Heboh Impor Baju Bekas, Kemendag Anggap Pedagang Rendahkan Martabat Bangsa

By nova.id, Kamis, 5 Februari 2015 | 09:17 WIB
Heboh Impor Baju Bekas Kemendag Anggap Pedagang Rendahkan Martabat Bangsa (nova.id)

TabloidNova.com - Beberapa hari terakhir, masyarakat dihebohkan dengan kasus impor baju bekas. Baju bekas ini beredar di berbagai kota, seperti Jakarta, Cirebon, Malang, Denpasar, dan sebagainya.

Pemerintah meminta para importir pakaian impor bekas bertobat. Pasalnya, pakaian impor bekas itu terbukti mengandung banyak bakteri yang berbahaya bagi kesehatan orang yang memakainya."Saya imbau pelaku yang memasukkan pakaian bekas eks impor mohon bertobatlah," ujar Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementarian Perdagangan Widodo, di Jakarta, Rabu (4/2/2015) lalu.

Ia menjelaskan, aksi para pengimpor pakaian bekas itu sudah sangat keterlaluan. Bahkan, menurut Widodo, tindakan mengimpor baju bekas merendahkan martabat bangsa karena memasukkan barang ilegal yang berbakteri.

Ia meminta kepada para pedagang untuk tak lagi memperjualbelikan pakaian impor bekas. Lebih baik, kata Widodo, para pedagang menjual pakaian produksi dalam negeri.

"Berdaganglah dengan yang lain. Selain itu, pakaian produk dalam negeri; itu murah dan mudah didapat, juga memajukan produksi dalam negeri," kata dia.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menemukan 216.000 koloni bakteri per gram dalam celana impor bekas. Temuan itu berdasarkan uji laboratorium terhadap celana impor yang diduga terkena cairan menstruasi.

Dia menjelaskan, Kemendag telah melakukan uji sampel 25 baju dan celana bekas impor yang diambil dari Pasar Senen, Jakarta. Hasilnya, semua pakaian impor itu mengandung berbagai bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu, dia sekali lagi mengimbau agar masyarakat tak membeli pakaian bekas impor. Pasalnya, dari tampak luar saja, pakaian impor bekas itu sudah tak layak pakai.

Hingga sekarang, kasus impor baju bekas masih bergulir karena pedagang menyatakan tidak sepakat dengan imbauan pemerintah.

Kompas.com/Yoga Sukmana