Hidup Tanpa TV, Mungkinkah?

By nova.id, Senin, 3 Januari 2011 | 17:01 WIB
Hidup Tanpa TV Mungkinkah (nova.id)

Lagi pula, stimulus buruk, kan, enggak hanya bersumber dari TV semata. "Justru contoh nyata dari orang tua sendirilah yang paling cepat ditiru anak karena anak segini, kan, lagi gencar ber-modelling atau meniru." Bagaimana orang tua bersikap dan bagaimana mereka membangun hubungan suami-istri akan lebih mudah ditiru anak. Dia akan menampilkan sikap gampang marah dan bersikap kasar pada siapa saja kalau memang itu yang dilihatnya dalam keluarga, misal.

Yang tak kalah penting, apakah orang tua nantinya betul-betul bisa menjalankan fungsi controlling terhadap peraturan yang agak di luar kebiasaan ini. "Nah, siapkah orang tua terus-menerus memantau dan intensif mendampingi anak?" Kalau fungsi kontrol bisa berjalan, sih, enggak apa-apa karena tak akan menimbulkan masalah baru. Tapi, bagaimana bila anak ternyata malah mencuri-curi nonton di rumah tetangga? "Inilah yang harus diantisipasi orang tua jauh-jauh hari."

Soalnya, kalau anak menumpang nonton, ia justru jadi tak teramati; berapa lama ia menonton, tayangan apa saja yang ditontonnya, dan bagaimana kemungkinan ia mencerna tontonan tadi bila tak ada bimbingan/penjelasan dari orang tuanya. Malah lebih fatal, kan, akibatnya?

Lisa minta orang tua introspeksi diri bila anak sampai mencuri-curi nonton di rumah tetangga; apakah dirinya tak termasuk orang tua yang otoriter? Soalnya, bila keputusan menghapus budaya nonton TV dalam keluarga mutlak ada di tangan orang tua, tanpa kompromi, apalagi mempertimbangkan pendapat dan kebutuhan anak, boleh jadi orang tua tergolong tipe yang memaksakan kehendak. "Orang tua model begini biasanya punya kecenderungan strong controlling alias kelewat ingin mengatur orang lain, termasuk anaknya."

Sementara reaksi anak bisa bermacam-macam. Ada yang diam dan menerima begitu saja semua bentuk pelarangan orang tuanya, meski ia sebetulnya amat tertekan. "Namun ada pula yang memberontak begitu merasa kebutuhan dan keberadaannya terabaikan, lebih-lebih bila ia bukan termasuk orang yang suka diatur-atur." Nah, mencuri-curi nonton di rumah tetangga merupakan salah satu bentuk pemberontakannya.

Jangan lupa, anak yang sudah jenuh dilarang ini-itu tanpa penjelasan, biasanya akan semakin besar kadar kepuasannya bila ia melakukan apa yang justru dilarang orang tuanya. Dorongan bereksplorasi dibarengi kondisi merana yang semakin lama membuat anak semakin merasa terkungkung dan terbatas inilah yang akhirnya mencuat dalam bentuk pemberontakan tadi. Belum lagi pendiktean, "Jangan ini!" atau "Jangan itu!" yang sudah begitu akrab di telinga anak.

SARANA PENDIDIKAN

Sebenarnya, tutur Lisa, TV berfungsi sebagai media. Jadi, sesuatu yang netral. Malah bisa menjadi sarana pendidikan bila dimanfaatkan secara benar. Bahwa yang keluar dari TV bisa segala macam -dari informasi, hiburan, berita pembunuhan, sampai film-film erotis maupun yang mengerikan-, sementara porsi acara untuk konsumsi anak relatif terbatas, memang tak bisa dipungkiri.

Tapi bukan berarti solusinya adalah meniadakan TV di rumah. Toh, masih bisa disiasati dengan orang tua mendampingi anak menonton, sehingga saat TV menayangkan adegan kekerasan, misal, kita bisa menjelaskan kepadanya atau ganti saluran kalau sudah terlalu parah. "Alihkan perhatiannya sambil beri penjelasan karena tak sedikit anak yang ngotot tak mau pindah saluran." Kalau ia bertanya mengapa, justru kesempatan bagi orang tua untuk memasukkan nilai-nilai bahwa hal-hal seperti itu ada yang tak baik. "Anak pun akan menyerap hal-hal yang kita ajarkan."

Tak demikian halnya bila orang tua "berani" bersikap ekstrem (meniadakan TV di tengah banjirnya arus informasi). Menurut Lisa, bila orang tua sampai bersikap ekstrem, berarti ada sesuatu yang membuatnya trauma hingga ngotot melindungi anaknya dari pengaruh TV. Atau, ada ketakutan tertentu pada dirinya karena melihat anak temannya yang jadi agresif gara-gara TV, misal. Mungkin juga si orang tua tipe orang yang enggak suka nonton TV; dia tak merasa enjoy sehingga nontonnya hanya yang perlu-perlu saja.

Tapi, Bu-Pak, apapun "alasan" di balik sikap ekstrem tersebut, ingatlah, seiring berjalannya waktu, si kecil akan berkembang menjadi individu mandiri yang harus mampu berfungsi sebagai filtering; menyaring mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak. Nah, fungsi filtering inilah yang justru harus dihidupkan atau ditumbuhkan sejak kecil. Usia balita merupakan kesempatan emas untuk menanamkan sikap dan nilai-nilai moral pada anak. Jadi, mengapa tak kita manfaatkan?

Julie/nakita