Otak Kanan Penentu Kreativitas

By nova.id, Jumat, 25 Maret 2011 | 17:01 WIB
Otak Kanan Penentu Kreativitas (nova.id)

Ibu dan Bapak, jangan cuma menekankan pembelajaran hapalan pada si kecil tapi optimalkan juga fungsi otak kanannya kalau ingin ia jadi anak kreatif.

Sering, kan, melihat anak-anak main kuda-kudaan dengan menggunakan sapu ijuk atau pelepah pisang yang dibentuk seperti kuda? Itu tandanya mereka kreatif. Nah, yang menggerakkan kreativitas ini adalah belahan otak kanan. Seperti diketahui, otak manusia terdiri belahan otak kiri dan kanan.

Sayangnya, fungsi belahan otak kanan amat kurang dioptimalkan. Justru pemberdayaan belahan otak kiri yang lebih diutamakan. Lihat saja di sekolah-sekolah, para guru cenderung lebih menekankan pembelajaran menulis, membaca, berhitung, atau menghapal. Padahal, pembebanan otak dengan pembelajaran seperti itu, tak sepenuhnya akan mewujudkan peningkatan perkembangan kognitif (daya pikir) anak. "Bahkan justru menjadikan anak tak berpikir kreatif karena fungsi imajinasi yang terletak di otak kanan diabaikan," ujar Prof. Dr. Conny R. Semiawan.

Jadi, jika belahan otak kanan kurang berfungsi, maka anak akan lebih berpikir linier (satu arah), teratur, dan logis. Dampaknya, anak tak berpikir multi dimensional. Ambil contoh beberapa ekonom yang sering berpikir monolitik atau linier, yaitu hanya berpikir tentang bidang ekonomi saja. "Padahal, perkembangan ekonomi itu dipengaruhi oleh berbagai macam bidang, seperti politik dan sosial," lanjut Guru Besar pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta dan Fakultas Psikologi UI ini.

Meskipun teori ini tak mutlak sifatnya, namun ilmu yang disebut neuroscience yang mendeteksi perkembangan kedua belahan otak ini sudah diakui oleh para ilmuwan.

SEJAK NOL TAHUN

Tentunya Ibu dan Bapak masih ingat, betapa penting kreativitas dalam kehidupan seseorang. Jika sedari dini kreativitas anak sudah dikembangkan, seperti dikatakan Prof. Dr. S.C. Utami Munandar, Dipl-Psych., berarti kita sudah memberi dasar kokoh pada kehidupan anak selanjutnya. "Dalam dirinya sudah terbentuk sikap dan pribadi kreatif." (nakita No.23/I/11 September 1999.) Dengan begitu, ia akan lebih siap dan mampu menghadapi masalah-masalah di masa depan. Ingat, lo, kehidupan berubah amat cepat. Jika si kecil tak kreatif, ia takkan mampu menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang terjadi di zamannya.

Jadi, Bu-Pak, bila ingin si kecil tumbuh dan berkembang sebagai orang kreatif, optimalkan fungsi belahan otak kanannya sejak sekarang. Malah, kata Conny, hal ini sudah bisa dilakukan sejak anak berusia nol tahun karena manusia itu mulai belajar sejak nol tahun. "Bayi yang baru lahir, misal, jika tiap ia menangis lalu digendong ibunya, lama-lama ia pun merasakan, 'Oh, kalau aku menangis berarti aku akan digendong.' Hingga, tiap kali ingin digendong, ia pun menangis." Itu sebab, anjurnya, ibu harus bersikap bijak. "Jika anak menangis, jangan langsung main gendong tapi selidiki dulu apakah nangisnya karena lapar, digigit binatang, popoknya basah, ataukah karena ia memang ingin digendong." Dengan begitu, secara tak langsung kita telah melatih si kecil "berpikir" sebab-akibat, hingga akhirnya ia tahu bagaimana cara menunjukkan apa yang ia butuhkan lewat tangisannya. Misal, "Oh, kalau aku nangisnya pelan, ibu akan mengajakku main. Tapi kalau aku nangisnya sampai teriak-teriak, ibu akan menggendongku."

