TAK PERLU CEMBURU
Selain soal anak, menurut Yati, masalah lain yang paling sering muncul ialah kecemburuan atas sikap pasangan yang masih terkenang-kenang pada mantan suami/istrinya. Terlebih jika dirinya "dipaksa" berpisah oleh kematian, bukan lantaran perceraian. Soalnya, memang ada kecenderungan dalam diri tiap orang untuk meromantisasi alias mengingat-ingat hal-hal bagus dari mereka yang sudah meninggal. "Maklumi saja, deh, supaya enggak bikin sakit hati," anjur Yati. Apalagi, tambahnya, romantisme begini memang masih bisa ditoleransi pada bulan-bulan pertama karena rasa kehilangan tak bisa dikikis begitu saja.
Lain soal jika romantismenya terus berlarut-larut, "dampaknya tentu tak sehat buat perkawinan." Pasalnya, yang muncul kemudian adalah membanding-bandingkan kita dengan mantan pasangannya. Padahal, enggak ada seorang pun yang mau dibanding-bandingkan. Bukankah tiap orang ingin diterima apa adanya? Nah, agar tak terus-menerus sakit hati dan masalahnya pun tak berkembang jadi pelik, saran Yati, "bersikaplah asertif. Kemukakan ganjalan di hati tapi tanpa menjelek-jelekkan mantan suami atau istrinya."
Boleh juga kita tanggapi perbandingannya lewat humor. Misal, ia mengatakan istrinya amat pandai bikin rendang. Tanggapi saja dengan enteng tanpa melibatkan emosi, "Kayak, apa, sih, rasa rendang buatannya? Kalau Papa tahu resepnya, ajarin Mama, dong." Dengan cara ini, menurut Yati, jauh lebih mempan ketimbang kita marah atau malah ngambek tak mau masak lagi. "Biasanya pasangan jadi tersadar kalau dia telah berbuat tak sepantasnya pada kita, hingga dia takkan mengulanginya lagi."
Kita pun seyogyanya tak perlu cemburu berlebihan jika pasangan dan mantannya sesekali bertemu atau telepon untuk urusan anak. Jangan lupa, anak-anak tetap menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya sekalipun suami dan istri sudah bercerai. Jikapun cemburu atau tak yakin mereka ketemu/telepon untuk urusan anak, toh, bisa dibicarakan dengan pasangan. Dengan begitu, kita pun terhindar dari praduga macam-macam yang belum tentu kebenarannya.
Intinya, dituntut kematangan diri pada siapa saja yang memilih menjadi pasangan hidup janda/duda berbalita. Tentu saja, diharapkan pasangan kita pun mampu bersikap dewasa, hingga segala persoalan bisa dikomunikasikan dan dicarikan solusinya bersama.