Meski Mas Bambang sibuk, saya tetap ajak anak-anak mengobrol. Posisi duduk kami serius, bukan sambil tidur-tiduran atau santai. Topiknya bisa apa saja, pembahasannya bisa dari sisi mana saja. Misalnya, untuk topik banjir, saya dan Mas Bambang akan bertanya apa yang bisa mereka lakukan untuk korban banjir. Biasanya, mereka lalu membuka lemari, mengambil baju-baju, melipatnya rapi, dan memasukkannya ke plastik. Lalu diberikan pada saya untuk disumbangkan.
Setiap momentum selalu kami ambil sebagai sebuah proses pembelajaran bagi anak-anak, sejak mereka kecil. Jadi, ketika tahu Mas Bambang ditangkap polisi, saya berpikir ini adalah momentum yang ditunggu-tunggu anak-anak, dan momentum ini kalau tidak cepat dipakai, kemungkinan tak ada lagi. Momentum banjir atau gunung meletus mungkin masih bisa berulang, tapi momentum yang satu ini entah akan berulang atau tidak.
Belajar lewat banyak momentum itulah yang mungkin membuat mereka merasa penangkapan ayah mereka sebagai peristiwa yang biasa saja. Setelah family meeting selesai, terkadang saya ajak anak-anak mengobrol satu per satu kalau mereka ada masalah. Karena anak-anak mulai dewasa, saya rajin mencatat persoalan yang terjadi. Kalau ada laporan dari teman, orangtua teman mereka, atau guru, saya catat rapi. Biasanya begitu masuk kamar untuk mengobrol, pertanyaan mereka adalah dari mana saya mendapat bocoran beritanya. Ha ha ha...
Waktu Istimewa
Saya bersyukur, family meeting membuat kami selalu dekat, meski Mas Bambang sibuk. Mas Bambang adalah ayah yang sangat penyayang pada anak-anak dan suami yang sangat menyayangi saya. Itu betul-betul dia tunjukkan. Kadang-kadang memang tak terucap secara verbal, tapi dia menunjukkannya dengan bahasa tubuh. Kami punya waktu dengannya biasanya setelah qiyamul lail sampai menjelang anak-anak berangkat sekolah dan Mas Bambang bekerja.
Inilah waktu istimewa kami, karena saat itulah kami sekeluarga bisa berkumpul. Setelah qiyamul lail bersama, sambil menunggu Subuh tiba kami menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran bersama. Setelah azan, saya dan anak-anak yang perempuan salat Subuh di rumah, sedangkan anak-anak yang laki-laki akan ke masjid bersama Mas Bambang. Sepulang mereka dari masjid, biasanya saya sudah menyediakan teh panas. Tak pernah sehari pun terlewat tanpa teh panas, kecuali kami sedang berpuasa.
Ada atau tidak camilan sebagai teman minum teh, kami akan duduk melingkar sebentar untuk mengobrol. Kalau Mas Bambang sedang capek, biasanya kami tidak mengobrol. Mas Bambang akan ndusel-ndusel seperti kucing, itu bahasa cintanya dia pada kami. Anak-anak juga seperti itu ke ayahnya. Sebelum berangkat sekolah, anak-anak biasanya main basket sebentar di halaman. Oh ya, anak-anak punya jadwal aktivitas sehari-hari sejak bangun sampai malam yang mereka buat sendiri.
Saya biasa berkata pada mereka, "Waktu kalian berada di sekolah adalah jihad kalian hari ini. Jadi belajarlah sungguh-sungguh dan fokus pada diri supaya bisa bermanfaat bagi teman-teman kalian." Nah, ketika punya waktu luang pada hari Sabtu-Minggu dan tak ada pekerjaan, semaksimal mungkin Mas Bambang memberikan waktunya pada anak-anak. Taqi masih sering diantar ayahnya ke sekolah dengan motor untuk ikut ekstrakurikuler. Kebetulan, karena dua anak kami senang berkuda, jadwal mereka berkuda selalu didampingi Mas Bambang. Jadi, sesibuk apa pun Mas Bambang, insya Allah saya dan anak-anak selalu merasa dia ada di antara kami.
Melepas "Topi"
Saya sudah 25 tahun mendampingi Mas Bambang. Waktu itu, Mas Bambang masih bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jayapura, Papua. Saya mengenalnya pertama kali dalam sebuah seminar di Jayapura pada 1989. Saya menemani pembicara di depan, sedangkan Mas Bambang jadi peserta.
Saat bertemu di Mas Bambang, saya bekerja di sebuah LSM di bidang sosial ekonomi kemasyarakatan. Tahun 1990, kami menikah. Menjelang akhir 1993, Mas Bambang ditarik ke Jakarta dan menjadi Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sampai 2001, Mas Bambang masih bekerja di LBH. Setelah itu, Mas Bambang yang menamatkan S1 di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta, mendirikan kantor pengacara di Jakarta.
(Bambang Widjojanto juga salah satu pendiri Kontras bersama Munir. Dia pernah jadi panitia seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi, tim penasihat hukum KPK, dan tim Pembentukan Regulasi Panitia Pengawas Pemilu.)