Gagal Berintim-intim Akibat Trauma Masa Kecil

By nova.id, Senin, 7 November 2011 | 22:45 WIB
Gagal Berintim intim Akibat Trauma Masa Kecil (nova.id)

Dalam kondisi seperti itu, vaginanya jelas sudah kaku dan mengalami kekejangan. "Jadi, bagaimana mungkin si suami mau memberikan rangsangan seksual yang kemudian berlanjut pada penetrasi?" Padahal, sambung Ferryal, ketakutan si istri tersebut bukan melulu harus ditimpakan pada sang suami. Bisa saja suaminya bukan termasuk tipe yang kasar atau main tanpa pemanasan. "Masalahnya lebih pada trauma psikis."

Selain trauma seksual semasa kecil, lanjut Ferryal, ketakutan sesaat yang bersifat intensif juga bisa menyebabkan munculnya vaginismus. Soalnya, kasus-kasus gancet umumnya terjadi di tempat-tempat yang dianggap angker/menyeramkan, seperti rumah kosong atau pemakaman umum. Tak heran kalau kejadian tadi lantas dihubung-hubungkan dengan hal-hal magis, semisal kesambet setan.

Padahal, usut punya usut ternyata bukan tempatnya yang menyebabkan kejadian gancet, melainkan karena situasi berintim-intim itu sendiri yang dirasakan begitu menegangkan. Semisal takut ketahuan karena dilakukan bukan dengan suaminya, tetapi dengan pria selingkuhannya.

PEMBULUH DARAH PECAH

Sejauh ini, lanjut Ferryal, kasus vaginismus memang tidak menyebabkan kematian tapi hanya sebatas kepanikan dan kesakitan luar biasa pada pihak suami. Penyebabnya, otot-otot vagina yang mengalami kontraksi berlebih tadi, banyak terdapat di bagian permukaan saja. Sedangkan di bagian dalamnya nyaris tidak ada.

Alhasil, begitu terjepit, darah yang sudah telanjur masuk ke dalam penis yang mengalami ereksi, tak bisa kembali dipompa ke luar. Akibatnya, makin lama penis makin bengkak dan kian sakit. "Kalau didiamkan terus-menerus, jelas berbahaya, dong. Setidaknya pembuluh-pembulu darah halus di penis akan pecah. Bukan tidak mungkin kondisi ini di kelak kemudian hari menimbulkan gangguan ereksi." Namun biasanya, kata Ferryal, jarang terjadi karena begitu memiliki pengalaman seperti ini, yang bersangkutan pasti akan mencari pertolongan medis.

Untuk kasus-kasus gancet, yang secara medis tergolong ringan, penderita bisa langsung datang ke rumah sakit. Dokter biasanya akan memberi suntikan atau obat yang membuat otot-otot vagina yang kaku/mengejang tadi kembali relaks. Nah, begitu terjadi relaksasi, vagina diharapkan akan membuka dengan sendirinya, hingga penis yang semula terjepit bisa terlepas. "Jadi, tak perlu sampai harus 'dibor' atau menggunakan teknik operasi apa pun untuk mengeluarkan penis yang terjepit tadi."

Relaksasi memang sangat membantu. Tapi tak berarti cukup dengan nasihat, "Coba, deh, Pak-Bu, tenang." Belum lagi kedua belah pihak panik, stres, dan malu jadi tontonan."Mau tak mau,penanganannya memang mesti diserahkan ke pakarnya, yaitu konsultan seks dan psikiater."

Selain itu, keberhasilan penanganan pun amat tergantung pada keterbukaan kedua belah pihak. Bukan sekadar pasrah dalam arti keliru semisal,"Ya, sudahlah, ini memang sudah nasibku," lantas tak mau berobat sama sekali. "Kalau sudah begini, jangan harap bakal ada perbaikan, deh!" Soalnya, tegas Ferryal, gangguan vaginismus tak mungkin terselesaikan hanya dengan mengandalkan berjalannya waktu.

PERLU DUKUNGAN SUAMI

Terapi penanganan vaginismus, jelas Ferryal, umumnya dilakukan secara bertahap. Salah satunya dengan lebih banyak melakukan cumbuan-cumbuan seksual, namun tidak sampai melakukan penetrasi. Cara ini terus dilakukan sampai beberapa waktu. Sedangkan upaya penetrasi pun dilakukan secara bertahap. Misalnya, di tahap awal menggunakan alat bantu semisal teknik jari, kemudian dalam jangka panjang intensitas kedalamannya ditingkatkan sedikit demi sedikit.

Untuk menjalani terapi, jangan pernah berharap bisa selesai dalam waktu singkat. Kalau selama menjalani terapi, contohnya, suami tidak tahan kemudian melakukan penetrasi secara buru-buru, justru bisa berakibat fatal. Bukan tidak mungkin malah memperparah trauma yang ada.

Itu sebabnya,tegas Ferryal, seorang suami yang kebetulan beristrikan wanita dengan gangguan vaginismus, amat dituntut kesabarannya untuk memahami kondisi si istri. Artinya, "Jangan malah menuduh 'kelemahan' tersebut sebagai akal-akalan si istri untuk menolak berhubungan dengan suami."

Dengan begitu si suami pun sangat diharapkan untuk tidak pernah memaksakan kehendaknya. Semisal, "Pokoknya, malam ini kamu harus melayani saya!" Kalau bentuk kekerasan dan pemaksaan kehendak semacam itu yang digunakan, bukan tidak mungkin keluhan vaginismus si istri justru semakin parah sehingga penanganannya juga jadi kian sulit dan membutuhkan waktu lebih lama.

Dari pihak suami pun diharapkan kesediaannya mendampingi sang istri menjalani pengobatan. "Untuk gangguan vaginismus yang tergolong paling ringan pun, perlu waktu lama untuk "membongkar" trauma yang sudah sekian lama bercokol di benak si penderita. Nah, apalagi yang berat?"

Th. Puspayanti