Pesona Kabupaten Batubara, dengan Pulau Terluar di Ujung Sumatera

By nova.id, Minggu, 11 Januari 2015 | 03:37 WIB
Pesona Kabupaten Batubara dengan Pulau Terluar di Ujung Sumatera (nova.id)

Pesona Kabupaten Batubara dengan Pulau Terluar di Ujung Sumatera (nova.id)
Pesona Kabupaten Batubara dengan Pulau Terluar di Ujung Sumatera (nova.id)
Pesona Kabupaten Batubara dengan Pulau Terluar di Ujung Sumatera (nova.id)

""

Dua Pulau Terluar

Selain perkebunan, pertanian, perikanan, dan peternakan, Kabupaten Batubara yang baru terbentuk pada tahun 2007 itu juga memiliki potensi kekayaan pariwisata yang tak kalah menawan. Berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka, Kabupaten Batubara memiliki banyak obyek wisata bahari.

Secara jumlah, Kabupaten Batubara memiliki 5 Pantai, 2 Pulau dan 1 danau, antara lain Pantai Jono (Pantai Perjuangan) di kecamatan Medang Deras, Pantai Bunga di Kecamatan Talawi, Pantai Datuk Alam Indah di Kecamatan Sei Suka, Pantai Sejarah di Kecamatan Lima Puluh dan Pantai Laksamana di kecamatan Tanjung Tiram.

Sementara Pulau Pandang, Pulau Salah Nama dan Danau Laut Tador berada di Kecamatan Tanjung Tiram. Dua pulau ini termasuk pulau terluar yang berbatasan langsung dengan wilayah negeri jiran, Malaysia. Kedua pulau ini juga menyimpan keindahan laut yang layak dikunjungi pencinta olahraga air seperti menyelam dan snorkling.

Perjalanan menuju pulau ini dapat ditempuh selama 1 jam dari dermaga Pelabuhan Tanjung Tiram. Kepala Dinas Budaya Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Batubara, Ishak Liza, mengatakan bahwa pihaknya tengah membangun dan menata Pulau Salah Nama. Hasilnya, kini telah berdiri musala dan Puskesmas. Ke depan, pihaknya akan menyiapkan sarana transportasi khusus menuju pulau.

Karena sebagian besar wilayah Kabupaten Batubara berada di pinggir laut, hampir sebagain besar warganya bekerja sebagai nelayan. Tak salah kiranya untuk berkunjung ke beberapa dermaga dan Tempat Penjualan Ikan (TPI). Salah satu dermaga dan TPI yang patut dikunjungi adalah Tanjung Tiram. Di tempat ini banyak penjual hasil tangkapan nelayan yang sudah diolah mejadi ikan asin.

Satu lokasi wisata yang tak boleh dilewatkan adalah Danau Laut Tador. Danau tersebut berada di kawasan Batu Tohap, berbatasan dengan Desa Tanjung Perapat. Meski tidak seluas Danau Toba, kondisi lingkungan seputar danau ini masih asri dan menyenangkan.

Sisa-sisa Kejayaan Sejarah

Nama Batubara sempat disebut dalam buku "Mission To The East Coast Of Sumatra" karya John Anderson, seorang utusan Pemerintah Inggris dan Penang yang mengunjungi Batubara pada tahun 1823. Pasalnya, sejak abad ke-18, Batubara menjadi pangkalan pedagang untuk membawa beragam hasil bumi Sumatera ke Penang (Malaysia) dan Singapura. Tak heran jika penduduk yang bermukim di Kabupaten Batubara ini terdiri dari beragam etnis seperti Jawa, Melayu dan Batak.

Sisa-sisa kejayaan Batubara di masa lalu masih dapat ditemui hingga kini. Salah satunya adalah bangunan Istana Niat Lima Laras. Terletak di Lima Laras, Tanjung Tiram, istana ini dibangun oleh Datuk Muhammad Yuda yang bertahta dari tahun 1883 hingga 1919. Istana yang dibangun pada tahun 1907 dan selesai 1912 ini menyimpan kisah perjalanan dan perjuangan masyarakat Melayu melawan penjajahan.

Selain itu, di beberapa titik, dapat ditemukan meriam-meriam yang digunakan untuk melawan penjajah. Di antaranya Meriam Nanas Siam yang berada di Nanas Siam, Madang Deras. Kemudian Meriam Bogak yang berlokasi di Tanjung Tiram, serta Meriam Simpang Dolok yang ada di Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh.

