Dr. Melanie Sadono Djamil, drg., M.Biomed: Ide Muncul Dari Tukang Jamu

By nova.id, Rabu, 13 Februari 2008 | 03:14 WIB
Dr (nova.id)

Dr (nova.id)

"melanie "

Penemuan Anda ini sudah dipatenkan, ya?

Ya, patennya keluar Oktober 2007, setelah sekian tahun menunggu. Saya sendiri sudah boring, meski ada yang bilang itu termasuk cepat. Mengurus sendiri?

Ya. Padahal saya nggak tahu prosedur pembuatan paten. Ternyata, ada biro hukum yang bisa membantu mengurus paten, sementara saya mengurus semuanya sendiri. Tempat penelitian saya banyak, antara lain di UI, Trisakti, LIPI, BATAN, dan Unair. Agak susah kalau patennya melalui institusi, bisa terpecah-pecah. Jadi patennya secara pribadi. Tapi, karena sekolah saya dibiayai universitas, ada tanggung jawab moral, saya harus mengembalikan paten ini ke institusi di mana saya mengajar. Sekarang saya sedang bernegosiasi dengan perusahaan yang berniat memproduksi cairan pemutih gigi tersebut. Mungkin kemasannya gel atau obat kumur.

Kenapa muncul ide untuk mematenkan?

Tahun 2004, mulai gencar karya cipta kita yang diambil pihak luar, termasuk karya ilmiah. Pada saat ujian, tempe baru saja diambil Jepang, sementara temulawak diambil Korea tahun 2005. Saya nggak muluk-muluk, kok. Ini juga untuk mendidik masyarakat agar sadar hukum.

Tapi ternyata, mematenkan di Indonesia agak salah juga, karena ini berarti yang tidak bisa mengambil hanya orang Indonesia. Belum tentu glagah saya selamat di luar negeri. Saya pikir, mendingan dipakai orang Indonesia daripada orang luar. Mudah-mudahan nanti bisa saya patenkan di luar negri.

Kenapa memilih pemutih gigi?

Di bidang kedokteran gigi sekarang ini, perhatian terhadap kecantikan atau kosmetika gigi sangat besar, salah satunya pemutihan gigi. Sementara semua tahu, perawatan di dokter gigi itu mahal. Dari situ, timbul ide mencari bahan alami pemutih gigi.

Lantas?

Kalau tidak salah tahun 1999, di pelataran masjid Istiqlal, saya lihat seorang tukang obat menawarkan ramuan pemutih gigi. Saya pikir bagus juga seandainya ada penelitian empiris tentang bahan pemutih gigi yang dipakai secara tradisional, dan secara ilmiah layak pakai.

Akhirnya, saya jadikan itu disertasi saya. Cuma, penelitian bahan alami pemutih gigi waktu itu belum begitu banyak, belum ada pembandingnya. Baru setelah saya teliti, ternyata ada banyak bahan pemutih gigi alami, antara lain madu, stroberi, termasuk glagah (saccharum spontaneum).

Kenapa memilih glagah?

Kembali lagi, salah satu yang diuji adalah segi keamanan. Dan glagah itu sangat aman, tidak mematikan sekalipun tertelan oleh hewan. Juga tidak menimbulkan kelainan pada lambung, lever, ginjal, sampai jantung. Dari uji sel jaringan, sel-sel yang serupa dengan gusi pun kalau kena tidak mati. Sementara pemutih yang dipakai selama ini, apalagi pemutih yang digunakan bebas di rumah, sangat merusak jaringan penyangga gigi seperti gusi.

Bagaimana dengan pemutih dari bahan kimiawi?

Pada pemutih gigi kimiawi, yang kebanyakan mengandung peroksida, setelah gigi jadi putih, ada bagian gigi yang porous atau hilang. Itu menyebabkan kemungkinan masuknya bahan-bahan berwarna yang lebih parah. Kalau glagah, tidak. Memang, glagah mengandung sukrosa (gula) yang cukup berbahaya karena sukrosa itu menjadi makanan bakteri rongga mulut. Tapi, biasanya ada bahan-bahan lain seperti flavonoid atau saponin, sehingga bakteri tidak suka pada sukrosa yang ada di dalam glagah tadi.

Uji cobanya bagaimana?

Saya pakai hewan uji tikus. Tikus diberi minum cairan glagah yang sudah dikeringkan. Ternyata tikusnya malah senang, karena rasanya agak manis. Jadi, yang dikonsumsi cenderung banyak. Tikus yang diuji ada 20, ada yang seminggu, 14 hari, dan 21 hari. Setelah dilihat, ternyata tidak terjadi efek samping. Hanya memang ada sedikit peningkatan gula darah karena kandungan sakarin di dalam glagah. Secara organ tubuh, masih berfungsi sama.

Apakah juga bisa untuk internal discoloration (ID)?

