ketika membaca buku. Nah, kalau untuk figur publik, sekarang saya ngefans sama Michelle Obama, menurut saya dia sangat inspiratif. Saya sangat senang dengan orang yang bisa memancarkan hal-hal seperti itu.

Itu sebabnya Anda bikin toko buku? Ceritanya, setelah lulus kuliah di Jurusan Jurnalistik Unisba (2001) saya bertemu dengan dua teman yang mempunyai keinginan yang sama untuk membuat sebuah toko buku. Secara kebetulan, ada teman di Milis Pasar Buku yang juga menawarkan kerjasama dengan kita.

Awalnya kami mengusung bendera Pasar Buku Bandung. Di tahun pertama, seorang teman mengundurkan diri karena dapat pekerjaan lain. Di tahun kedua, kerjasama dengan Pasar Buku pun berakhir dan kami mulai mengganti nama menjadi Tobucil. Omong-omong, modal membuat Tobucil ini sangat minim, Rp 1,5 juta hanya cukup untuk beli batako untuk membuat rak buku. Modal terbesar saya hanyalah pertemanan.

Selesai kuliah Anda memilih tak bekerja kantoran, orangtua enggak protes? Orangtua saya sangat mendukung apa yang saya lakukan, dengan catatan tidak setengah-setengah.

Kenapa dinamakan Tobucil? Prinsipnya bahwa setiap hal yang besar itu diawali dari hal yang kecil. Jadi, dari perubahan nama itu, kami juga sekaligus mengubah konsep. Tak hanya menjadi toko buku, tapi juga melakukan sesuatu yang sederhana untuk komunitas. Yang penting kontinuitas terjaga, dan siapapun yang datang dan ikut kegiatan kami bisa membawa pulang sesuatu yang berguna.

Apa saja kegiatan di Tobucil? Koridor kegiatan utamanya adalah buku, hobi dan komunitas. Buku berhubungan dengan sifatnya yang updating pengetahuan. Hobi berhubungan dengan aktualisasi diri. Untuk hobi kami mempunyai acara tahunan bernama Crafty Day, untuk tahun ini akan diadakan pada tanggal 15 - 16 Agustus. Di acara ini, kami menghadirkan berbagai macam kerajinan tangan, tahun ini temanya mainan.Sementara untuk komunitas bentuknya adalah klab. Tahun 2002, kami mulai membuat berbagai kegiatan dalam klab. Klab pertama yang kami buat adalah klab baca yang diadakan setiap Minggu sore.

Bedanya dengan klab baca lain? Di sini, kami tak hanya membahas novel atau produk sastra yang "berat". Tapi juga membahas komik, seperti Tintin dan lain-lain. Karena, kalau membahas novel, dari sejumlah orang yang datang hanya sedikit yang sudah membaca novelnya. Selebihnya datang karena ingin tahu apakah novel yang dibahas itu layak dibaca atau tidak, lebih karena penasaran saja. Dari klab baca ini, berkembang menjadi klab menulis, klab baca khusus yang membahas karya-karya Pramudya Ananta Toer, klab nonton yang kemudian pada tahun 2003 hingga kini dipercaya menjadi partner JiFest di Bandung. Ada pula klab filsafat dan lain-lain.

Selain klab baca, kami juga mempertemukan minat-minta yang berbeda dalam satu tempat karena keterbatasan tempat, ha ha ha. Jadi enggak aneh jika kalau ke sini, di satu meja ada komunitas musik klasik dan di sebelahnya ada komunitas merajut.

Ada kelas apa saja di Tobucil?Kelas menulis, kelas merajut, merenda, origami, dan lain-lain. Sharing-nya kami hanya mengambil 20 persen untuk ruangan dan publikasi kelas. 80 persen sisanya untuk pengajar. Selain itu kami juga kerap mengadakan workshop.