Sering, kan, Bu-Pak, kita membeda-bedakan perlakuan hanya lantaran jenis kelamin anak yang tak sama? Padahal, kemampuan mereka sama-sama bisa berkembang optimal, lo.
"Ayo, stop! Jangan cengeng! Masa anak laki-laki cengeng?" Itu, kan, biasanya yang kita katakan pada si Buyung jika ia menangis? Giliran adik/kakaknya menangis, perlakuan kita lain karena "kebetulan" sang kakak/adik berjenis kelamin perempuan.
Padahal, seperti dijelaskan psikolog Rahmitha P. Soendjojo, perbedaan perlakuan pada anak berdasarkan gender, sebetulnya terpulang dari seberapa banyak informasi yang dimiliki orang tua tentang proses tumbuh-kembang anak.
Artinya, bisa jadi si ibu/ayah bersikap begitu gara-gara keterbatasan informasi. Misalnya, dulu ia besar dalam keluarga bertipe feodal di mana lelaki selalu diistimewakan dalam segala hal. "Kalau budaya semacam itu terus dibawa, secara tak sadar sebetulnya orang tua sudah menanamkan nilai-nilai sempit yang pada gilirannya bakal mencetak anak-anak pengekor. Yakni, individu yang merasa betah dalam kungkungan budaya yang sebetulnya merugikan."
KIRI KANAN BISA DIKEMBANGKAN
Memang, kata Mitha, mungkin saja akan ada benturan dari lingkungan/masyarakat jika kita memutuskan "keluar" dari mitos-mitos warisan budaya feodal tadi. Misalnya, diprotes orang tua. "Kamu ini bagaimana, masa si Anto disuruh menyapu? Itu, kan, pekerjaan perempuan?" Kalau itu yang terjadi, "Tak usah bersikap frontal," saran psikolog dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) ini. "Cukup beri alasan, kenapa kita melanggar mitos-mitos itu. Misalnya, 'Lo, kami memang mengajarkan, menjaga kebersihan dan kerapian rumah bukan cuma tugas pembantu atau siapa pun yang kebetulan perempuan.' Malah dengan begitu, anak laki-laki jadi cekatan menyapu, merapikan kamar, dan lainnya."
Karena itu, saran Mitha lebih lanjut, "Tak perlu terpaku pada anggapan yang mengkotak-kotakkan individu hanya berdasar jenis kelaminnya. Umpamanya, perempuan harus halus, lebih perhatian, dan seterusnya. Pendeknya, otak bagian kanannya yang berkembang. Sedangkan pada anak laki-laki, sebaliknya. Padahal, secara umum kita bisa, kok, mengembangkan baik otak kiri dan kanan, pada anak lelaki juga perempuan."
Sebab, lanjut Mitha, sifat-sifat tertentu semisal halus/lemah lembut ataupun pemberani, sebetulnya tidak identik dengan gender tertentu. Melainkan lebih pada pembiasaan-pembiasaan yang menempa anak. Dengan demikian, kondisi-kondisi kemampuan apa pun pada anak laki maupun perempuan, sebetulnya sama-sama bisa dikembangkan. "Matematika anak perempuan bagus, kenapa tidak? Anak laki-laki terampil bebenah di rumah, mengapa harus dihambat dengan segudang larangan?"
MENGGUGAH MINAT
Agar tak terjebak pada mitos-mitos yang merugikan semacam itu, terang Mitha, mau tidak mau orang tua harus membuka diri. Dalam arti, mau membuka wawasan dan menerima informasi sebanyak mungkin, "Termasuk memiliki motivasi untuk menerapkannya." Bukankah ketika mendapat informasi dan penjelasan gamblang, "Oh, ternyata anak laki boleh menangis, kok, dan anak perempuan tak mesti tulisannya bagus", kita akan semakin terpanggil untuk berpikir lebih jauh.