Penelitian saya memang hanya untuk external discoloration (yang sifatnya dari luar), misalnya akibat makanan dan minuman. Untuk ID, akibat antibiotika atau keturunan misalnya, agak sulit. Selama ini, belum ada satu metode pemutihan apa pun yang cocok untuk ID. Terus terang, kalau sudah ID, kerusakannya sudah sampai ke dalam. Kualitas emailnya pun sudah sangat buruk. Jadi, kalau kita ambil bagian berwarna dari gigi, pasti ada lebih banyak bagian-bagian lain yang terambil. Akibatnya, ada bagian-bagian gigi yang kosong. Kalaupun bisa, sifatnya sangat temporer. Tapi, tergantung tingkat keparahannya juga. Kalau ID-nya nggak terlalu parah, masih bisa pakai glagah.

Pemakaiannya bagaimana?

Bentuknya cairan yang dioleskan. Lama pengolesan dua kali lebih lama dari pengolesan dengan pemutih gigi kimiawi. Yang saya lakukan 5-10 menit, lalu dibiarkan, baru kemudian dihapus. Jadi, stain lebih mudah diangkat. Hasilnya bagus, dengan catatan selama pemakaian tidak terkontaminasi bahan-bahan dari luar, misalnya makanan, minuman, atau vitamin.

Putihnya permanen atau tidak?

Dibilang permanen tapi kalau pola makan dan minum tidak diperhatikan, ya tetap akan muncul stain lagi. Ambil contoh panci. Kalau kita pakai untuk merebus air teh setiap hari, pasti ada keraknya. Jadi, lebih bersifat pemakaian long term. Paling tidak pemakaian 3 minggu masih aman.

Sudah dipakaikan ke pasien?

Sudah. Yang jelas, mereka bilang tidak merasakan perih di gusi. Kalau pakai yang kimiawi, ada rasa perih dan ngilu. Wajar saja, karena walaupun kita kasih barikade, tetap ada yang merembes. Soal harga juga lebih terjangkau. Kalau dihitung-hitung, dari 100 kg tumbuhan glagah dapat dihasilkan 20 kg cairan pemutih gigi. Sementara persediaan glagah di Indonesia melimpah.

Omong-omong, kenapa ya, biaya berobat ke dokter gigi cenderung mahal?

Tidak semua mahal, kok. Yang penting pasien diberi alternatif. Misalnya untuk tambal gigi, mau pakai bahan yang mahal atau murah. Tapi memang, peralatan kedokteran gigi hampir semuanya impor. Yang made in Indonesia cuma operatornya. Kepala bor misalnya, harganya bisa mencapai Rp 8 sampai 10 juta. Satu mata bor harganya Rp 20 ribu, itu pun hanya dipakai untuk 10 kali drill (lubang). Yang tidak impor cuma satu, glagah... hehe.

Kalau soal dokter gigi yang kesannya "menyeramkan"?

Itu karena kebanyakan pasien datang dalam keadaan sakit, akibatnya pasien trauma. Saya selalu tekankan ke teman-teman, jangan melakukan tindakan ketika pasien sakit. Paradigma memang harus diubah. Dokter harus mau menjelaskan, meskipun keluhan pasien hampir sama. Mengulang penjelasan dari pasien satu ke pasien lain itu yang terkadang membuat dokter malas, sehingga memilih menunggu pertanyaan pasien saja. Padahal, nggak bisa begitu. Harus dipancing dulu, baru pasien bertanya. Jadi, ketidakpuasan pasien karena dirawat tanpa informasi diminimalisir. Kan, nggak lucu, tiba-tiba gigi harus dikecilkan atau harus dicabut tanpa penjelasan?

Selain mengajar dan praktik, apa lagi kegiatan sehari-hari Anda?

Waktu luang saya lebih untuk keluarga. Anak saya tiga orang, yang terkecil masih berusia 10 tahun. Terus terang, kegiatan di kampus cukup menyita waktu (Melanie sekarang menjabat Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta-Red.). Terkadang bukan pressure kerjaan, tapi load kerjaannya yang sangat banyak. Dari kampus, harus menghadapi pasien di klinik. Capek, kan. Jadi, saya harus mengobati diri sendiri juga. Salah satunya rekreasi bareng keluarga. Seminggu dua kali, saya juga upayakan berolahraga.

Anda kan, Putri Remaja tahun 1976 versi sebuah majalah remaja. Apakah masih keep in touch dengan dunia itu?

Ya, kami masih sering kumpul-kumpul, meskipun sudah pada emak-emak semua... hehe. Oh ya, tahun 2003 saya sempat main film Andai Ia Tahu, lho.

Sejak kecil, obsesi Anda memang jadi dokter gigi, ya?

Ya, soalnya waktu itu suka melihat alat-alat dokter gigi yang kecil-kecil, lucu. Ada kaca mulut kecil. Saya jadi tertarik. Waktu SMA sempat tertarik ke komputer dan menyukai gadget. Dan ternyata dokter gigi juga harus tahu gadget. Kalau tidak, ya ketinggalan. Misalnya, melihat rongga mulut dengan imaging system.

Hasto Prianggoro