"Misal, sudah waktunya mandi, tapi anak menawar karena lagi asyik-asyiknya nonton TV dan kita menurutinya." Sikap ini, menurut Lisa, sama saja mendidiknya terbiasa menunda-nunda kewajibannya. Padahal, bila kebiasaan ini berlanjut, akan susah, lo, mengubahnya.
Sebab lain, si kecil ogah mandi/keramas karena ada aktivitas yang terhambat gara-gara mandi/keramas. "Bukankah biasanya kalau sudah mandi dan keramas, orang tua akan melarang anak untuk bermain gara-gara takut kotor kembali?" Misal, "Sudah, jangan lari-larian lagi, nanti badanmu keringatan lagi. Kamu, kan sudah mandi." Padahal, si kecil masih kepingin main dengan teman-temannya.
DIKUCILKAN TEMAN-TEMAN
Tentu saja, perilaku anak yang ogah mandi/keramas tak boleh dibiarkan terus. Ingat, mandi dan keramas merupakan kewajiban manusia yang akan terus dilakukannya hingga akhir hayat. Lebih dari itu, keengganan mandi/keramas bisa membuat si kecil terkena berbagai penyakit, terutama penyakit kulit.
Bahkan, bilang Lisa, bukan tak mungkin anak akhirnya akan dikucilkan atau dijadikan bahan ledekan oleh teman-temannya. "Nah, ini, kan, bisa mengganggu proses sosialisasinya. Otomatis, akan menggangu pula proses perkembangannya. Kasihan, kan?" Itulah mengapa, sebelum perilaku ini berakar dalam diri si kecil, kita harus mengatasinya sedari dini.
Yang pertama-tama tentunya kita harus cari tahu penyebabnya dulu. "Sebaiknya orang tua koreksi diri." Soalnya, kata Lisa, bisa jadi si kecil ogah mandi/keramas sebagai tanda protes pada orang tua yang selalu memaksakan kehendak, kurang perhatian, atau saat melatihnya ke toilet tak berjalan baik hingga anak mengalami hal-hal traumatis.
Namun dalam mencari tahu penyebabnya ini, tidaklah mudah karena kita perlu menelusurinya satu per satu. "Dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan orang tua." Caranya, menurut Lisa, cuma satu, yaitu rajin melakukan pendekatan dan berkomunikasi secara baik dengan anak.
REWARD DAN HUKUMAN
Jika akar permasalahannya telah diketahui, langkah selanjutnya memperbaiki segala yang tak mengenakan bagi anak. "Bila kita tanpa sengaja melakukan hal-hal yang menyakitkan anak, misal, matanya terkena sampo, tak perlu sungkan untuk minta maaf, 'Maaf, ya, Bunda enggak sengaja. Tapi kalau enggak kena mata, pasti enggak akan terasa perih, kok. Kali ini Bunda janji akan hati-hati dalam menuang samponya.' Dengan begitu, anak pun tak takut lagi untuk mencoba keramas."
Seiring dengan itu, perlahan-lahan memberikan pengertian pada si kecil tentang manfaat membersihkan diri. Bisa juga dengan cara membalikan kepada dirinya. Tentunya, jika ia ogah mandi, badannya akan jadi gatal atau bila ia ogah keramas, rambutnya akan sulit disisir karena kusut hingga tiap kali disisir akan terasa sakit. "Karena pada dasarnya anak selalu mencari sesuatu yang dapat mengenakkan dirinya, tentunya anak pun tak mau jika terjadi hal-hal yang tak mengenakkan pada dirinya."
Nah, bila si kecil telah menunjukkan ada perubahan sikap, jangan pelit untuk memberi reward. "Reward yang paling baik berupa pujian." Misal, 'Wah, anak Bunda sudah cantik dan wangi lagi." Dengan demikian, si kecil akan termotivasi untuk selalu menjalankan kewajibannya itu. Bukankah pada dasarnya anak balita butuh disayang, dipuji, dan diperhatikan orang tuanya?
Sebaliknya, jika ia tak juga berubah meski sudah diberi tahu berkali-kali, menurut Lisa, boleh saja si kecil dihukum. "Tapi hukumannya bukan hukuman fisik, lo. Itu bukan solusi yang baik, malah akan jadi bumerang buat orang tua." Cukup kita buat suasana seolah kita risi bila harus dekat dengannya, hingga si kecil akan berpikir, "Selain teman-teman, ternyata Ayah dan Bunda juga merasa enggak enak dengan aku karena aku belum mandi," misal.
Gazali Solahuddin/nakita