Yanusa Nugroho Belajar Kisah Wayang dari Komik

By nova.id, Minggu, 27 April 2014 | 14:15 WIB
Yanusa Nugroho Belajar Kisah Wayang dari Komik (nova.id)

TabloidNova.com - Yanusa Nugroho dikenal sebagai sastrawan yang karya-karyanya banyak menggali dari khasanah cerita wayang. Novelnya antara lain berjudul Di Batas Angan (2003), Manyura (2004), dan Boma (2005). 

Ternyata, Yanusa kenal pertama kali kisah wayang dari komik Ramayana karya RA Kosasih.  Kala itu, ia berumur 5 tahun. "Saya belum bisa baca, tapi dari komik itu, orangtua memperkenalkan saya dengan tokoh Anoman, Rama, Sinta, dan seterusnya. Setelah saya bisa membaca, semua komik wayang Kosasih saya lahap habis," ujar Yanusa.

Kecintaan pada kisah wayang makin menggelora. Yanusa pun keranjingan nonton berbagai pertunjukan wayang kulit dan wayang orang. Sampai sekian tahun kemudian ketika Yanusa kuliah di Fakultas Sastra UI, seorang dosen mata kuliah Sastra Lama bertanya kepadanya, "Dari mana Anda mengetahui kisah Ramayana?" Dengan cepat Yanusa menjawab, "Dari komik wayangnya RA Kosasih."

Tak disangka, jawaban Yanusa membuat dosen perempuan itu marah. "Saya kaget. Saya tak mengerti mengapa pada waktu itu, kalangan akademisi menganggap bahwa komik itu merusak. Ada satu hal yang membuat saya meyakini, pasti ada yang salah ketika muncul persepsi yang menganggap komik itu merusak," ujar Yanusa.

Untuk membela komik Indonesia, Yanusa membawa komik wayang Kosasih ke kampus. Ia menunjukkannya kepada sang dosen. Ia membandingkan teks Mahabharata dan Ramayana versi Melayu, versi Betawi, dan versi komik Kosasih yang berlandaskan versi India dan paduan Sunda. Yanusa meyakinkan dosennya bahwa komik wayang Kosasih sama pentingnya dengan teks versi Melayu atau Betawi. Argumentasi Yanusa ternyata membuka mata batin dosennya.

"Beliau manggut-manggut dan malah bertanya, 'Komik wayang ini kamu beli di mana?'," jawab Yanusa, yang lalu memberikan komik tersebut pada dosennya.

Dari ilustrasi kisah yang disampaikan, Yanusa meyakini bahwa Kosasih dan karyanya memang pantas dikenang. "Dan, yang lebih penting lagi bagaimana kita mengambil semangat beliau ketika menggarap karyanya. Observasi dan penelitian Kosasih tidak main-main. Ia membaca naskah dan nonton wayang golek, dan menuangkannya dalam karyanya."

Henry Ismono