Laporan KDRT kadang diiringi dengan pengajuan gugatan cerai dari pihak korban.Tapi benarkah ini jadi solusi yang paling tepat?
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) dan Yayasan Pulih, adalah dua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengkhususkan diri pada kasus KDRT di Indonesia. APIK lebih pada penanganan hukum, sementara Pulih pada penanganan pasca kejadian.
Asnifriyanti Damanik S.H (40), Ketua Dewan Pengurus LBH APIK menyatakan pihaknya sudah mengkhususkan diri pada masalah ini sejak 1995. Kami menampung korban KDRT untuk mendapat bantuan pendampingan secara hukum. "Kebanyakan klien kami minta didampingi untuk mengurus perceraian. Meski ada beberapa yang kemudian berdamai," ujar ibu dua anak yang biasa dipanggil Asni ini.
Menurut Asni, laporan yang dibuat oleh korban KDRT kebanyakan memang sebagai salah satu cara untuk mempercepat proses percerai. "Sehingga sangat jarang klien kami yang kemudian melanjutkan tuntutan secara pidana atau perdata terhadap pasangannya. Padahal, mereka bisa melakukan itu."
Menurut data, "Dari seratus kasus, kurang dari 10 kasus yang berlanjut menjadi tuntutan pidana atau perdata. Kebanyakan korban enggak tega melihat pasangannya dipenjara."
Selain itu, lanjut Asni, "Proses yang berbelit-belit itu membuat korban enggan untuk meneruskan laporannya. Satu lagi, sulit bagi pengadilan untuk memproses kasus KDRT yang mengalami kekerasan psikologis yang sulit dibuktikan."
Selama ini ada perbedaan cara pandang di antara penegak hukum akan kasus-kasus KDRT. "Contohnya, kebanyakan aparat kepolisian sudah bisa merespon kasus KDRT secara psikologis. Tapi ketika di kejaksaan, mereka punya penilaian berbeda. Kejaksaan menyatakan bahwa ketika dilaporkan hingga proses pengadilan berlangsung trauma yang dialami korban masih terus berlangsung. Korban harus benar-benar mengalami kekerasan psikologis seperti trauma, ketidakberdayaan dan sebagainya."
Padahal, sejauh ini korban-korban KDRT psikologis bisa pulih sebelum proses pengadilan usai. "Pemahaman itu yang menurut saya mempersulit dan menjadi kendala bagi para korban dalam mengambil langkah hukum," ujar Asni.
Agar punya pemahaman yang sama, Komnas Perempuan akan mengeluarkan buku referensi bagi penegak hukum. Pasalnya, UU KDRT isinya tidak detail sehingga bisa menimbulkan penafsiran berbeda.
Kekerasan secara psikologis pun diatur dalam UU KDRT. "Diantaranya adalah akibat ucapan atau tindakan yang diterimanya itu membuat orang menjadi tidak berdaya. Rasa kepercayaan dirinya menurun, kinerjanya menurun, stres atau kemampuan berpikirnya menurun."
Di sinilah, penilaian seorang psikolog dibutuhkan. "Keterangan ahli atau dalam hal ini psikolog dapat menjadi pertimbangan di pengadilan. Itu mengapa kami bekerjasama dengan pihak lain untuk mendapatkan pendapat ahli ini."
Edwin Yusman
KOMENTAR