Menceritakan hal-hal buruk yang pernah dialami anak hanya akan membuatnya sakit hati. Jangan heran kalau ia lantas mengamuk. Segera hentikan dan minta maaflah pada anak.
Tak jarang kita saksikan, orang tua menceritakan kepada orang lain, hal-hal tak menyenangkan yang dialami anaknya, seperti sakit yang pernah diderita si anak, atau kelakuan "buruk" si anak semisal memecahkan barang pajangan seharga jutaan rupiah, dan lainnya. Orang tua tak sadar, hal tersebut sangat tak menyenangkan buat anak, terlebih bila si anak sudah usia 4 tahun.
Soalnya, anak usia 4 tahun sudah belajar menangkap hal-hal yang berada di luar dirinya dan mengaitkannya pada hubungan yang sifatnya konkret. Dalam bahasa lain, "anak usia ini sudah mampu menangkap situasi tak nyaman atau enak yang ia alami, semisal sakit yang dialaminya hingga berbulan-bulan," terang Dra. Endang Retno Wardhani, psikolog dari RS Pondok Indah, Jakarta.
Hingga, kala pengalaman tak enak/nyaman itu diekspos keluar, entah pada kerabat dekat atau tetangga, sama saja dengan menggugah kembali ketaknyamanan yang pernah dialaminya atau membuka luka lamanya. Padahal, si anak sudah menguburnya dalam-dalam. Jangan lupa, ingat Endang, tiap anak menyukai hal-hal yang menyenangkan dirinya (pleasure) dan tak menyukai hal-hal yang membuatnya tak enak (pain).
MEMBUATNYA MALU
Bagi anak, jelas Endang lagi, pengalaman buruk tersebut sangat tak mengenakkan. Apalagi, misal, sakit yang pernah dialaminya berlangsung cukup lama. Ia tak bisa main, tak bisa nonton TV, tak bisa jalan-jalan, ataupun melakukan kegiatan lain yang disukainya. Belum lagi sakit itu sendiri tak enak buat dirinya semisal kepalanya pusing, badannya lemas, muntah-muntah, dan lainnya.
Bahkan, bukan tak mungkin pengalaman buruk itu menjadi hal yang traumatis buat dirinya, hingga ia tak mau lagi mengalaminya. "Jangankan mengalami, mendengar ceritanya saja ia tak mau. Bukankah jika hal itu terjadi sama saja dengan ia diajak untuk merasakan kembali ketidakenakkan tersebut?" Makanya, kala pengalaman buruk itu kita munculkan lagi ke permukaan, akan sangat menyakitkan anak atau membuatnya tak nyaman. "Sama seperti kita teringat masa lalu yang buruk, sungguh tak enak, bukan?"
Akibatnya, bisa terjadi anak melakukan penolakan keras kala kita menceritakannya pada orang lain, sekalipun orang itu adalah kakek-nenek atau om-tantenya, karena ia merasa malu. Menurut Endang, rasa malu ini menunjukkan kemampuan kognitif anak lebih berkembang dibanding anak lain seusianya. Soalnya, perasaan ini tak selalu terjadi pada anak usia 4 tahun, karena umumnya di usia ini, anak belum dapat memahami hubungan sebab-akibat.
Rasa malu ini timbul karena anak takut orang lain akan memandangnya sebagai anak yang sakit-sakitan, misal, hingga ia pun akan jadi bahan ejekan atau malah dikucilkan.
MINTA PERHATIAN LEBIH
Meski begitu, tak tertutup kemungkinan alasan penolakan si anak lantaran ia butuh perhatian lebih dari orang tuanya. "Ia ingin orang tuanya hanya memperhatikan dirinya, tak boleh memperhatikan orang lain. Bukankah kala menceritakan 'aib' si anak, orang tua sambil memandang ke arah lawan bicaranya? Nah, bagi anak, ini berarti perhatian orang tuanya telah terbagi dua, tak lagi terfokus pada dirinya," tutur Endang.
Bila ini yang terjadi, lanjutnya, disebabkan anak telah terbiasa dalam kurun waktu cukup lama- segalanya diperhatikan orang tua, dari bangun tidur sampai berangkat tidur kembali. Hingga, seolah-olah di dunia ini hanya dirinya yang diperhatikan orang tuanya. Akibatnya, timbul negativistik anak, entah berguling-guling, marah-marah, memukul-mukul, atau lainnya. Semata agar orang tuanya stop bicara atau berhenti memperhatikan orang lain dan kembali memperhatikan dirinya.
