Dengan kita memberinya tugas, berarti kita mengajarinya belajar bertanggung jawab. Kelak ia akan memiliki konsep diri positif.
Tak jarang kita saksikan seorang ayah yang hendak pergi berpesan pada anak lelakinya, "Mas, tolong jaga Bunda dan Adik, ya, selama Ayah pergi.", sekalipun si Buyung masih balita.
Tentu saja si Buyung belum bisa menjaga ibu dan adiknya. Justru si ibulah yang menjaga dia dan adiknya. Namun tak apa, justru pemberian tugas tersebut amat baik untuk si prasekolah kita. Dengan begitu, kita sama saja mengajarkan rasa tanggung jawab padanya. Seperti dikatakan Dra. Lucia RM Royanto, "Jika anak dibiasakan melakukan atau mengerjakan tugas-tugas yang kita percayakan kepadanya, besarnya nanti akan memahami tugas-tugasnya dan bisa menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya."
Pasalnya, anak lama-lama akan memahami apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Misal, kala kita memberi tugas pada si kecil untuk menjaga mainannya agar tak rusak, ia dilatih untuk menaati tugas itu. Hingga, kala kita menemukan si kecil ngerusakin mainannya tersebut, kita harus bertanya padanya, "Kenapa kamu rusak mainan itu?' Dengan demikian, ia pun lama-lama akan memahami, "Oh, maksud Ibu itu, saya harus menjaga mainan ini agar jangan sampai rusak." Lama-lama terbentuk dalam dirinya untuk menjaga kepercayaan atau melakukan tugas yang diberikan padanya.
SESUAI TARAF PERKEMBANGAN
Tentunya, dalam memberi tugas atau tanggung jawab harus disesuaikan kemampuan anak seusianya. "Jadi, besar-kecilnya tanggung jawab harus disesuaikan taraf perkembangan anak," tegas Lusi, sapaan akrab psikolog ini. Adapun yang pertama haru dilihat ialah kemampuan kognitifnya. Kalau tidak, takutnya tanggung jawab yang kita berikan malah jadi beban atau bahkan menjadikannya bossy.
Untuk usia prasekolah, lanjut staf pengajar di Fakultas Psikologi UI ini, mulailah memberi tanggung jawab dari hal-hal kecil seperti membereskan mainan, merapikan tempat tidur, atau menjaga adik. "Pokoknya, tugas yang diberikan harus controlable, yaitu yang sepenuhnya bisa anak kerjakan atau aman bagi anak."
Jadi, jangan si kecil di usia ini diberi tanggung jawab, misal, menjaga ibu dan adiknya saat berbelanja di mal. "Ini malah akan membebaninya karena ia belum mampu melakukannya." Akibatnya, terang Lusi, jika tugas tersebut tak berjalan baik, misal, dompet si ibu kecopetan atau si adik hilang, si kecil akan merasa bersalah.
Lain hal jika si kecil diberi tugas menjaga ibu dan adiknya di rumah, menurut Lusi, boleh-boleh saja. "Kan, tugas ini tak berbahaya bagi anak, baik terhadap fisik maupun mentalnya." Juga, walaupun kita tahu sebenarnya ia belum bisa menjaga ibu dan adiknya atau dirinyalah yang dijaga ibunya, setidaknya ia bisa melakukan penjagaan itu dengan cara diam di rumah. Jadi, kalau biasanya ia selalu main di luar rumah, tapi dengan adanya tanggung jawab tersebut, ia akan memilih bermain di rumah hingga ayahnya pulang.
LIHAT EMOSIONAL ANAK
Selain itu, kita pun harus lihat situasi anak saat itu. "Jika mood-nya sedang baik, bolehlah kita beri tugas padanya untuk membereskan mainan yang telah ia gunakan, misal. Namun bila ia lagi tak sehat atau mood-nya jelek, tak ada gunanya kita beri tugas karena ia bakalan tak senang," tutur Lusi.
Jadi, tegasnya, dalam mendidik anak, kita tak bisa selalu mengambil garis lurus atau bereaksi yang sama pada semua situasi dan keadaan. "Bagaimanapun kita harus melihat segi emosional anak sebelum memberikan tanggung jawab padanya."
Selain, kita pun dituntut selalu konsisten. "Jangan sebentar-sebentar mengubah tanggung jawab yang kita berikan karena anak akan bingung." Misal, kita beri tugas padanya untuk membereskan meja makan. Namun beberapa saat kemudian, kita berubah pikiran karena sadar tugas itu bisa membahayakan anak, misal, piring atau gelas bisa pecah hingga melukainya. Tentu si kecil jadi bertanya-tanya tak mengerti, "Lo, kok, enggak boleh? Katanya tadi aku yang ngerjain." Itu sebab, anjur Lusi, sebelum memberi sesuatu tugas atau tanggung jawab, kita sebaiknya memikirkan dulu, apakah tugas/tanggung jawab tersebut sesuai kemampuan si kecil atau tidak, apakah membahayakan dirinya atau tidak.
Tak cuma itu, ayah-ibu pun mesti sepakat dulu bahwa anak boleh dan dapat menerima tanggung jawab tersebut, agar pemberian tanggung jawab membuahkan hasil optimal. Jadi, jangan sampai ibu merasa tugas yang diberikan ayah terlalu berat hingga ibu melepaskan tugas tersebut. "Selain menunjukkan kita enggak konsisten, juga memberi contoh tak baik pada anak, yaitu tak ada keselarasan antara ibu dan ayah."
