Pernah putusnya lama banget, sampai sebagian penonton minta uangnya kembali. Ketika saya tanyakan masalah itu ke resepsionis, katanya yang mengantar film tabrakan. Dari situ saya tahu, satu film dibagi dengan 2 bioskop. Jadi, sehabis diputar di bioskop yang satu, film itu langsung diantar ke bioskop yang lain. Di Jakarta juga masih begitu. Di Jakarta, kalau film putus, tulisan yang keluar adalah "Mohon Maaf Ada Kesalahan Teknis."
Di situlah saya mulai membuat skrip tentang pengantar film yang bernama Joni. Di bisnis film ini orang jarang paham pentingnya peran pengantar film. Kalau dia enggak tepat waktu, tulisan Mohon Maaf Tunggu Film akan muncul di layar. Nah, dalam film ini, Joni bilang, 'Kalau saya sedang bertugas, hal itu tidak akan pernah terjadi.' Itulah janji Joni.
Sampai suatu ketika, Joni bertemu wanita cantik yang membuat Joni langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia memberanikan diri untuk menanyakan nama wanita itu. Wanita itu kemudian bilang, 'Kamu antar film kita, pastikan agar film itu tidak putus di tengah-tengah. Setelah itu baru aku kasih tahu namaku. Deal?' Joni pikir kerjaan itu gampang. Ternyata hari itu seakan-akan seluruh kota berkonspirasi untuk membuat Joni gagal dalam tugasnya.
Apakah Anda melakukan semacam observasi sebelum membuat naskah ini? Sama seperti naskah-naskah sebelumnya, saya selalu observasi dulu. Saya juga lakukan wawancara. Untuk Janji Joni, setiap kali saya nonton di bioskop, saya selalu menyempatkan diri ke ruang proyektor untuk tahu bagaimana tugas pengantar film.
Berapa lama Anda membuat naskah ini? Cuma dua bulan. Tapi kemudian harus di-rewrite lagi, itu kenapa baru tahun 2002 naskah Janji Joni selesai.
Kenapa Anda memilih Nicholas Saputra sebagai pemeran utama? Sebenarnya, ada 15 orang yang ikut casting sebagai Joni. Tapi, hanya Nico yang cocok. Dia sangat berbeda sekali dengan peran sebelumnya. Pokoknya, dia beda banget di Janji Joni.
Bagaimana Anda menanggapi beberapa pendapat yang mengatakan, film JJ merupakan hasil plagiat? Bagaimana bisa dikatakan seperti itu? Filmnya aja belum diputar. Coba deh nonton dulu. Enggak mungkin saya melakukan hal semacam itu. Plagiat, it's the worst thing. Film ini berasal dari ide orisinal saya.
Film apa lagi yang melibatkan Anda? Saya bersama teman pernah menggarap film pendek berjudul Amok. Film ini akan diikutkan ajang FFI (Festival Film Indonesia. Red) pertama setelah lama vakum, 2004 lalu. Saya buat naskah, tapi enggak berani menyutradarainya. Akhirnya, saya kasih teman saya. Dengan dana yang sangat minim, cuma Rp 2,5 juta, kami mulai membuat film pendek itu. Dalam film itu, saya berperan sebagai produser, penulis naskah dan ikutan main juga. Hanya 1,5 hari film itu selesai. Tapi, saya bilang ke temen-temen, film ini enggak usah diikutkan ke FFI, saya malu. Saya memang suka ceritanya, tapi ada beberapa hal yang membuat saya masih merasa kurang puas. Namun, teman-teman tetap ingin film ini diikutkan. Akhirnya satu hari sebelum pendaftaran ditutup, saya daftarkan film itu. Ternyata film saya terpilih menjadi 3 besar Best Picture.
Apa rencana Anda berikutnya? Saya ingin membuat sebuah film thriller. Berbeda dengan film sebelumnya, saya sangat puas sekali ketika menulis naskah film ini. Sebenarnya tidak hanya ada thriller, tapi ada juga misterinya, supernatural, dan komik. Judul sementaranya, Death Time. Naskah ini belum saya kasih ke produser mana pun. Jika jadi difilmkan, ini akan menjadi film thriller pertama di Indonesia. Saya yakin, film ini akan sangat bagus.
Bisa Anda kasih sedikit bocoran tentang film ini? Film ini bercerita tentang jurnalis yang underdog. Dia dianggap enggak capable. Jurnalis ini mengidap penyakit bernama narkolepsik. Penyakit ini membuat orang yang mengidapnya mendadak tidur ketika mengalami sesuatu yang sangat menyenangkan atau marah. Suatu hari dia ditugaskan meliput sesuatu yang sangat tidak diinginkan oleh orang lain. Ternyata, sesuatu itu sangat besar.
Bagaimana, sih, cara Anda membuat naskah sebuah film? Apakah perlu mengasingkan diri? Saat membuat naskah, saya engak suka di ruang tertutup. Saya suka mengamati wajah-wajah orang. Itu kenapa, saya punya meja khusus di kafe langganan saya di Citos (Cilandak Town Square. Red). Di situ, tempat saya biasa menulis naskah. Yang jelas, ketika membuat naskah, itu karena I have something to tell. Bukan karena melihat kecenderungan pasar. Setiap kali membuat film saya berusaha membuatnya sekomunikatif mungkin. Gampang diakses oleh setiap orang. Kalau kemudian jadi box office atau apa, saya enggak pernah memikirkan seperti itu. Sepertinya Anda tidak mengkhususkan diri untuk jenis film tertentu, ya? Iya. Sekarang saja, saya sedang menyelesaikan naskah comedy adventure dan sebuah film drama. Saya enggak mau mengkhususkan diri untuk menulis naskah film tertentu. Saya punya janji pada diri sendiri untuk tidak membuat film dari genre yang sama secara berurutan.
Kenapa? Saya suka film dari berbagai genre. Itu sebabnya, saya berusaha membuat film dari semua genre. Enggak mungkin saya mengkhususkan diri untuk membuat film dari genre tertentu.
Seperti apakah film yang bagus menurut Anda? Film yang baik, everything is logical. Good movies teach you about life. Good movies itu bukan berarti film yang berat. Film yang bagus adalah yang memberikan sesuatu tentang apa saja. Kadang film kacangan semacam Bring It On itu memberikan sesuatu kepada kita sebagai penonton. Misalnya tentang leadership dan team work.
Apa tanggapan Anda tentang perkembangan film tanah air? Di tahun ini, dunia perfilman kita akan diuji. Menurut saya, tahun 2005 ini merupakan critical moment untuk film Indonesia. Kalau kita bisa membuat film yang bagus, penonton akan terus menonton film Indonesia. Tapi, kalau tidak, mungkin penonton akan kapok menyaksikan film Indonesia. Sejauh ini, apa yang sudah Anda dapatkan dalam dunia perfilman? Memang belum banyak yang saya dapatkan. Tapi, misalnya saya meninggal besok, I died smiling. Maksud saya, dengan apa yang sudah saya dapatkan ini I've made the cake. Tinggal icing the cake.
Edwin Yusman F.