Anak yang menuntut perhatian penuh dari orang tua ini, menurut Endang, bisa juga lantaran ia pernah mengalami kehilangan masa kelekatan dengan orang tua, yang terjadi di usia 0-3 tahun. "Jika di usia batita anak mengalami sakit yang lama hingga harus dirawat di rumah sakit meskipun tak terus-menerus, tapi anak akan kehilangan masa kelekatan ini." Hingga, kala telah pulih kembali, ia butuh perhatian lebih dari orang tua.
Ditambah lagi, pada usia 4 tahun, anak pun telah masuk dalam fase egosentris. Tak ayal lagi, ketika si ibu bercerita dengan orang lain, ia akan berusaha mengalihkan perhatian ibunya agar tetap selalu kepada dirinya, bukan orang lain. Hingga, setelah si ibu stop bicara dan mengalihkan perhatian pada anak dengan cara memandang si anak, bisa dipastikan anak akan berhenti melakukan atraksi negativistiknya karena tujuannya sudah tercapai.
TURUTI KEMAUAN ANAK
Itu sebab, Endang minta agar orang tua berhenti mengekspos "aib" anak jika si anak sudah menunjukkan aksi penolakan keras. Kalau tidak, sama saja dengan memberikan dorongan negatif terhadap perilaku negativistik anak, di samping anak juga akan sakit hati. "Lihat saja, jika tetap menceritakan hal tersebut padahal anak telah meminta kita untuk berhenti, bisa dipastikan anak akan melakukan negativistik yang banyak sekali. Tak mempan dengan cara teriak-teriak, anak akan guling-gulingan. Jika tak mempan juga, anak akan memukul-mukul. Malah bisa juga, lo, membanting atau merusak apa pun yang ada dihadapannya."
Kalau sudah begitu, kita juga yang repot, kan? Bahkan, bisa membahayakan anak. Bukankah dengan ia berguling-guling di lantai, misal, bisa terkena benda-benda yang dapat membuatnya cedera? Jadi, tekan Endang, cerita orang tua tentang "aib" yang pernah dialami anak hanya akan semakin memberikan pengalaman negatif buat anak. Tentunya, pengalaman negatif ini akan memberikan perasaan negatif, sementara perasaan negatif akan membangun konsep pikir negatif, dan konsep pikir negatif akan berpengaruh pada rasa keyakinan diri yang negatif.
Soalnya, selain rasa malu, anak akhirnya berkeyakinan bahwa dirinya adalah anak yang sakit-sakitan, tak bisa sembuh, rentan, lemah, dan lainnya. "Akibatnya, anak bisa merasa rendah diri, menarik diri dari lingkungan, atau merasa dirinya aneh. Kalau sudah begitu, bisa dibayangkan, kan, apa yang bakal terjadi pada si anak?" Ih, serem, ya, Bu-Pak!
MINTA MAAF PADA ANAK
Setelah stop bercerita, saran Endang, jangan lantas kita diam saja, melainkan harus dapat menenangkan anak sebagai obat sakit hatinya. Misal, "Nak, Kakek hanya sekadar ingin tahu kenapa kamu sakit dan itu menandakan bahwa Kakek pun sayang sama kamu, seperti Bunda dan Ayah menyayangimu." Dengan begitu, anak akan beranggapan dirinya tetap dan selalu diperhatikan orang tua.
Tentunya dalam memberikan penjelasan atau pengertian harus dengan bahasa yang mudah dimengerti anak, hingga ia bisa memahami bahwa kita menceritakan hal negatif tentang dirinya bukan karena mau mempermalukannya di depan orang lain, melainkan karena kita benar-benar care padanya, termasuk orang yang kita ajak bicara pun care padanya.
Jangan lupa pula, saran Endang, kita pun harus minta maaf pada anak atas apa yang telah kita lakukan karena konsep positif pada diri anak harus tetap kita bangun. "Memang, orang tua biasanya naik darah duluan karena melihat perilaku negativistik anaknya. Hingga, sekalipun orang tua berhenti bercerita, tak jarang sambil memarahi anak. Namun perbuatan orang tua seperti itu sangat tak dibenarkan. Bukankah negativistik anak muncul disebabkan bukan kesalahan anak semata, tapi karena orang tuanya juga?" Dampaknya, selain tak menyelesaikan masalah, anak pun sakit hati hingga makin menumbuhkan konsep diri negatif pada anak.
