Tentunya saat bermain, si kecil akan memainkan peran sebagai orang lain. "Nah, ini berarti ia harus belajar mengatur perasaannya, kan?" ujar Uke. Adapun figur yang diperankan, umumnya yang menarik dan biasa dilihat dalam kehidupan sehari-hari si kecil, seperti orang tua, guru, perawat, atau dokter.
2. Mengembangkan motorik kasar dan halus.
Jangan lupa, di "rumah"nya, ia hanya memiliki ruangan terbatas, hingga mau tak mau ia harus mengendalikan tubuh dengan baik. Apalagi bila di "rumah" itu banyak peralatan main dan kawan-kawan yang datang berkunjung. Praktis ia dituntut untuk bisa mengendalikan semua anggota tubuhnya, seperti mengatur gerakan tubuh, tangan, dan kaki agar "rumah"nya tak hancur.
3. Mengembangkan ide dan mewujudkan kreativitas.
Lihat saja, sekalipun di kolong meja, si kecil akan berpikir bagaimana caranya agar bisa membuat rumah-rumahan yang tak bisa dilihat orang dari luar, hingga dibuatlah penutup pinggiran meja. "Bahkan, tak sebatas kolong meja atau kolong tempat tidur, segala tempat pun bisa dibuat rumah-rumahan. Pun di pekarangan, seperti dengan memanfaatkan seprei di tempat jemuran. Dengan begitu ia merasa daerah kekuasaannya makin besar."
4. Tempat pelampiasan emosi.
Misal, dengan berperan sebagai seorang ibu atau guru yang tengah memarahi anak atau muridnya. Biasanya yang jadi objek marah-marah si kecil bukan teman atau adiknya, melainkan boneka. "Tentu saja, pelampiasan emosi tak terjadi begitu saja saat main rumah-rumahan tanpa ada latar belakangnya. Melainkan ada penyebabnya, baik yang telah lalu atau baru saja terjadi semisal ia sedang marah atau kesal pada seseorang."
Namun, tegas Uke, bila kita memergoki si kecil tengah melampiaskan emosi, tak perlu langsung distop apalagi sampai dimarahi karena takkan menyelesaikan masalah. "Siapa tahu besok-besok ia akan melakukan lagi karena emosi yang ada di dadanya belum terlepas. Atau siapa tahu anak yang sedang melepaskan emosi itu hanya sekadar main-main. Jadi, biarkan anak melampiaskan emosinya hingga puas."
Baru setelah ia puas, kita beri pengertian baik-baik, "Kok, bonekanya dipukul-pukul? Kasihan, kan, sakit, juga bisa rusak. Kalau bonekanya rusak, nanti Kakak enggak punya lagi, kan?" Bukan tak mungkin si kecil kemudian akan mengemukakan alasannya berbuat begitu semisal, "Habis, kemarin Bunda marahin aku, sih! Bunda bilang, kasihan bonekanya kalau aku marah-marahin. Kok, kemarin Bunda marahin aku? Bunda enggak kasihan, ya, sama aku?"
Kalau sudah begitu, tentunya kita pun harus dapat memberi pandangan dan pemecahan padanya dengan bahasa sederhana hingga mudah dimengerti, "Kalau begitu, Bunda minta maaf, ya, kemarin Bunda khilaf. Kan, sekarang Bunda enggak marah lagi. Jadi, sekarang Kakak juga jangan marahin boneka lagi, ya?" Jika anak menurut, berilah reward.
Namun jika si kecil ternyata sudah keterlaluan dalam melampiaskan emosinya, apalagi hal ini sering dilakukannya, misal, sangat bernafsu ingin menghabisi bonekanya sampai ingin menghancurkannya, kita harus segera menghentikannya. Tentu dengan tetap memberikan pengertian. Bila perlu, dengan mengasosiasikan orang lain, "Kok, Kakak sampai menyiksa boneka seperti itu? Kalau Adik digituin, Kakak kasihan, enggak? Menyiksa seperti itu enggak baik, lo, Kak. Itu sama saja dengan perbuatan anak nakal."
Yang perlu disadari, bilang Uke, perbuatan anak seperti itu bukan karena ia ingin menyalurkan emosi negatifnya, melainkan cuma menyalurkan emosi-emosi yang ia tak bisa ungkapkan langsung. Jadi, dengan cara itulah ia melampiaskannya.