Anda dikenal sebagai pendongeng yang mampu menirukan ratusan karakter, ya?
Karakter itu menunjuk kepada satu sosok, atau lakon. Misalnya tokoh kartun. (Bimo kemudian memperagakan kemahiran menirukan karakter suara Donald Bebek, Scooby Doo, Sponge Bob, Pak Ogah, Unyil, suara kereta api, kuda berlari, helikopter, suara mobil formula, suara angin). Ada kebanggaan sendiri kalau bisa menirukan tokoh atau karakter tanpa alat bantu. Pernah, waktu SD saya dimarahi guru gara-gara saya menirukan suaranya. Ha ha ha.
Kapok?
Enggak. Saya malah terus belajar menirukan suara-suara yang terdengar di rumah sampai sekitar 131 suara.
Hal itu semakin menguatkan julukan Kak Bimo Sang Pendongeng, ya?
Saya sebenarnya tidak pernah berangan-angan jadi pendongeng. Cita-cita saya jadi guru. Eh, sekarang saya malah meninggalkan bangku kuliah karena sibuk mendongeng di sana-sini.
Kenapa tiba-tiba justru jadi pendongeng?
Saya prihatin menyaksikan budaya kita porak-poranda tergerus budaya asing. Tak ada lagi imunisasi menentang pengaruh teve dan globalisasi. Nah, untuk membangkitkan daya imunitas tadi, antara lain dengan metode bercerita bagi anak-anak sebagai generasi penerus. Dengan bercerita akan memberikan semacam kekuatan batin. Antara lain mengenalkan anak-anak tentang kebaikan, menyukai hati yang benar, yang estetik bukan yang norak atau yang keliru, atau yang salah.
Sejak kapan Anda menangkap keprihatinan tadi?
Masalah itu sudah saya rasakan sejak 1992. Ketika itu saya kuliah di Fakultas Dakwah STAI Syuhada Yogyakarta, yang mewajibkan mahasiswa melakukan pengabdian masyarakat minimal lima hari dalam sebulan dengan mendatangi daerah urban. Bentuk pengabdian, bisa mengajar anak baca tulis, atau memberikan penyuluhan agama.