Hati-hati, lHo, si kecil bisa tumbuh menjadi pribadi yang ragu-ragu bila kerap dibanding-bandingkan. Sebaliknya, anak yang jadi bahan pembanding akan selalu merasa diri sempurna hingga sering salah arah.
Sering kita dengar, seorang ayah atau ibu membangga-banggakan anak yang satu dan menjelekkan anak yang lain. Misal, "Kakak, kok, nggak seperti Adek, sih? Contoh, tuh, Adek, kalau dikasih tahu selalu nurut, tidak seperti Kakak, ngelawan terus."; atau, "Wah, Kakak hebat, lho, juara renang lagi, tidak seperti Adek, kalau bertanding kalah melulu. Ikut lomba menggambar aja enggak pernah menang."
Padahal, dengan membanding-bandingkan, tutur Rahmitha P. Soendjojo, berarti orang tua tak melihat sosok si anak secara utuh. Bukankah seharusnya kita melihat anak sesuai dengan dirinya, kemampuannya? Jadi, tegas Mitha, sapaan akrab psikolog pada DIA-YKAI, Jakarta ini, kalau mau membandingkan, ya, bandingkan dengan kemampuan diri si anak sendiri. "Jangan pernah di luar jangkauan itu! Sama sekali nggak adil, dong."
JALAN PINTAS
Memang, aku Mitha, membanding-bandingkan adalah sesuatu yang wajar dan alamiah. Orang dewasa, misal, bukankah kalau "digesek" seperti itu akan lantas panas hingga terpacu semangatnya? Tapi jangan lupa, anak bukan orang dewasa karena ia masih serba terbatas, baik fisik, kemampuan, maupun cara berpikirnya. "Anak tak akan langsung bisa mengambil keputusan untuk belajar atau berbuat manis karena pengalaman belajarnya juga belum ada."
Sebenarnya, lanjut Mitha, keinginan membanding-bandingkan merupakan upaya orang tua untuk mencari jalan pintas. "Mereka berpikir, dengan membanding-bandingkan, anak akan lebih cepat nangkap dan ngerti sehingga jadi termotivasi."
Jadi, dengan mengatakan, misal, "Lihat, tuh, Adek lebih pintar! Baru masuk 'sekolah' sudah bisa membaca. Kakak mana? Sudah TK besar tapi masih belum bisa baca juga.", orang tua berharap si kakak akan "terbakar" semangatnya untuk juga bisa pintar membaca seperti adiknya. Tapi pada kenyataannya, belum tentu dengan perbandingan itu anak akan termotivasi seperti harapan orang tua. Ingat, kemampuan dan cara berpikir anak masih terbatas.
"Bisa jadi ia malah bingung, gimana caranya, ya, supaya aku bisa lancar membaca." Lagi pula, orang tua sebenarnya tak berhak, kok, "mengadili" anak dengan membanding-bandingkan. Apalagi bila selama ini orang tua tak pernah melatihnya belajar membaca. "Anak, kan, bisa belajar bukan take it for granted atau datang begitu saja sejak lahir.
Meski IQ-nya sejenius Einstein, misal, tapi bila ia tak pernah diperkenalkan dengan huruf sama sekali atau apa yang mesti dipelajarinya, ya, nggak bakalan bisa." Seharusnya, bilang Mitha, orang tua mencari apa yang jadi penyebab anak belum juga bisa lancar membaca, bukan malah menyoroti ketidakmampuannya dengan membanding-bandingkan.
Jadi, bukan memvonis, tapi menggali potensi sekaligus mencari solusi bagaimana mewujudkan harapan agar si kakak bisa lancar membaca. Dengan begitu, dalam diri si kakak otomatis akan terpancing kesadaran, "Oh, iya, Bunda benar. Mungkin aku kurang giat belajar, jadi enggak bisa baca."
Lain hal bila orang tua sudah mengajarinya membaca atau mengenalkan teknik-teknik belajar yang efektif, sementara si anak tak mau belajar atau menerapkannya hingga akhirnya ia jadi tak lancar membaca. Baru, deh, orang tua boleh omong atau berkomentar, "Kakak, kok, belum juga lancar membaca, sih?" Tapi tetap caranya bukan membanding-bandingkan dengan anak lain.
TAK PERCAYA ORANG TUA