Kok, Lebih Lengket Dengan Ayah?

By nova.id, Jumat, 3 Februari 2012 | 22:52 WIB
Kok Lebih Lengket Dengan Ayah (nova.id)

Kalau si kecil lebih lengket pada ayah ketimbang ibu,enggak ada salahnya ibu intropeksi diri untuk mencari penyebabnya.

Hubungan yang paling ideal antara orang tua dan anak adalah ia bisa dekat dengan kedua orang tuanya.Namun pada kenyataannya, karena berbagai faktor, umumnya si kecil akan lebih dekat dengan ibu. 

Ini wajar saja karena sejak kecil, ibulah yang lebih banyak berperan dalam memenuhi basic needs anak. Dari pemenuhan rasa lapar dan haus (dengan menyusui), menghindari rasa tidak aman (seperti sakit atau takut), dan pemenuhan kebutuhan si kecil untuk dimanja dengan memberikan kasih sayang dalam kontak fisik belaian. Jadi, bisa dikatakan, di tahun pertama, kedua, dan ketiga, si kecil akan lebih dekat dengan ibu. 

Belum lagi, menurut psikolog Indah Kiranawati Machsus, Psi, budaya kita, ayah lebih banyak mencari nafkah di luar.Sebaliknya, tugas ibu adalah merawat si kecil di rumah. Otomatis, anak akan lebih dekat dengan ibu, bukan?  FAKTOR SIFAT DAN KEMATANGAN Lalu mengapa, kok, sampai si kecil bisa lebih lengket dengan ayah ketimbang ibu? Banyak penyebabnya! Misalnya, karena adanya pergeseran nilai terhadap pengasuhan dan pendidikan antara generasi nenek-kakek/orang tua dulu dengan pasangan muda sekarang. "Dulu kebanyakan orang tua menyerahkan pengasuhan anak pada ibu. Ayah zaman dulu,sepertinya malumenggendong anak atau mengantar anak ke sekolah. Tapi bapak-bapak muda sekarang, kan, berbeda. Mereka lebih banyak berperan serta dalam pengasuhan, lebih care, bahkan sudah tak malu-malu lagi untuk mengganti popok di depan umum. Atau, ketika si ibu sibuk, mereka tak segan untuk mengantar anak ke sekolah. Hal-hal seperti ini juga bisa membuat anak jadi lebih lengket ke ayah," papar psikolog dari Avanti Treatment Center ini. 

Kasus lain, mungkin si ibu bertipe cuek sehinggatak sepenuhnya meresapi waktu kebersamaannya dengan si kecil. Alhasil,biarpun si ibu selalu ada di rumah bersama si kecil, ia tetap lebih memilih dekat dengan ayah. "Mungkin setiap hari ibu nonton telenovela terus dan tidak memperhatikan anaknya." 

Sebab lain, bisa karena kedua orang tua sama-sama bekerja, tapi memiliki sifat berbeda. Si ibu tipe wanita yang mementingkan karier, sehingga tak begitu memperhatikan perkembangan si kecil, sedangkan si ayah bertipe care. Walau ia bekerja dan hanya mempunyai waktu singkat, tapi dapat memaksimalkan kualitas waktu untuk memperhatikan anak. "Penyebab yang ini berkaitan dengan faktor sifat dan kematangan ibu," ujar Indah. 

Bisa juga karena si ibu overprotective. Wajar memang bila ibu sangat mencintai anaknya. Tapi bukan berarti si kecil jadi sah dikekang dengan tameng kasih sayang, lo. "Maksud si ibu melarang anak melakukan sesuatu karena cinta. Namun saking cintanya, ia malah jadi takut anaknya kenapa-kenapa." Hasilnya, anak jadi serba dilarang. "Adek jangan main hujan-hujanan, nanti pusing". Atau, "Jangan main tanah, nanti cacingan!" 

Di lain sisi, si ayah bersikap lebih rasional. "Ah, enggak apa-apa, kok, main-main tanah. Nanti kalau tangannya kotor, kan, bisa dicuci," misalnya. Tentu saja si kecil akan lebih memilih melakukan kegiatan dengan ayah karena baginya ayah lebih mengerti dirinya dan lebih fun. Sedangkan ibu, dalam pikiran si kecil, "Ih, galak. Aku enggak boleh apa-apa!" 

PROSES IDENTIFIKASI Nah, jika si kecil lebih lengket dengan ayah dan sampai ogah-ogahan pada ibu, tentu saja tidak bisa dibiarkan. Apalagi karena saking lengketnya, si upik sampai mengidentifikasikan dirinya dengan ayah dan bukan dengan ibu. Hal-hal seperti ini, saran Indah, perlu dibenahi. 

Proses identifikasi adalah suatu proses yang mengarahkan anak untuk berpikir, merasa, dan bertingkah laku seperti ciri-ciri yang diperlihatkan orang lain yang sesuai dengan dirinya. Teorinya, sampai usia batita, lanjut Indah, faktor gender akan berpengaruh pada proses identifikasi. Maksudnya, anak perempuan sebenarnya akan lebih dekat dengan ibu dan anak lelaki dengan ayah. 

