Ciri khas lain, si tengah suka "caper" alias cari-cari perhatian, karena ia merasa kurang dapat perhatian dari orang tua. Umumnya, terang Indri, perhatian orang tua pada si tengah memang tak sebanyak bila pada si sulung dan si bungsu. "Bukankah orang tua biasanya akan ingat, kapan si sulung mulai tengkurap, merangkak dan berdiri, misal?" Apalagi biasanya perbedaan usia antar anak tak jauh. Jadi, ketika si tengah baru sedikit dapat perhatian dari orang tua, lalu nongol si bungsu, yang otomatis "mencuri" perhatian orang tua. Alhasil, si tengah pun kurang perhatian, hingga akhirnya ia jadi "caper".
Bentuk "caper"nya bermacam-macam, tapi biasanya dengan tak menggeluti bidang yang sama seperti si sulung. Maksudnya, jika si kakak unggul di bidang menggambar, misal, orang tua tentu sangat membanggakannya. Nah, menyadari ini, si tengah biasanya tak mau berkompetisi pada bidang yang sama, karena dia tahu, sebaik-baiknya yang dia lakukan, orang tua tetap akan melihat pada kakaknya, yang lebih pintar dan tekun. Jadi, dia akan memilih bidang lain, semisal bergaul secara luas, senang olahraga dan musik, menari, dan lainnya yang tak diminati sang kakak.
Saran Indri, biarkan saja si tengah menggeluti bidang yang diminatinya. Soalnya, kalau sudah menguasai suatu bidang, ia akan mendalaminya dengan baik, karena ia ingin menunjukkan dirinya berbeda dan ingin mencoba jadi diri sendiri. "Biasanya nanti ia akan tumbuh jadi seorang perfeksionis." Namun yang lebih penting dari itu, pada dasarnya orang tua memang tak boleh memperlakukan atau menyamaratakan anak, karena tiap anak berbeda. Jadi, bila si kakak suka menyanyi, misal, jangan lantas si adik juga disuruh les menyanyi tanpa ditanya lebih dulu, "Adek les nyanyi, ya, kayak Kakak!" Harusnya, lihat dulu apakah si adik juga punya minat ke arah musik atau setidaknya tanya dulu, "Adek, mau enggak les nyanyi?" Kalau ia tak mau dan lebih suka olahraga semisal gemar menendang-nendang bola, ya, arahkan saja ke sana. Jadi, pesan Indri, jangan pernah memaksakan si adik untuk sama dengan kakaknya karena ia bisa frustrasi dan ia pun akan merasa, "Kok, aku harus selalu identik dengan Kakak, sih?"
Contoh lain, ketika bermain lempar bola. Jika si sulung melempar lebih jauh dari si tengah, itu wajar, karena jangkauan si sulung lebih panjang. Sedangkan anak batita, dengan keterbatasan motoriknya, jelas lemparannya tak akan jauh jaraknya. Di sini kita tetap harus membesarkan hati si tengah, "Wah, lemparan Adek, cukup jauh, ya? Tuh, lihat sudah hampir menyamai lemparan Kakak." Jangan malah kita meledeknya, "Aduh, kok, ngelempar-nya kalah, sih, sama Kakak? Harusnya kamu bisa, dong, menyamainya!" Kata "harusnya" inilah yang kadang membuat anak jadi ingin memiliki standar setinggi itu. "Ia selalu merasa cemas. Ia pun akan menggunakan 'topeng' terus, yaitu selalu mencari perhatian dengan tidak tulus, selalu ingin tampil sebagai anak yang sempurna," bilang Indri.
ORANG TUA TAK MEMIHAK
Dalam hubungannya dengan adik, disarankan agar tak memaksa si tengah bersikap wise terhadap adik. Banyak, kan, orang tua yang merasa bahwa anak yang lebih besar harus selalu tepo seliro/mengalah pada adik-adiknya? Padahal, rasa mengemong harus dikenalkan secara perlahan. Apalagi di usia batita, anak belum memiliki rasa tersebut. "Ia masih butuh perhatian orang tuanya juga. Itu sebab, wajar, kok, kalau di usia ini terjadi iri hati antar saudara." Misal, kala adiknya lahir, si tengah lebih menunjukkan rasa irinya ketimbang si sulung. Wong, ia baru saja mengenyam kasih sayang orang tua, kok, sudah datang si adik.
Jelas Indri, disadari atau tidak, urutan kelahiran memang berpengaruh terhadap reaksi orang tua pada anak. "Tapi, orang tua perlu hati-hati agar tak terjadi dampak yang tak diinginkan, lo," ingatnya. Yang perlu dilakukan orang tua, menyiasati kondisi psikologis si tengah yang sedang rewel dengan tetap memberinya personal approach (sentuhan pribadi). "Dekati ia sambil mengobrol tentang perasaan dan kebutuhannya. Apalagi anak tengah di antara 5 bersaudara, misal, ini akan makin sering tak diperhatikan. Itu sebab, pembicaraan khusus dari hati ke hati diperlukan agar orang tua tahu kebutuhan si anak." Bahkan, lanjutnya, ada suatu waktu, si ibu perlu koordinasi dengan pengasuh atau si ayah.
Misal, ketika si tengah cemberut karena merasa tak diperhatikan, ibu bisa mencuri waktu sebentar untuk menemani si tengah bermain, sementara si adik diserahkan pada pengasuh atau ayahnya. Setelah ia cukup enjoy, barulah ibu bisa beralih lagi kepada si adik. "Jadi, memang perlu ada pembagian waktu. Kalau semua harus dipegang si ibu, kasihan juga, kan?"
Begitu pun dalam masalah sehari-hari, jangan memberi kesan orang tua memihak anak tertentu. "Sadari bahwa tiap anak punya privasi sendiri-sendiri. Jadi, jika si tengah sedang bermain dengan mainannya lalu si bungsu meminta mainan itu, wajar bila si tengah tak mau mengalah. Bukankah mainan itu adalah miliknya?" Orang tua pun tak perlu memaksa dia untuk mengalah "Sudahlah, kamu mainnya belakangan saja. Sama adiknya, kok, enggak mau mengalah!" , misal. Bila diperlakukan seperti itu, menurut Indri, si tengah akan merasa dibedakan.
Sangat bijaksana bila kita menjelaskan pada si adik, "Ini mainan Kakak, jadi biarkan Kakak bermain dulu, Adek main dengan mainan Adek dulu, ya. Nanti kalau Kakak sudah selesai, Adek boleh pinjam, tapi nanti dikembalikan lagi, ya!" Cara ini berguna untuk mengurangi efek persaingan persaudaraan yang tak sehat lantaran si tengah merasa, "Kok, Adek dikit-dikit dibelain, sih, sama Bunda?"
Dipengaruhi Konteks Keluarga
Menurut Indri, perlakuan orang tua terhadap urutan kelahiran sebenarnya sangat dipengaruhi oleh konteks keluarga. Jadi, tak selamanya si tengah, misal, akan dicuekin orang tua. "Kalau ia ternyata anak lelaki satu-satunya di antara kakak dan adik perempuan, posisi ini tentunya malah menyenangkan baginya, karena orang tua akan sangat memperhatikannya." Yang kurang menguntungkan justru bila si tengah tumbuh di antara kakak dan adik yang sama jenis kelaminnya, misal, perempuan semua atau lelaki semua, karena dia cenderung kurang diberi perhatian (neglected) oleh orang tuanya.
Faras Handayani/nakita