Kerja Lagi Atau Enggak Ya?

By nova.id, Kamis, 13 Januari 2011 | 17:00 WIB
Kerja Lagi Atau Enggak Ya (nova.id)

Bagi wanita bekerja, memutuskan kembali bekerja atau tidak setelah melahirkan merupakan suatu dilema. Padahal, kehadiran anak seharusnya tak perlu mengubah kebiasaan yang sudah dijalankan.

Buat ibu bekerja di negeri kita, menurut Dra. Nuke S. Arafah, dilema ini lebih merupakan kebimbangan antara meninggalkan anak yang masih bayi dan belum bisa apa-apa dengan faktor ekonomi. Beda dengan di negara maju yang lebih pada masalah eksistensi diri. Ini tercermin dari banyaknya ibu bekerja yang tak sesuai minat dan pendidikannya. Misal, wanita bergelar insinyur tapi bekerja di bank. "Jadi, lebih pada pemenuhan kebutuhan ekonomi," tegas psikolog ini.

Untuk mengatasinya, tergantung dari kesepakatan suami-istri bersangkutan. Memang, diakui Nuke, keputusan bekerja atau tidak bagi wanita merupakan haknya, "tapi, apapun keputusan yang dibuat sebaiknya atas dasar pertimbangan matang dan hasil rembukan bersama suami karena ini merupakan bagian dari komunikasi suami-istri." Dengan demikian, tak ada keberatan atau keterpaksaan pada salah satu pihak.

Justru bila tak dikomunikasikan, "akan timbul masalah," lanjut direktur LKBHIuWK (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Indonesia untuk Wanita dan Keluarga) ini, "entah masalah ekonomi, psikologi, maupun sosial." Itulah mengapa, dalam mempertimbangkan untuk kembali bekerja atau tidak, juga harus dipikirkan ketiga masalah tersebut dan diantisipasi dari masalah yang mungkin timbul.

FAKTOR EKONOMI

Jika dengan ibu bekerja maka anak tak makan atau tak bisa memberikan masa depan yang baik, misal, "mungkin ibu akan tetap bekerja setelah melahirkan." Lain hal bila sudah merasa mapan, "tak bekerja pun tak jadi soal. Toh, dengan penghasilan suami saja sudah mencukupi atau malah lebih cukup untuk kebutuhan keluarga."

Biasanya, mereka yang tak soal dengan masalah ekonomi, tak terlalu bimbang untuk berhenti bekerja dan mencurahkan perhatian pada anak. Bukankah setelah anak agak besar dan bisa ditinggal, ibu bisa menyibukkan diri dengan mengaktifkan hobi dan minatnya? Jikapun ibu ingin tetap membantu tambahan finansial juga tak masalah. Toh, bisa dilakukan sambil mengurus anak. Misal, ibu terampil membuat kue, menerima jahitan di rumah, membuka salon, dan sebagainya.

KEDEKATAN EMOSI

Tentunya, buat ibu yang ingin kembali bekerja harus sudah bisa mengatasi kebimbangan masalah anak. "Jauh hari setelah melahirkan harus disiapkan bagaimana meninggalkan anak kelak agar tetap aman dan nyaman di rumah." Misal, dengan menyerahkan anak kepada orang yang diserahi tanggung jawab dan dipercayai, hingga ibu bisa tenang meninggalkan rumah dan konsentrasi bekerja.

Nah, mencari tenaga pengasuh yang andal dan bisa dipercaya ini yang sulit. Sering, kan, mendengar kisah-kisah seram tentang pengasuh yang memperlakukan anak dengan tak baik? Jadi, kita harus hati-hati.

"Kita, kan, tak bisa percaya langsung begitu saja kepada pengasuh, tapi harus lihat dulu kualitasnya." Saran Nuke, cari pengasuh minimal sebulan sebelum ibu kembali bekerja. Dengan begitu, jika ibu merasa tak cocok, masih ada waktu untuk mencari gantinya.

Harus diperhitungkan pula, keberadaan pengasuh sebagai orang ketiga bisa saja menimbulkan masalah tersendiri. Misal, anak jadi lebih dekat dengan pengasuhnya hingga timbul kecemburuan pada ibu. Untuk mencegahnya, "ibu harus mendekatkan diri dengan anak." Caranya, manfaatkan waktu sebelum dan sepulang kerja untuk bersama-sama anak, entah memandikan, menyuapi makan, bermain, dan sebagainya. Pokoknya, selagi ibu di rumah, si pengasuh "diliburkan". "Asalkan intensif, waktu yang sedikit itu sudah cukup, kok. Tak perlu harus 24 jam memberi perhatian pada anak." Dengan begitu, kedekatan emosi anak dan ibu tetap baik.