Dengan begitu, kita pun lebih mampu bersikap toleran sekaligus memperluas/menggugah minat anak bereksplorasi. Kala anak perempuan getol bongkar pasang/utak-atik mobil-mobilannya, jangan pernah menghalanginya. Saat anak laki kedapatan sedang menyapu atau menyiangi sayuran, tak perlu lagi berteriak melarangnya. "Eh... jangan!", hanya lantaran itu pekerjaan si Mbak atau si Bibi yang notabene perempuan.
Selain itu, terang Mitha, selalu beri kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan apa saja pada anak tanpa membedakan gender. Singkirkan pula sikap kelewat melindungi pada anak hanya karena dia wanita, misalnya. Seperti, "Aduh, Dek, enggak usah, deh. Biar saja nanti Mas yang bawain atau selesaikan." Dengan begitu, dalam diri tiap anak tetap harus ditumbuhkan sikap/kesediaan saling melindungi/membantu, tanpa harus mengalihtugaskan hal yang sama ke saudaranya. Dengan kata lain, kita tidak perlu meringankan yang satu namun membebani yang lainnya.
Apa pun, anak perempuan harus punya pengalaman menangani/menyelesaikan pekerjaan yang "berat". Jangan sampai terucap, "Biar Mas yang bawa, Adek pegang ini aja." Akan lebih baik bila mereka dilibatkan secara bersama. Manfaatnya, mereka belajar menjalin kerja sama sementara pekerjaan pun jadi terasa lebih ringan.
BERI CONTOH NYATA
Untuk bisa memberi kesempatan yang sama, tentu harus ada usaha dari orang tua. Jangan hanya berikan kegiatan "kasar" seperti memanjat, lari-larian, atau sejenisnya. Ajarkan juga cara melipat baju, merapikan tempat tidurnya atau meronce untuk mengembangkan kemampuan motorik halusnya. Dengan membiasakan hal-hal semacam itu, anak-anak laki akan bisa mengembangkan kemampuan motorik halusnya sejajar dengan kemampuan motorik kasarnya. Sebaliknya, izinkan pula anak perempuan bergelantungan memanjat pohon, ngebut naik sepeda atau mengejar-ngejar bola.
Untuk bisa memberi kesempatan yang sama pada anak tanpa membedakan jenis kelamin, pembiasaan harus dimulai dari atas. Artinya, di hari Minggu pun, bapak bersedia menyirami bunga, memasak, atau beres-beres rumah. Dengan begitu anak akan terbiasa melihat "pemandangan" tersebut sekaligus ingin menirunya karena ada contoh nyata.
Contoh langsung semacam itu, terang Mitha, akan lebih mengena diterapkan pada anak dibanding penjelasan panjang lebar yang cuma bikin anak bosan dan akhirnya ogah mendengar. Untuk menggugahnya agar mau menulis rapi/bagus, mengapa tak ditonjolkan pujian dan kelebihannya? "Bagus banget, ya, tulisan Kakak. Mama/Papa jadi bisa baca. Pasti nanti Kakak dapat bintang dari ibu guru di 'sekolah'."
Yang perlu diingat pula, kedepankan hal-hal konkret.Soalnya, buat anak, konsep "pintar" jelas tak dipahaminya karena kelewat mengawang-awang. Anak akan lebih cepat menangkap informasi positif tentang dirinya. Semisal, "Kata Mama aku pintar melipat.", "Kata Papa tulisanku bagus.", atau "Bu Guru bilang aku mewarnainya enggak keluar garis, lo." Nilai-nilai konkret itulah yang mudah dicerna oleh anak yang akan mendorongnya mempertahankan sekaligus meningkatkan "prestasi"nya. Sebab, si anak merasakan sendiri bahwa aktivitas-aktivitas tersebut ternyata menyenangkan. Tuh, asyik, kan, punya anak laki-laki tekun dan anak perempuan "tegar"?
Th. Puspayanti