Ini bisa terjadi,salah satunya, karena ada pengaruh dari lingkungan yang memberikan reward/pujian bila si kecil meniru orang tua yang berjenis kelamin sama dan memberi hukuman bila meniru orang tua yang berjenis kelamin berbeda. Contohnya, jika si upik ikut-ikutan berdandan di depan cermin, maka kita akan mengatakan, "Aduh, cantiknya kayak Mama!" Atau, ketika si Buyung mencoba sepatu boot ayah, orang sekelilingnya akan memuji, "Wah, gagahnya seperti Papa!" 

Karena mendapat penghargaan semacam itu, si kecil akan terus mempertahankan kelakuan tersebut. "Proses identifikasi sendiri sebenarnya berjalan tanpa disadari oleh anak dan proses belajarnya pun tidak terlihat secara nyata. Awalnya, anak hanya meniru, tapi karena mendapat semacam penghargaan, ia jadi tak sadar beridentifikasi pada orang tua yang berjenis kelamin sama." 

Selain itu, lanjut Indah, si kecil akan mengidentifikasikan diri dengan orang tua yang berjenis kelamin sama karena ia mengamati adanya kesamaan dirinya dengan orang tua itu. "Rambut Mama panjang seperti rambutku. Kayaknya akan lebih cocok, deh, kalau aku menyamakan dengan Mama." Proses identifikasi seperti ini memang penting bagi anak.Tapi juga tak berart si upik tak boleh lengket dengan ayahnya, lo. Kondisi itu boleh-boleh saja. Tapi jaga agar sosok ibu tetap menjadi tokoh identifikasi yang utama bagi si upik. Kalaupun ia meniru sikap penuh perhatian yang dimiliki si bapak, tak masalah. Yang dikhawatirkan jika ia mencontoh hal lain sehingga membuatnya tumbuh menjadi kecowok-cowokan. "Sama juga dengan anak laki-laki yang terlalu dekat dengan ibu. Jangan sampai ia melakukan identifikasi yang salah sehingga jadi kelihatan kebanci-bancian."  ANEKA STRATEGI  Semua itu, sekali lagi, disebabkan karena si kecil mencontoh orang yang keliru, si upik mencontoh perilaku ayah, sedangkan si buyung mencontoh perilaku ibu secara ekstrem. Misalnya, si buyung suka mengoleskan lipstik ke bibirnya, atau ketika si upik BAK jadi ikut-ikutan berdiri karena sering melihat si ayah. "Ini berbeda dengan masalah mainan, lo. Mainan tidak memandang gender. Jadi, baik anak perempuan maupun anak laki boleh main bola, misalnya. Tapi kalau anak laki-laki sudah bermain lipstik, sebaiknya tidak dibiarkan," kata Indah. Nah, untuk mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya ibu mulai introspeksi, mencari penyebab mengapa si kecil lebih memilih ayah. Setelah jelas, kita bisa langsung membenahi. 

Saran Indah, yang terpenting ibu bisa memberikan afeksi dan rasa aman pada si kecil. Jadi, jika ibu sudah tahu penyebabnya karena terlalu sering menonton sinetron, misalnya, ya, mulai sekarang batasi hobi tersebut. Sebisa mungkin, manfaatkan waktu dengan melibatkan diri pada kegiatan si kecil. 

"Ini memang agak sulit bila ibu harus bekerja. Yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan kualitas waktu yang ada. Misalnya, ketika berada di tempat kerja, kita tetap menelepon anak. Bukankah komunikasi zaman sekarang gampang sekali?" ujar Indah. 

Strategi lain pun bisa diterapkan. Umpamanya, ibu bisa mengajak ayah berembuk ketika menangani si kecil. Jika anak menangis, contohnya, biarkan ibu yang menanganinya dulu, baru ayah. Dengan begitu, si kecil tahu bahwa ibunya juga care. "Bisa saja si ayah tidak terlalu dekat dulu dengan anak. Tapi bukan berarti ia harus menghilang berhari-hari atau enggak nongol di hadapan anak. Tujuannya untuk memberi kesempatan pada si ibu agar di mata anak, ibu mempunyai waktu juga baginya. Bukan menghilangkan peran ayah." 

Yang patut disadari juga, untuk memecahkan masalah ini, kita boleh menerapkan berbagai strategi yang berbeda. Karena banyak kasus terjadi, ketika mencoba suatu teori, ternyata teori tersebut tidak jitu buat menangani si kecil. Jadi sah-sah saja, kok, kalau orang tua menciptakan resep tersendiri. Bukankah yang paling tahu tentang si kecil adalah kita sendiri sebagai orang tuanya? Nah, sekarang bagaimana strategi Ibu dan Bapak?

Faras