Bukan salah si bungsu bila ia jadi manja. Bukankah orang tua cenderung memperlakukannya dengan istimewa?
Selama ini anak bungsu dianggap manja dan diperlakukan spesial oleh orang tua maupun kakak-kakaknya. Ia pun kerap "dituduh" bermental lemah dan tak punya daya juang kuat.
Anggapan ini, diakui Deisi Anggraeni Psi, memang ada benarnya. "Apalagi bila jarak kelahiran dengan kakak-kakaknya sangat jauh, hingga membuatnya jadi tempat limpahan kasih sayang orang tua dan kakak-kakaknya." Terlebih-lebih bila si bungsu menderita suatu penyakit atau ada kelainan, atau saat orang tua hamil, si bungsu mengalami pengalaman kurang mengenakkan hingga orang tua bersikap over protective.
Psikolog pada SD Khusus Pantara ini melihat, hampir semua orang tua berkecenderungan terlalu melindungi anak bungsunya atau memenangkannya. Sementara kakak-kakak si bungsu kerap menganggap adiknya lucu, perlu disayang dan diperhatikan. Hingga, segala sesuatu yang dikerjakan si bungsu perlu dibantu. Bahkan, bila ia sudah "sekolah" dan kebetulan ada tugas, bisa jadi akan selalu dibuatkan oleh kakak-kakaknya. "Jadi, tanpa diminta pun, orang tua dan kakak-kakaknya sudah memberikan perhatian padanya. Akibatnya, ia terbiasa menerima sesuatu dengan mudah. Akhirnya ia jadi merasa, 'Aku nyantai-nyantai pun, semua orang tetap sayang dan bantuin aku, kok.'"
Tentunya, pola asuh seperti itu akan membuat si bungsu makin manja dan tak mandiri, ia akan tergantung terus pada perhatian dan pertolongan saudara-saudaranya. Apalagi, beban yang disandang si bungsu biasanya tak seberat kakak-kakaknya, karena ia tak dituntut menjadi tumpuan harapan keluarga. Barulah jika kakak-kakaknya kurang berprestasi, si bungsu yang jadi tumpuan harapan orang tua.
Itu sebab, wajarlah bila si bungsu akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi anak seperti anggapan-anggapan tadi. "Jelas ini bukan salah si bungsu, dong. Wong, lingkungan dia, kok, yang membentuknya menjadi seperti itu." Tapi, hati-hati, lo, kemanjaan ini bisa merusak si bungsu. Soalnya, dengan bertambah usia, bukan tak mungkin ia kelak mengalami kendala hubungan sosial dengan lingkungannya. "Walaupun bisa saja, seiring bertambah usia, ia mendapat pengalaman-pengalaman yang membuatnya harus mengoreksi sendiri sikapnya. Misal, kala orang lain menuntutnya agar ia tak terlalu tergantung."
TAK INGIN MANJA
Selain faktor eksternal tadi, kemanjaan pada si bungsu bisa juga karena pengaruh internal (dari dalam diri), yaitu persepsinya sebagai anak bungsu, "bahwa dirinya akan selalu disayang oleh keluarga, hingga ia pun merasa dirinya berhak mendapatkan semua keinginannya, mengikuti apa maunya, tak boleh ada yang mengecewakannya," tutur Deisi.
Nah, karena ada faktor internal ini, bisa terjadi dalam perkembangannya kemudian si bungsu berubah. Artinya, meski faktor eksternalnya mendukung si bungsu jadi manja, tapi jika dari dalamnya sendiri tak ingin mendapatkan perlakuan istimewa tersebut, maka sifat manjanya pun takkan berkembang. "Pokoknya, walau orang lain mengatakan anak bungsu itu manja, tak bisa apa-apa, aku enggak mau seperti itu. Aku harus tunjukkan bahwa aku mampu," misal.
Sebaliknya, jikapun faktor internalnya mendukung, tapi bila faktor eksternalnya tak mau memenuhi kemanjaan yang diinginkan si bungsu, maka si bungsu pun akhirnya takkan jadi manja. Dengan demikian, kita tak bisa menyamaratakan semua anak bungsu itu manja. Intinya, bilang Deisi, manja-tidaknya si bungsu sangat tergantung dari situasi keluarga dalam mendidiknya dan pribadi si anak sendiri.
DIANGGAP REMEH
Selain memberikan kemanjaan dan limpahan kasih sayang, orang tua dan kakak-kakak si bungsu pun kerap memperlakukannya sebagai anak kecil terus. Hal ini tampak sekali kala ada hal-hal penting yang perlu dibicarakan, "biasanya si bungsu tak pernah dimintai pendapatnya. Jikapun ia bersuara, suaranya kerap tak didengar. Sebab, di benak orang tua dan kakak-kakak selalu tertanam bahwa si bungsu masih kecil," papar Deisi. Hingga, jangan heran bila kelak si bungsu tak pernah bisa mengambil keputusan sendiri dan selalu tergantung pada pendapat orang tua serta kakak-kakaknya.
Itu sebab, Deisi menekankan agar orang tua menerapkan pola asuh yang demokratis, baik kepada si sulung, si tengah, maupun si bungsu. Hingga, semua anak mendapat kesempatan sama untuk mengeluarkan pendapatnya dan juga mendapat porsi sama untuk didengarkan. Jadi, jangan mentang-mentang ia anak bungsu lantas pendapatnya diremehkan, lo.