Saran Endang, bawa anak keluar dari arena, ke kamar, misal, hingga di situ cuma ada orang tua dan anak. Selanjutnya, beri pengertian pada anak, misal, "Oke, Bunda enggak akan cerita lagi, tapi dengan syarat, kamu juga harus diam, ya." Setelah itu, orang tua tak perlu memperpanjang untuk membujuk-bujuk anak tapi bersikaplah biasa-biasa saja. Maksudnya, supaya anak tahu apa yang ia lakukan atau negativitasnya itu tak kita dorong, hingga tak bisa lagi menjadi senjata ampuhnya. Inilah, lanjut Endang, yang dinamakan proses pengabaian.
Tak ada salahnya, kita juga minta lawan bicara kita, entah kakek, nenek, atau siapa pun yang mendengarkan cerita kita mengenai "aib" anak, untuk minta maaf pada anak dan meyakinkan anak bahwa maksud mereka ingin tahu cerita tersebut bukan untuk mempermalukan atau untuk dijadikan bahan ejekan, melainkan sebagai manifestasi rasa sayang dan peduli terhadapnya. "Maafin, Kakek, ya, Kakek ingin tahu karena sayang pada kamu," misal. Setelah itu, jangan ungkit-ungkit lagi hal tersebut di depan anak, sekalipun si kakek ingin mengetahui atau kita ingin sekali menceritakannya kembali.
Jikapun ingin diceritakan kembali, jangan di depannya. "Tunggu saat anak tak ada di rumah atau lagi tidur."
Jangan lupa untuk kembali melakukan pendekatan pada anak. "Bisa saja, kan, anak masih merasa tak enak atau sakit hati pada orang tua atau si kakek?" ujar Endang. Pendekatan yang dilakukan bisa dengan cara mengajaknya bermain atau dibelikan hadiah kesukaannya. "Pokoknya, bangun kembali interaksi kedekatan dengan anak karena hal ini bisa menumbuhkan kembali kepercayaan anak terhadap orang tuanya atau si kakek." Selain itu, anak juga akan lebih cepat melupakan kejadian-kejadian yang tak mengenakkan itu, "Ternyata, Kakek benar-benar sayang sama aku. Jadi, kemarin itu Kakek bukannya ingin menyakiti aku, tapi karena merasa peduli dan sayang padaku," misal.
AJARKAN BERBAGI
Tak kalah penting, anjur Endang, ajarkan sharing atau berbagi pada anak. "Anak usia 4 tahun sebenarnya sudah bisa kita didik untuk sharing dengan orang lain. Namun sharing-nya jangan dimulai dengan cara mengekspos kondisi atau pengalaman negatifnya, tapi mulailah dari kondisi yang menyenangkan lebih dahulu. Sebab, makin nyaman bagi anak, ia akan makin antusias."
Jika tidak, bukannya mau bercerita, bisa jadi anak malah marah-marah atau mogok bicara. Jadi, misal, sepulang piknik "sekolah" atau berlibur di rumah kakek, minta ia bercerita, "Nak, coba, ceritakan sama Bunda, ngapain saja kamu di sana? Asyik enggak?" misal. Jika anak sudah terbiasa sharing tentang hal-hal yang positif, menurut Endang, dengan makin menanjak usianya, ia pun akan mudah untuk sharing tentang hal-hal negatif atau yang tak mengenakkan buatnya. "Sebab dengan bertambahnya usia, konsepnya sudah lebih formal dan ia telah mampu berfikir lebih abstrak, hingga ia bisa lebih memformulasikan segala sesuatu dari hubungan sebab-akibat yang jelas." Selain itu, karena ia telah terbiasa untuk sharing sedari kecil, sekalipun harus sharing hal yang negatif, ia akan merasa tetap nyaman.
Jika sharing tak kita biasakan sejak kecil, terang Endang, besarnya nanti akan sulit untuk sharing dengan orang lain, terlebih untuk hal-hal yang negatif, tentu akan membuatnya rikuh. Sebaliknya, jika kita memulainya dengan cara mengajarkan sharing dari hal negatif, asumsi yang akan timbul pada anak malah asumsi negatif pula, "Ngapain aku berbagi, nanti orang jadi enggak tertarik padaku," misal. Kalau sudah begitu, sama saja membuat anak jadi tertutup, kan?
Gazali Solahuddin/nakita