AJUKAN PERTANYAAN

Yang jelas, dalam upaya mengembangkan kreativitas anak atau mengoptimalkan fungsi belahan otak kanannya, kita tak boleh menjadikan anak sebagai objek yang harus menerima apa saja yang kita sampaikan. Justru kita harus menjadikannya sebagai subjek yang dilibatkan secara intensif berdialog (komunikasi dua arah) dengan mengacu pada topik yang kita bicarakan. "Ini akan lebih efektif dan mengena karena belahan otak kanannya akan terfungsikan," terang Conny.

Namun, apa yang kita sampaikan (topiknya) harus menerobos masuk ke pusat minatnya, yang selanjutnya akan tergerak pula emosinya, hingga anak terdorong untuk berpikir. "Hal ini disebut getaran emosional yang menjadikan berpikirnya anak tersentuh." Tentunya, apa yang kita sampaikan haruslah familiar buat anak agar anak tertarik (masuk ke pusat minat), hingga ia pun tergerak untuk mengetahuinya (emosi tergerak), yang dilanjutkan dengan berpikir. Dengan begitu, belahan otak kanannya barulah berfungsi.

Adapun caranya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Misal, "Nak, kamu, kan, sering melihat burung. Nah, mengapa burung yang sering kamu lihat itu bisa terbang?" Mungkin ia akan menjawab, "Karena burung punya sayap.", atau, "Memang sudah dari sananya bisa terbang.", bisa pula, "Habis, kakinya kecil-kecil. Kalau ada musuh, kan, dia enggak bisa lari kenceng. Tapi kalau bisa terbang, kan, dia bisa cepet-cepet lari.", dan seterusnya. Apa pun jawabannya, kita minta ia untuk memberikan sebanyak mungkin alasannya. Dengan begitu, kita melatih keterampilan berpikir kreatifnya.

Pengajuan pertanyaan-pertanyaan ini juga perlu diterapkan dalam hidup sehari-hari. Misal, si kecil minta dibelikan boneka padahal bonekanya di rumah sudah setumpuk. Jangan katakan, "Lo, kamu, kan, sudah punya banyak boneka. Lebih baik mainan masak-masakan ini aja. Kan, kamu belum punya.", tapi katakan, "Bonekamu, kan, sudah banyak. Kenapa kamu ingin beli boneka lagi?" Dengan begitu, si kecil diajak berpikir, benarkah boneka tersebut memang yang ia butuhkan. Hingga, ia pun bisa menjelaskan mengapa ia tetap memilih boneka ketimbang mainan lain. Hal ini sekaligus mengajarkannya untuk memilih dan mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.

Bisa juga kita mengajak si kecil membuat kesimpulan sendiri dari hasil pengamatannya terhadap lingkungan selama ini. Caranya, minta ia membuat kalimat dengan berpikir secara hipotesis (menduga sesuatu yang belum terjadi). Misal, membuat kalimat yang awalnya menggunakan kata "apabila", seperti "Apabila hujan turun deras dari pagi hingga malam, maka akan terjadi banjir."; "Apabila tanah enggak ada tanamannya, maka tanah itu akan rusak."; "Apabila aku punya banyak uang, maka aku akan beli mobil yang besar supaya bisa ajak kakek-nenek jalan-jalan."; dan seterusnya.

Cara lain, ajak si kecil bereksperimen dengan menggunakan alat peraga. Misal, kita ingin mengajarkan tentang erosi. Ajak si kecil menyiapkan dua buah kotak yang sama-sama diisi tanah, lalu salah satu kotak ditanami rumput. Kita suruh ia mengamati kedua kotak itu dan menuangkan air ke dalamnya. Setelah itu kita simpulkan dan sampaikan pada si kecil bahwa tanah dalam kotak yang tak ada rumputnya bila diisi air akan mengalami erosi.

