Berbeda dengan sekolah lain, semua siswa di sana tidak dipungut biaya sepeser pun. Yang bersekolah di sana pun sebagian besar adalah anak-anak TKI dari desa setempat atau sekitarnya yang didera kemiskinan karena tidak ada orangtua.
Yang lebih mengenaskan, ada belasan anak didiknya justru tidak jelas orangtuanya. Sebab, mereka lahir dari ibu yang menjadi korban perkosaan di Arab. "Sampai sekarang masih ada yang punya ibu, tapi ada juga yang ibunya juga ikut menghilang setelah kelahiran itu," cetus Jufri prihatin.
"Makanya, jangan heran kalau di sini melihat anak-anak dengan wajah Timur Tengah," Bagi Jufri, meski mereka hidup dalam kekurangan namun pendidikan mutlak diberikan. Ia menekankan kepada anak didiknya agar bisa mengubah nasib jangan sampai punya cita-cita sebagai TKI.
Kegigihan Jufri dalam mengembangkan pendidikan tak lepas dari pengalaman suram masa kecilnya. Kala itu, warga desa tidak ada yang mau sekolah. Faktor kemiskinan membuat mereka lebih mementingkan mencari nafkah sebagai buruh tani atau mencari ikan di laut. "Yang jadi korban salah satunya adalah saya. Waktu kelas 5 SD ketika semangat-semangatnya sekolah, sekolah terpaksa dibubarkan sebab siswanya protol, cuma tinggal saya seorang. Saya menjadi tenaga serabutan di sawah, dan setelah beranjak remaja ia harus mencari ikan di laut, serta sebagai penarik becak,"kenang Jufri.
Padahal keinginan Jufri kecil untuk sekolah sangat besar. Ia sadar, sebagai seorang anak tak mampu hanya sekolahlah satu-satunya cara mengangkat derajat hidup. Adalah minat bacanya sangat luar biasa, membuat lentera semangat Jufri menimba ilmu tak pernah padam. Sobekan kertas sekecil apapun, dia pungut dan dibaca. "Ketika sudah mulai berkeluarga, saya setiap hari berlangganan 3 koran. Ibaratnya, saya tidak bisa beli beras tak masalah yang penting baca koran," ujar Jufri.
Dari semangat itulah sebuah mimpi membangun wadah pendidikan gratis bagi anak-anak di desanya tercetus. Dan, cita-cita Jufri terkabul. Suatu ketika di tahun 1986, salah satu petak lahan di desanya ada masalah dengan orang luar. Dengan kemampuan diplomasinya, lahan milik warga tersebut berhasil dibebaskan. Lahan tersebutlah yang kemudian dibuat sarana pendidikan.
Jufri lalu berusaha mencari donatur. Kebetulan ia sering dimintai orang membantu menyelesaikan masalah. Nah, uang imbalannya ia gunakan untuk mendirikan bangunan sekolah. Kini Jufri sudah memiliki 17 tenaga pengajar. Di sekolah tersebut juga terdapat asrama untuk menampung 30 siswi, serta sebuah masjid. "Sekarang juga ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Jadi kami lebih terbantu."
Yang juga membanggakan, selama diterapkan sistem Ujian Nasional, siswanya selalu lulus 100 persen. Padahal, sambungnya, siswa sekolah negeri di sekitarnya banyak sekali yang tidak lulus. Keberhasilan Jufri ini membuatnya diundang Dirjen Pendidikan Dasar ke Jakarta. "Yang lucu, pada saat datang saya sempat ditolak oleh petugas, sebab saya cuma memakai sandal jepit. Maklumlah, saya memang tidak pernah punya sepatu,"ujar Jufri sambil tertawa.
GANDHI WASONO M.