Sikap sama rata ini selayaknya diterapkan sejak kecil. Misal, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, si bungsu juga diberi tugas yang sama dengan kakak-kakaknya. "Bila kakaknya punya tugas membersihkan kamar, maka adiknya juga harus diberi tanggung jawab yang sama. Kecuali kalau ia masih terlalu kecil. Untuk balita, biasanya tanggung jawabnya lebih ke arah mampu mengurus diri sendiri. Misal, harus pakai baju sendiri, pilih baju sendiri, bukan kakak-kakaknya yang memakaikan. Jika belum bisa, bimbing untuk memakai bajunya sendiri. Pilihkan antara dua atau tiga baju. Dengan begitu, anak pun belajar mandiri."
USAHA KUAT DARI ORANG TUA
Untuk si bungsu yang bayi, tentunya belum tahu kalau dirinya anak bungsu, hingga kemanjaannya sebagai anak bungsu belum tampak padanya. Kemanjaan yang ada adalah kemanjaan umum setiap bayi, yaitu ingin diladeni, yang diungkapkan oleh tangisan. Seperti diketahui, tangisan merupakan salah satu cara bayi untuk berkomunikasi kepada orang tua atau orang lain. Lewat tangisan, ia menyampaikan pesan bahwa dirinya haus, lapar, mengompol, atau sakit, dan lainnya. Barulah di usia batita atau prasekolah, kemanjaan sebagai anak bungsu akan tampak. Merasa dirinya bungsu, ia ingin mendapatkan perlakuan yang spesial. Misal, ia tak mau makan jika tak disuapi ibunya. Sementara kakak-kakaknya pun akan merasa maklum adiknya masih disuapi, karena ia bungsu.
Nah, mumpung masih bayi, agar kelak ia tak manja, kita harus menerapkan pola asuh berupa disiplin positif bagi si bungsu. Maksudnya, suatu keteraturan dan konsistensi. Misal, mengajarkan rutinitas seperti jam tidur, jam makan, dan jam minum susu hingga menjadi suatu pola. Tapi ingat, penerapannya harus konsisten, jangan berubah-ubah. "Bila konsistensi tak dijaga, kelak anak tak mengerti peraturan dan akan berlaku seenaknya," ungkap Deisi. Bukan berarti kita harus keras, lo, melainkan tegas: kalau boleh, ya, boleh, tapi kalau enggak boleh, ya, enggak boleh.
Jadi, kita harus menguatkan hati, ya, Bu-Pak. Jangan gara-gara tak tega melihat rengekannya lantas kita pun tak konsisten dengan aturan yang ada. Perasaan tak tega hanya akan menghambat kelangsungan disiplin. "Harus ada usaha kuat dari orang tua untuk melawan perasaan tak tega ini kalau memang tak ingin anaknya manja."
Begitupun bila si bungsu tak mau mengikuti aturan, "ia harus mendapat sanksi. Memang untuk bayi belum bisa diberikan punishment, tapi tetap orang tua harus memberikan pengarahan atau 'teguran' padanya." Misal, ia suka mengisap jempol, kita bisa "menegur"nya dengan mengatakan, "Kan, Bunda sudah bilang, jangan mengisap jempol. Lepasin jempolnya, ya, Sayang.'" Bila ia melakukannya, jangan lupa memberinya reward, bisa berupa pujian, "Nah, kan, begitu bagus."
Tak kalah penting, kita pun harus tetap ingat agar tak meluluskan begitu saja semua permintaan si bungsu. "Ia harus diberi pengertian. Misal, bila ia selalu menangis jika ditinggal pergi bekerja, beri pengertian padanya bahwa ayah dan bunda harus pergi, tapi nanti akan kembali lagi dan bertemu di sore harinya."
DIAJARKAN MANDIRI
Tentunya, si bungsu pun harus diberikan kesempatan untuk belajar mandiri. Bukankah kemandirian amat penting? Untuk itu, kita tak boleh banyak melarang. Jangan hanya gara-gara takut ia terjatuh kala bereksplorasi dengan merangkak dan berjalan, misal, kita lantas melarangnya. "Kecenderungan orang tua, kan, begitu. Sedikit-sedikit khawatir, lalu mengambil praktisnya saja, anak digendong terus-menerus. Lama-lama si anak jadi malas belajar merangkak dan berjalan. Akhirnya, teman-teman seusianya sudah mampu berjalan, ia masih butuh waktu lama untuk bisa berjalan."
Lagi pula, bila kita terlalu cemas, bayi bisa terpengaruh hingga ia pun tak berani berbuat apa-apa. Kalau sudah begitu, tumbuh kembangnya bisa tak optimal, ia jadi tak mampu mandiri. Itu sebab, anjur Desi, "biarkan saja anak melewati tahap-tahap perkembangan sesuai usianya." Bukan berarti kita boleh melarang si bungsu, lo. Bagaimanapun, yang namanya anak, tak peduli si sulung, si tengah, atau si bungsu, tetap harus diberi larangan dan batasan-batasan, terutama pada hal-hal yang bisa membahayakan dirinya semisal memasukkan sesuatu yang berbahaya ke mulutnya. Dengan demikian, ia jadi tahu mana yang berbahaya dan tidak, mana yang boleh dan tidak.
Nah, Bu-Pak, kini kita jadi makin paham, ya, mengapa si bungsu cenderung manja dan bagaimana seharusnya kita memperlakukan si bungsu agar ia pun tumbuh dan berkembang optimal.
Erni /nakita