Masih Serumah Sebelum Pisah

By nova.id, Rabu, 3 Agustus 2011 | 23:27 WIB
Masih Serumah Sebelum Pisah (nova.id)

Masih Serumah Sebelum Pisah (nova.id)

"Ilustrasi "

 Dilihat dari sudut psikologis dan hubungan antarpasangan, tetap tinggal seatap sama sekali tidak memberi manfaat. Bahkan bisa saja justru menyulut masalah yang lebih besar di antara mantan suami-istri. Kendati masih ada komunikasi, biasanya lebih merupakan basa-basi.

Situasi dingin semacam itu akan semakin terasa bila perceraian terjadi akibat ketidakcocokan, percekcokan, dan perselisihan yang membuat mereka ibarat anjing dan kucing. Tetap tinggal seatap tentu akan menyulut perang mulut dan adu argumentasi yang tidak mustahil akan berakhir menjadi kekerasan verbal maupun fisik. Kalau ini yang menjadi "pemandangan" sehari-hari jelas tidak sehat bagi perkembangan anak. Ia jadi sulit belajar mengembangkan komunikasi yang hangat dan penuh cinta. Bahkan sangat mungkin situasi yang tidak kondusif seperti ini ikut mendorong anak tumbuh ke arah yang negatif. Misalnya ikut berkata dan bertindak kasar, kurang memiliki empati, tidak percaya diri, dan sebagainya.

Selain itu, tetap serumah meski sudah bercerai akan menghalangi perkembangan kehidupan pribadi masing-masing eks-pasangan. Manusiawi sekali bukan bila setelah bercerai ada keinginan untuk mencari pasangan baru, kemudian mengenalkannya pada anak. Nah, di saat sudah mulai membina hubungan yang baru ini, tetap tinggal serumah hanya akan membuat keinginan-keinginan tadi menjadi tidak semulus dibanding bila benar-benar sudah pisah rumah.

HANYA SEMENTARA

Bila memang memutuskan untuk tetap serumah sebaiknya hanya untuk sementara waktu. Bisa beberapa hari atau beberapa minggu sesuai kesepakatan bersama. Hal ini lebih ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar lebih mudah menjalani masa transisi proses perceraian kedua orangtuanya. Dengan catatan orangtua berusaha menahan diri untuk tidak "perang" di depan anak.

Mempersiapkan mental anak menghadapi perubahan besar dalam hidup mereka jelas penting dilakukan. Berikan penjelasan sederhana kepada anak tentang apa yang terjadi. Misalnya dengan menjelaskan kalau mama dan papa sudah bercerai dan dalam waktu dekat mereka tidak akan tinggal serumah. Jelaskan pula alasan-alasan kenapa harus bercerai. "Mama dan papa sudah tidak bisa akur lagi, kami sering berselisih, jadi lebih baik pisah," misalnya.

Bila hak pengasuhan anak jatuh ke tangan ibu, beritahukan pula kalau nanti si anak tidak serumah dengan ayah. Pasti sulit menerangkan hal yang cukup rumit ini kepada anak. Jadi, gunakan bahasa sesederhana mungkin. Bila memang merasa tidak mampu melakukannya sendiri dan khawatir anak bakal memiliki persepsi negatif, tak masalah bila orangtua meminta bantuan ahli, seperti psikolog untuk menjelaskannya.

Masa transisi yang cukup berat ini akan sangat membantu mempersiapkan kehidupan emosional anak. Sekaligus membantunya untuk merasa aman karena ia masih tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya meski mereka telah bercerai.

PISAH RUMAH PENTING?

Pisah rumah segera setelah bercerai sebetulnya merupakan langkah terbaik untuk mengantisipasi munculnya masalah-masalah lainnya. Justru dengan pisah rumah bukan mustahil relasi di antara mantan suami istri akan jadi lebih baik. Dengan tidak saling bertemu setiap hari bisa saja akan tumbuh kembali rasa hormat dan keinginan untuk saling memaafkan.

Dengan pisah rumah, pasangan yang bercerai karena emosi sesaat diharapkan bisa meredam emosi masing-masing. Bukan tidak mungkin mereka akan menyadari bahwa sebenarnya mereka masih saling menyayangi dan membutuhkan. Kesadaran ini tentu akan menjadi dasar yang sangat baik bila suatu saat kelak mereka ingin rujuk kembali.

Yang terpenting, setelah bercerai mereka harus segera membenahi diri untuk melanjutkan kehidupan pribadi masing-masing. Bila mereka memutuskan untuk tetap serumah, berarti mereka tetap mengembangkan sikap berpura-pura di depan anak-anak. Padahal kepura-puraan tersebut jelas tidak sehat dan biasanya tidak akan mampu bertahan lama. Lalu bagaimana orangtua bisa menuntut sekaligus menanamkan kejujuran pada anak bila mereka sendiri tidak jujur terhadap anak-anak mereka?

Dedeh