Hentikan Kebiasaan Yang Buruk Dan Berbahaya

By nova.id, Senin, 18 Juli 2011 | 04:09 WIB
Hentikan Kebiasaan Yang Buruk Dan Berbahaya (nova.id)

BUKAN KELAINAN PSIKOLOGIS

Menurut Uke, orang tua sebaiknya waspada jika anak melakukan perbuatan berbahaya. Sebab, bukan tak mungkin ada faktor internal pada anak. Misal, ia mengalami kelainan organis di kepalanya, khususnya otak, hingga ia sering membentur-benturkan kepalanya ke tembok. "Konon, jika anak mengalami gangguan organis pada kepalanya, ia suka membenturkan kepalanya. Bisa jadi karena saraf-sarafnya tak terkoordinasi dengan baik." Bila demikian, anjurnya, segera konsultasikan si anak ke dokter ahli saraf.

Beda dengan kebiasaan buruk, "sama sekali bukan kelainan psikologis. Ia tetap anak yang normal, hanya normalnya bermasalah." Tinggal kita lihat, apakah sudah mengganggu lingkungannya atau tidak. Jika ia melakukannya tak kenal tempat, misal, dilakukan kala sedang bertamu, atau intensitas dan frekuensinya sudah mencapai tingkatan mengkhawatirkan, hendaknya kita waspada. Jangan-jangan ia menjadikan perilaku itu sebagai yang tiada duanya untuk memenuhi rasa aman, nyaman, dan nikmatnya kala ia cemas menghadapi sesuatu; entah lantaran habis dimarahi orang tua, berantem dengan teman, atau hanya sekadar suntuk. "Ini berarti, anak sudah mengalami gangguan psikologis."

Selain itu, bila sudah jadi kebiasaan, bisa dijadikan senjata ampuh bagi anak untuk menghadapi orang tua. "Ah, aku akan mengupil terus bila main ke rumah teman Bunda. Biasanya Bunda akan menjanjikan sepulang dari rumah temannya akan memberi aku apa saja yang aku inginkan, asalkan aku tidak ngupil," misal. Tak hanya itu, makin lama ia akan makin tergantung dengan kebiasaan buruknya ini. Hingga, walau diejek teman-temannya, ia tetap akan melakukannya meski dengan mencuri-curi, karena di situlah ia merasa nyaman dan tenang. Akhirnya, kebiasaan ini akan terbawa sampai besar. "Kan, enggak lucu jika di tempat kerjanya selalu mengupil atau saat sedang rapat ia selalu memainkan rambut."

Bukan mustahil pula, kebiasaan ini akan mencelakai anak. Misal, saking asyiknya mengorek-korek kuping, akan melukai gendang telinganya. "Jadi, kebiasaan buruk ini pun bisa menjadi kebiasaan berbahaya." Terlebih jika kebiasaan yang dilakukannya adalah hal-hal yang bahaya, seperti menahan nafas atau membenturkan kepala ke tembok, "ia bisa saja cidera atau bahkan meninggal dunia." Pokoknya, tandas Uke, entah kebiasaan buruk atau yang berbahaya, sama sekali tak ada untungnya buat anak.

Memang, sih, aku Uke, jika tarafnya biasa-biasanya saja, kebiasaan buruk/bahaya ini akan hilang sendiri. "Seiring bertambahnya usia, kematangan jiwa, kepribadian, dan intelektualnya, biasanya kebiasaan itu akan hilang sendiri." Tentu hilangnya melalui proses, semisal sering diejek teman-teman atau setelah ia melihat anak yang diejek dan dicemooh karena kebiasaan buruk tersebut, hingga ia pun takut melakukannya lagi. Namun, ada juga anak yang kebal, tetap saja melakukannya dengan cuek atau secara sembunyi-sembunyi. Nah, yang kebal ini yang bisa berlanjut hingga besar.

BERI PENGERTIAN

Itulah mengapa, Uke minta agar orang tua segera membantu anak untuk menghentikan kebiasaan buruk/bahaya itu. Sarannya, lakukan dengan cara menjalin hubungan atau komunikasi yang lebih baik dengan anak, memberikan pengertian-pengertian bahwa perbuatannya itu tak baik dan bisa mencelakakan dirinya. "Kalau kamu suka membentur-benturkan kepala, nanti kamu akan jadi anak bodoh. Apa kamu mau?", misal.

"Jika tak diberi tahu, anak akan bingung dan bertanya-tanya sendiri, 'Kenapa, kok, segitu aja enggak boleh? Kan, aku cuma ingin dibeliin sepatu oleh Bunda,' misal." Orang tua pun, lanjut Uke, harus memberi contoh yang baik dengan menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruknya itu. Juga, jangan lupa selalu dampingi anak nonton TV atau film agar bisa memberikan penjelasan atau pengertian perihal yang ditontonnya.

Uke pun minta agar orang tua tak memberikan tanggapan positif, entah dengan memberikan atau menuruti kemauan anak, kala ia menunjukkan kebiasaan buruk/bahaya itu. "Bersikaplah pura-pura tak perhatian pada anak." Jika anak bertanya, kenapa ia didiamkan, saat itu orang tua bisa masuk dengan memberikan pengertian. Misal, "Bunda enggak suka kamu membenturkan kepala. Bunda, kan, sudah bilang berkali-kali kalau membenturkan kepala itu enggak baik."

Selain itu, berikan kegiatan pada anak atau buatlah ia sibuk. Tentu kegiatan yang disukai anak dan bermanfaat buat tumbuh kembangnya. Selanjutnya, jangan lupa berikan reward atau hadiah jika ia mampu menghentikan kebiasaan buruk/bahaya itu; entah berupa ciuman, pelukan, atau mengajaknya jalan-jalan ke kebun binatang, dan lainnya. Menurut Uke, reward seperti ini akan lebih mengena di dalam hati sanubarinya daripada berupa barang.

Namun jika anak tetap belum mau mengerti atau malah semakin menjadi-jadi, boleh, kok, kita menghukumnya. "Tapi jangan hukuman fisik, ya, melainkan hukuman yang bisa menyentuh afeksi anak. Misal, tak mendapatkan pelukan dari ibu, tak boleh menonton film kesayangannya, atau acara liburan ke rumah kakek-nenek batal." Dengan begitu, akan lebih mengena perasaan anak hingga ia pun termotivasi untuk tak mengulangi perbuatannya itu.