KONSEP DIRI POSITIF
Pemberian tanggung jawab, lanjut Lusi, juga amat berpengaruh pada penghargaan diri dan konsep diri anak. "Anak jadi punya perasaan dirinya mampu atau tak tergantung pada tanggung jawab yang kita berikan," terang Lusi.
Jadi, si kecil akan tumbuh sebagai anak yang lebih percaya diri, harga dirinya meningkat, dan ia pun punya kepribadian positif. "Bukankah jika ia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, hal itu semacam pembuktian bahwa ia mampu dan bisa?" Hingga, lingkungan pun akan memberi reinforcement atau penghargaan padanya, "Wah, Kakak memang hebat!" atau "Kakak memang pintar!", dan lainnya. Nah, penghargaan ini akan meningkatkan harga diri anak hingga mempengaruhi dan membentuk sifat ke arah yang positif. "Jika harga dirinya telah meningkat, ia tentu akan lebih berani mengambil keputusan lebih tinggi lagi atau lebih berat lagi."
Namun ingat, lo, tugas yang kita berikan harus tepat atau sesuai kemampuan anak. Kalau tidak, bilang Lusi, "ia bisa berkembang jadi tak percaya pada diri sendiri atau meragukan kemampuannya sendiri. Hingga, ia pun tak berani untuk menerima suatu tanggung jawab yang diberikan kepadanya." Akhirnya, ia jadi punya konsep diri yang salah. "Ia akan merasa dirinya gagal mengemban tanggung jawab yang diberikan kepadanya." Ia frustrasi, "Kok, aku enggak bisa, sih, ngerjain segitu aja."
MEMBERI WEWENANG
Selain diberi tugas-tugas, si kecil pun bisa dikasih wewenang, lo. Misal, kala pembantu menanyakan jenis masakan yang hendak dimasak esok hari, tak ada salahnya kita beri wewenang pada si kecil, "Nah, Kak, besok pagi Kakak mau makan apa? Kakak boleh menentukan menu yang Kakak sukai." Atau, kala diajak ke toko mainan, kita minta ia memilih sendiri mainan yang diinginkannya.
Dengan memberi wewenang pada anak untuk memilih sendiri kebutuhannya, terang Lusi, berarti kita melatihnya untuk memutuskan sendiri, sekaligus mengajarinya untuk tak selalu tergantung pada orang lain atau mandiri. Lebih dari itu, "anak akan punya self confidence yang baik. Ia merasa mampu melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, padahal biasanya ia selalu dibantu oleh orang lain."
Itulah mengapa, tekan Lusi, memberi wewenang pada anak harus dilakukan sejak kecil. "Tak usah menunggu sampai ia besar. Justru bila kita telah melatihnya sedari kecil, selain mudah, juga akan tertanam terus sampai ia dewasa," katanya.
Namun tentu saja, kita harus kembali pada aturan, pemberian wewenang pun mesti disesuaikan usia anak. "Jika hanya memilih menu makanan, baju atau buku di toko, untuk anak usia prasekolah sudah bisa dilakukan. Asalkan jangan diminta memilih beli komputer, misal." Selain itu, kita pun harus tetap memberikan rambu-rambu dan pengawasan pada anak. Misal, "Kakak hanya boleh memilih buku di rak ini, jangan di tempat lain, karena buku di rak inilah yang sesuai untuk Kakak."
Tak lupa, sesuaikan kondisi dan kebutuhan anak. Jangan kita malah minta ia memilih makanan yang disukainya padahal saat itu ia lagi tak ingin makan. "Bisa saja ia menolak atau malah ngambek." Jikapun hal ini sampai terjadi, pesan Lusi, jangan paksa si kecil. "Anak-anak itu, kan, masih moody. Bila kita paksakan, akhirnya nanti ia akan merasa bahwa pemberian wewenang itu merupakan sesuatu yang tak menyenangkan."
Hal lain yang penting diperhatikan, jika si kecil sudah menjatuhkan pilihan, maka ia harus konsekuen. Misal, ia sudah memilih sebuah baju tapi kemudian baju itu tak mau dipakainya atau malah ia menginginkan baju yang lain. Nah, berikan pengertian padanya, "Tadi, kan, Kakak bilang ingin beli baju itu. Malah Kakak juga yang memilihnya sendiri, bukan Ayah atau Bunda. Nah, karena baju itu adalah pilihan Kakak dan kehendak Kakak sendiri, maka mau tak mau Kakak harus memakainya."
Dengan begitu, kata Lusi, kita mengajarinya untuk bertanggung jawab atas keputusan atau pilihannya sendiri dari wewenang yang kita berikan padanya. "Asalkan ayah dan ibu kompak serta konsisten, maka dalam diri anak akan tertanam, 'Oh, jadi kalau aku sendiri yang memilih untuk membeli baju ini, berarti aku harus mau untuk memakainya.' Hingga, nantinya anak akan selalu bertanggung jawab atas apa-apa yang ia lakukan."
Nah, sudah siap, kan, Bu-Pak, memberi tugas/tanggung jawab dan wewenang pada si kecil?
Gazali Solahuddin/nakita