Eksploitasi Terhadap Istri, Kerap Tak Disadari

By nova.id, Kamis, 29 September 2011 | 23:09 WIB
Eksploitasi Terhadap Istri Kerap Tak Disadari (nova.id)

Eksploitasi Terhadap Istri Kerap Tak Disadari (nova.id)

"Ilustrasi "

Menurut Nursjahbani Katjasungkana, SH, ada batasan atas apa yang disebut eksploitasi terhadap istri, yaitu:

* Ada paksaan

Meskipun pekerjaan itu sepertinya disukai, tapi bila sudah ada unsur paksaan di dalamnya, maka bisa dikategorikan sebagai eksploitasi. Misalnya paksaan untuk menghasilkan sekian rupiah, paksaan untuk terus bekerja meski dalam kondisi kelelahan, dan sebagainya.

* Tidak disukai

Apalagi jika perkerjaan yang dilakukan istri tidak disukainya, tapi suami tetap ngotot, tentu ini termasuk kategori eksploitasi. Contohnya, pekerjaan tersebut menuntut istri menggunakan pakaian mini yang membuatnya tidak nyaman, harus bekerja sampai larut malam yang membuatnya merasa tidak aman, dan sebagainya.

* Kehilangan otoritas

Yang termasuk kategori eksploitasi adalah bila istri kehilangan otoritas atas penghasilannya. Misalnya dia harus menyetorkan seluruh pendapatannya pada suami dan kehilangan kesempatan untuk mengelola hasil tetesan keringatnya sendiri.

Di luar ketiga hal itu, menurut Nursjahbani, tidak termasuk eksploitasi. Namun yang harus diperhatikan, banyak wanita yang tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya terpaksa bekerja, tidak suka dengan pekerjaan yang harus dilakoninya, atau bahkan kehilangan otoritas atas penghasilannya. Seolah sudah menjadi kodrat wanita menjadi lebih peka pada kondisi keluarga/rumah tangganya. Semua itu dilakukan supaya anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa sekolah. Keadaan inilah yang kadang mengaburkan keterpaksaan yang sebenarnya sedang dijalaninya.

BATASAN TIPIS

Secara lebih tegas Henny E. Wirawan, M. Hum., Psi., Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara yang juga pemerhati masalah perempuan mengatakan, "Selama istri sudah terbebani dengan kewajiban mencari nafkah, itu sebetulnya sudah dikategorikan eksploitasi."

Dengan demikian batasannya menjadi sangat tipis. Bisa jadi awalnya si wanita dengan kesadarannya sendiri berusaha membantu mencukupi nafkah keluarga, tapi lama-kelamaan hal tersebut dirasakannya sebagai beban. Misalnya untuk sepuluh ribu rupiah pengeluaran setiap bulan, istri memberi kontribusi sebesar delapan ribu. Sedangkan suami karena merasa sudah tercukupi, tidak berusaha memberi lebih, malah menikmati bagian yang menjadi tanggung jawabnya hanya sebesar dua ribu rupiah.