Jika Anak Ditinggal Untuk Waktu Lama

By nova.id, Jumat, 16 Desember 2011 | 22:54 WIB
Jika Anak Ditinggal Untuk Waktu Lama (nova.id)

Berpisah lama dengan orang tua membuat anak batita merasa kehilangan. Pikirkan dampak dan lakukan persiapan jika terpaksa harus meninggalkannya.

Cukup banyak pasangan muda sekarang ini harus meninggalkan anaknya demi tugas kantor atau tugas belajar. Baik yang hitungan hari maupun tahun. Untuk sementara, anak dititipkan pada kerabat, semisal kakek-neneknya.

Yang jadi masalah adalah jika anak harus ditinggal berbulan-bulan atau bahkan tahunan. "Orang tua harus memikirkan konsekuensinya terhadap anak," kata Alma Nadhira, psikolog dari RS Fatmawati, Jakarta.

Secara psikologis, kata Dhira, anak batita belum bisa lepas dari orang tuanya. Ia masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian. "Kalau perginya untuk waktu lama, misalnya tahunan, sebaiknya anak diajak. Atau salah satu dari mereka tetap tinggal bersama anak." Dengan kehadiran salah satu, entah ayah atau ibu, anak tetap merasa aman.

Yang jelas, lanjut Dhira, anak harus disiapkan sejak jauh hari. Sebab, kesiapan anak sangat tergantung pada kedekatannya dengan orang tua yang terjalin selama ini dan dengan siapa si anak lebih dekat. "Beda dengan anak yang sejak kecil memang sudah sering ditinggal ayah-ibunya yang bekerja. Dampaknya mungkin tak seberapa parah. Sebab, biasanya anak sudah terbiasa dengan figur pengganti seperti nenek-kakek yang siap memberinya kasih sayang, perhatian, serta perlindungan." Kendati tak parah, kata Dhira, "Anak tetap akan stres. Apa pun juga, pisah dari orang tua, bukan hal yang menyenangkan buat anak." Karena itu, eliminir sekecil mungkin dampaknya.

Umumnya, anak lebih dekat dengan ibunya yang lebih banyak mengurus dirinya. Meski ada juga yang lebih dekat ke ayah karena sang ayah rajin mengajaknya bermain. Nah, ketika ayah dapat tugas belajar atau harus tugas ke luar kota/negeri dalam waktu lama, anak jadi kehilangan.

BISA TRAUMA

Perlu diingat pula, anak usia batita belum begitu paham kenapa orang tuanya harus pergi. Dijelaskan berkali-kali pun, mereka belum bisa sepenuhnya mengerti. Apalagi di usia ini ia masih egosentris dan belum bisa berpikir dengan konsep yang rumit-rumit. Yang jelas, perpisahan selalu menjadi hal yang mengerikan buatnya. Dengan bahasa yang terbatas, si batita akan bilang, "Bunda, aku kangen sama Ayah. Kok, Ayah pulangnya lama, ya." Di sini anak masih bisa berkeluh kesah pada ibunya.

Nah, jika dua-duanya pergi untuk waktu lama, anak bisa stres. Dari yang ringan sampai berat. "Mungkin awalnya ia jadi pendiam, pemurung, dan agak rewel. Lama-lama, ia protes dengan caranya sendiri seperti enggak mau makan." Lebih celaka lagi jika figur pengganti dirasa tidak mampu memenuhi peran ayah-ibunya, "Anak bisa trauma yang berlanjut sampai dewasa."

Sebaliknya, anak justru bisa lebih dekat pada figur pengganti ketimbang dengan orang tuanya sendiri. Jika tak diatasi, sampai waktu yang lama anak akan selalu mencari figur penggantinya. Dengan kata lain, kedekatannya berpindah pada orang yang memberinya perhatian dan kasih sayang selama ia ditinggal orang tua. "Orang tua harus mulai dari awal lagi untuk melakukan pendekatan pada anak," kata Dhira.

Ketika orang tuanya kembali, hubungan mereka akan terasa kaku, canggung, dan anak tidak seekspresif dulu dalam mengungkapkan rasa sayangnya. Jadi, secara alamiah, perpisahan yang lama bisa menjauhkan kedekatan di antara mereka. Misalnya, anak enggan memeluk ayah/ibunya. "Memang tak selalu begitu karena tergantung dari seberapa besar trauma yang dialaminya."

PERSIAPAN SEMUA PIHAK