Di Kabupaten ini juga dapat ditemukan tanda-tanda masuknya tentara Jepang ke Sumatera Utara. Sekitar tahun 1942, Jepang mendarat di pantai Perupuk kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara. Akibatnya, pantai tempat mendarat Jepang itu disebut warga pantai Sejarah.

Kala itu, tentara Jepang sempat menguasai beberapa kawasan di Batubara seperti pasar Guntung yang kini menjadi Desa Guntung dan Desa Bulan Bulan yang sempat dijadikan sebagai tempat latihan tentara mereka. Sisa keberadaan tentara Jepang yang dapat dilihat hingga saat ini adalah sebuah benteng pertahanan yang terletak di pantai Sejarah.

Songket Rp 65 Juta

Songket, kain tenun tradisional masyarakat Melayu ini sudah dikenal lama. Songket yang dikenakan pada acara-acara resmi masyarakat Melayu ini berasal dari kata 'sungkit' yang berarti mencungkil atau mengait. Berbeda dengan daerah lain, songket Batubara memiliki berbagai kombinasi warna yang menarik. Tak heran jika kemudian para perajin songket asal Batubara banyak menerima pesanan dari mancanegara, terutama Malaysia, Brunei dan Singapura.

Hal ini diakui Azhar Abdullah (50) yang sudah mulai membuat songket sejak tahun 1977. "Saya belajar secara turun temurun. Songket Batubara sudah diakui kualitasnya, bahkan tak jarang saya dapat pesanan dari keluarga Raja Malaysia dan Sultan Brunei. Kalau Raja Malaysia biasa pesan motif cempaka dengan bahan dasar benang warna hitam dan motifnya warna emas. Sementara Sultan Brunei memesan motif Tampuk Manggis," akunya.

Satu keunggulan songket Batubara menurut Azhar adalah motifnya yang sangat beragam. "Motif khas ada banyak, mungkin jumlahnya ratusan. Di antaranya cempaka, bunga mentolas, bunga melati, bunga mawar, pucuk rebung, pucuk pandan dan lain-lain. Walau tidak ada catatannya, saya masih hafal semua motif dan bagaimana membuat polanya."

Tak mudah membuat selembar songket, kata pria berkacamata ini. "Butuh waktu bertahun-tahun. Mungkin kalau belajar menenun bisa cepat, tapi membuat polanya yang butuh waktu. Dari semua saudara saya, hanya saya yang masih bisa membuat pola," ujar anak kelima dari sembilan bersaudara ini.

Hasil tenunan Azhar kini sudah dipasarkan di 10 negara, "Bahkan satu songket buatan saya dipajang di salah satu museum di Belanda. Walau begitu saya menyediakan beragam songket dari harga Rp350.000 sampai Rp65 juta," lanjutnya. Yang menjadikan songket buatannya mahal karena terbuat dari benang sutera, emas dan perak. "Mencari bahan bakunya dan membuatnya juga susah. Kalau pakai bahan sutera bisa sampai dua bulan membuatnya," beber pria yang kini memiliki 100 orang karyawan.

Diakui Azhar, saat ini jumlah perajin yang sedikit membuat pesanan tidak semua dapat dipenuhi. "Biasanya jelang akhir tahun banyak orang seperti dari Tapanuli, Karo dan Simalungun yang mencari songket. Pesanan baru sepi pada bulan Juni dan Juli, mungkin karena tahun ajaran baru."

Selain Azhar, perajin songket yang lain adalah Yusnah (47), yang sudah menenun sejak kelas tiga SD. "Songket Batubara memiliki tekstur yang lembut, ringan, tidak luntur sehingga lebih nyaman dipakai," katanya. Songket Batubara juga dikenal unik karena cenderung menggunakan warna cerah, seperti merah, kuning, hijau, biru dan ungu. Kualitas kain pun bisa dibilang unggul, proses pembuatannya masih menggunakan alat tenun dari kayu dengan teknik tradisional.

Sayangnya, dokumentasi asal usul songket Batubara hingga kini masih belum diketahui secara jelas. Tak ada yang tahu pasti kapan songket masuk ke Batubara. Namun, Azhar mengaku keluarganya masih menyimpan sebuah songket warisan leluhur yang sudah berusia ratusan tahun. 

Kini, songket tak hanya dijadikan bagian dari busana resmi. Demi memperkenalkan songket kepada masyarakat, songket kini diaplikasian menjadi beragam benda sehari-hari. Di antaranya taplak meja, tutup air galon, sampai kemeja. Hasilnya, songket Batubara pun kian dikenal.

Edwin Yusman F