JANGAN MENDOKTRIN ANAK

Namun dalam menerapkan cara pembelajaran tadi harus dilakukan dengan bermain, lo. Ingat, dunia anak adalah dunia bermain. Selain itu, bilang Conny, suasananya juga harus demokratis, "tak boleh terlalu teacher centered." Maksudnya, terarah pada apa yang dikatakan guru/orang tua. Jadi, tak dibenarkan jika perkataan kitalah yang harus berlaku. Selain itu, harus pula dibangun suasana yang selalu ada interaksi dua arah antara anak dan kita (ada dialog). Berikutnya, kita harus pula mendengarkan atau menanggapi pendapat anak. "Jadi, anak di sini haruslah kita hargai pendapat-pendapatnya. Dengan begitu anak akan timbul kreativitasnya."

Dengan kata lain, untuk mengoptimalkan belahan otak kanan, baik guru maupun orang tua, jangan sekali-kali mendoktrin anak. Misal, kita mengajarkan kegunaan suatu alat, "Nak, sapu ijuk ini gunanya untuk menyapu lantai." Namun bila si kecil punya pendapat lain, "Enggak, Ma, sapu itu buat main kuda-kudaan.", menurut Conny, kita jangan lantas menyalahkannya. Soalnya, si kecil pun tak salah bahwa sapu bisa dijadikan kuda-kudaan, selain fungsi yang sebenarnya untuk menyapu. "Justru bila kita menyalahkan pendapatnya, perkembangan fungsi belahan otak kanan tak akan maksimal."

Hal lain yang perlu diperhatikan, untuk mengoptimalkan fungsi belahan otak kanan, kita juga wajib memberi kebebasan bereksplorasi pada si kecil. Jangan sampai kita membatasi ruang geraknya karena hanya akan menghambat kreativitasnya. Begitu pun jika si kecil banyak bertanya, jangan malah dimarahi atau dicuekin, tapi harus dijawab atau ajak ia untuk menemukan jawabannya dari buku, misal. Si kecil pun harus diberi kebebasan mengekspresikan diri lewat aneka mainan dan permainan kreatif seperti mencoret-coret, menggambar, membuat aneka bentuk dari tanah liat atau lilin, bermain pasir, bermain peran, dan sebagainya. Dengan begitu, imajinasinya makin berkembang dan ia pun tambah kreatif.

HARUS SEIMBANG

Pendeknya, Bu-Pak, dengan kita mengoptimalkan fungsi belahan otak kanan anak, nantinya si kecil akan menjadi anak yang penuh kreativitas, berpandangan jauh, dan punya imajinasi tinggi. "Ia akan selangkah lebih maju ketimbang anak lain yang hanya belahan otak kirinya saja dioptimalkan," kata Conny.

Bukan berarti kita lantas menganaktirikan atau mengesampingkan fungsi belahan otak kiri, lo. Soalnya, dampaknya juga enggak bagus jika lebih mementingkan belahan otak kanan. "Nanti anak malah tak mampu untuk berpikir logis, linier, dan teratur yang juga sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari." Jadi, yang terbaik adalah mengoptimalkan kedua belahan otak tersebut secara seimbang.

 BELAHAN OTAK KANAN PEREMPUAN DAN LELAKI BERBEDA

Ternyata, beda, lo, perkembangan belahan otak kanan antara anak perempuan dan lelaki. "Dalam sebuah teori yang percaya pada nature atau alam daripada lingkungan, dikatakan bahwa perempuan lebih cenderung berkembang belahan otak kanannya ketimbang laki-laki. Itu bisa terlihat bahwa perempuan itu lebih emosional dan intuitif serta sering kurang tegas mengambil keputusan. Akan tetapi ia juga sangat kritis," tutur Conny.

 Gazali Solahuddin/nakita