Ketumpangan Ipar

By nova.id, Rabu, 28 September 2011 | 22:07 WIB
Ketumpangan Ipar (nova.id)

Ketumpangan Ipar (nova.id)

""

Sayangnya keberadaan ipar sering diidentikkan dengan datangnya gangguan. Kita yang terbiasa apik dan resik, contohnya, ternyata ketumpangan ipar yang cenderung jorok, malas bersih-bersih, atau merokok sembarangan. Belum lagi kalau si ipar kerjanya pulang larut malam. Repot deh membukakan pintu untuknya. Kalaupun kita terpaksa membuatkan kunci duplikat untuknya, masalah pun belum tentu selesai begitu saja. Jadi, bagaimana dong?

1. Tahan Emosi

Memang bukan mustahil ipar kitalah yang mau menang sendiri, sulit diatur dan merasa dirinya selalu benar. Padahal ribut-ribut dengan ipar sebetulnya tak perlu terjadi bila kita saling bisa menahan diri dan emosi. Saat menghadapi ipar yang "bermasalah", jangan sesekali melawannya dengan amarah, melainkan dengan kepala dingin dan hati tenang. Tegurlah dia baik-baik.

Bila tidak ada perbaikan dan kita merasa kewalahan mengatasinya, libatkan suami/istri. Mintalah dia untuk menegur adiknya. Tentu pasangan hidup kita lebih tahu karakter adiknya dan bagaimana penyelesaiannya. Sementara itu pertahankan diri untuk tetap bersikap bijak dan senantiasa berpikir positif. Bisa saja ia bersikap menjengkelkan seperti itu karena sedang dipusingkan oleh berbagai masalah di luar yang kemudian terbawa sampai ke rumah. Pendek kata, kita harus panjang akal, berpikir positif dan senantiasa dalam kondisi emosi yang terkendali.

2. Terbuka dan Tegas

Kehadiran ipar di rumah sebenarnya tak akan mengganggu keharmonisan hubungan suami istri asalkan semua pihak mau saling terbuka dan nyonya/tuan rumah berani bersikap tegas. Dari kedua belah pihak memang dituntut pengertian dan kesadaran diri. Di sini, keterbukaan adalah hal utama.

Boleh jadi ada orang yang merasa rikuh/kagok bicara dengan kakak iparnya karena perbedaan usia yang relatif jauh. Tidak sedikit pula yang merasa "asing" karena merasa bukan saudara sekandung. Kesediaan bersikap terbuka lambat-laun akan mencairkan suasana. Imbasnya, masing-masing merasa dekat dan tidak lagi menganggap iparnya sebagai orang luar. Ujung-ujungnya terjalinlah kedekatan dan harmonisasi. Sebaliknya, ipar pun harus menerima dengan tangan terbuka kehadiran kita dan menganggap kita seperti saudara kandung sendiri. Kepada kakak ipar kita wajib menghormatinya, sementara kepada adik ipar kita pun mesti berusaha menjadikan diri sebagai panutan baginya.

3. Saling Pengertian

Jika telanjur muncul konflik dengan ipar, pengertian dari kedua belah pihak amat dituntut guna meredam konflik tersebut. Tentunya ini akan jauh lebih baik bila sudah diupayakan sejak awal. Bukankah kita bisa memberikan batasan yang tegas. Soal "menegur" ipar yang lebih tua, misalnya. Kalau demi kepentingan anak, kenapa harus sungkan? Contohnya saat dia merokok seenaknya di depan si kecil. Yang terpenting bagaimana cara menegurnya hingga sang ipar tak merasa tersinggung atau dipojokkan. Berikan pengertian secara baik-baik bahwa perilaku/kebiasaannya kurang baik dan mesti diubah. Kuncinya, kita harus senantiasa mampu bersikap tenang. Pendek kata, jangan mudah terpancing emosi.

Sebaliknya, sebagai "penumpang" baru hendaknya ipar juga bisa menempatkan diri sebagaimana mestinya. Artinya, ia perlu mengetahui batas-batas mengenai hak dan kewajibannya. Contoh kecil, setiap kali bangun tidur sudah sepatutnya ia membereskan sendiri kamarnya. Janganlah seenaknya sendiri minta dicucikan pakaiannya meski mungkin ada pembantu. Dengan kata lain, si ipar harus belajar mandiri selama ia tinggal di rumah kakak/adiknya yang sudah berkeluarga.

Jika kebiasaannya berperilaku jorok dan bersikap seenaknya terus dilakukan, cobalah ajak bicara dari hati ke hati secara langsung. Libatkan istri/suami kita guna menyampaikan aturan-aturan yang berlaku di tempat tinggalnya yang baru. Mintalah sang ipar untuk bisa beradaptasi dengan "aturan-aturan" di rumah hingga bisa sama-sama merasa enak dan nyaman.

4. Berbagi Tugas

Satu hal yang cukup penting tapi kadang diabaikan: berbagilah pekerjaan rumah. Jangan sampai kita sebagai tuan/nyonya rumah malah dibebani pekerjaan rumah tangga sementara sang ipar hanya ongkang-ongkang kaki. Jangan sampai pula terjadi kita bersikap seenaknya terhadap ipar yang kebetulan amat tahu diri alias rajin mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Serajin apa pun dia, tetaplah turun tangan untuk membantunya. Sikap saling peduli ini akan membentuk kebersamaan. Alhasil, hidup berdamai bersama ipar bukanlah fatamorgana belaka. Tak terlalu sulit untuk diupayakan bukan?

Hilman