Dari Sahabat Jadi Cinta

By nova.id, Kamis, 12 April 2012 | 23:18 WIB
Dari Sahabat Jadi Cinta (nova.id)

 Gairah Sebagai Pasangan

Ini masih berkaitan dengan poin kesatu. Jika perasaan bersahabat berubah menjadi cinta adalah benar dan jelas, maka gairah tidak menjadi masalah. Tentu, masing-masing akan tetap mempunyai ketertarikan dan gairah serta excitement yang sama.

Kerelaan untuk Berubah

Jangan sampai karena menikah dengan sahabat baik, lantas dianggap masing-masing pihak harus menerima pihak lain apa adanya tanpa ada keinginan untuk berubah sesuai yang diharapkan dari pasangan. Jadi, keduanya tetap harus memiliki kerelaan untuk berubah karena ekspektasi sahabat tidaklah sama dengan ekspektasi pasangan hidup.

 Untung Rugi

Meski ada kelemahan, namun menjadikan sahabat sebagai pasangan hidup juga memiliki keuntungan. Di antaranya mengenal segala kelemahan dan sifat buruk serta kelebihan pasangan, tidak perlu jaim (jaga image, Red.) karena sudah mengenal segala hal, termasuk diri dan keluarga, serta hubungan dengan mertua  dan pihak keluarga pasangan pun sudah terbina baik.

Sementara kelemahan pernikahan yang bermula dari persahabatan adalah singkatnya jarak penyesuaian menuju gerbang pernikahan yang singkat. Sehingga bisa saja salah satu atau keduanya tidak siap dengan ekspektasi dari calon suami atau calon istri. Padahal biasanya, saat akan menikah, masing-masing memiliki harapan tertentu. Alhasil, pada saat masing-masing pihak menyadari bahwa pihak lain memiliki ekspektasi, mereka menjadi terkejut dan tidak jarang terjadi konflik berkepanjangan. Atau, mereka merasa adanya perbedaan kepribadian. Dari yang tadinya hubungan persahabatan tanpa tuntutan, berubah menjadi suami/istri dengan tuntutan yang diekspektasi akan dipenuhi oleh pasangannya.

Kelemahan kedua adalah kurang gairah dan kurang romantis. Hal ini biasanya terjadi karena keduanya sudah mengenal "luar dalam" selama bertahun-tahun. Sehingga terkadang tidak ada perasaan deg-degan dan getaran-getaran seperti jika berpacaran dengan orang yang baru dikenal. Ketiga, jika ketika menjadi sahabat bisa saling curhat segala perkara. Kondisi lantas berubah setelah menjadi suami istri. Masing-masing tidak lagi bisa leluasa menceritakan semua hal seperti ketika masih menjadi sahabat. Adanya perubahan status ini acapkali menimbulkan krisis identitas.

Terakhir, ketika menjadi sahabat, mungkin saja masing-masing bisa bercanda tanpa batas. Akibatnya, ketika menikah, terkadang jadi sulit menimbulkan rasa hormat terhadap pasangan yang notabene adalah mantan sahabat yang biasa "dibercandain". Masing-masing masih beranggapan bahwa pasangannya adalah teman baiknya yang "selevel".

 Awas Konflik

Lantas apa yang harus dilakukan ketika Anda berkonflik dengan pasangan yang awalnya adalah teman baik Anda? Elly menyarankan agar Anda berdua tetap memikirkan perasaan yang timbul dan keputusan yang mau diambil untuk mengubah persahabatan menjadi percintaan, yang pada akhirnya akan masuk ke jenjang pernikahan.

Anda berdua juga harus sadar bahwa meski yang dinikahi adalah "mantan" sahabat, terkadang dia akan berubah menjadi "pribadi" yang berbeda setelah Anda nikahi. Oleh karena itu, meski menikah dengan "mantan" sahabat, Anda harus tetap memiliki kerelaan hati untuk mau berubah sesuai ekspektasi pasangan.

Jangan lupa juga untuk tetap mengobarkan gairah dan excitement sebagai pasangan. Jangan larut oleh anggapan bahwa karena menikah dengan orang yang sudah kita lama dikenal, maka getar-getar asmara atau sensasi butterfly in the stomach akan serta merta berkurang atau hilang. Terakhir, sadari adanya platform yang berbeda antara persahabatan dengan pernikahan, komitmen ini memerlukan cinta dan respek yang harus senantiasa dibina. Bukan sekadar bermodal "sudah mengenal baik dan buruk pasangan."

Hasto Prianggoro