Bila Si Miskin Berjodoh Dengan Si Kaya

By nova.id, Selasa, 26 Oktober 2010 | 17:03 WIB
Bila Si Miskin Berjodoh Dengan Si Kaya (nova.id)

Apa jadinya bila suami dan istri memiliki perbedaan status sosial ekonomi cukup tinggi? Ternyata, pihak yang tingkat ekonominya lebih tinggi diharapkan mengalah.

"Kalau mau cari jodoh, jangan lupa lihat bibit, bebet, dan bobotnya." Begitu, kan, anjuran dari para orang tua zaman dulu. Meskipun di zaman sekarang masih banyak juga orang tua yang menganjurkan demikian. Maksudnya, carilah pasangan yang berasal dari keluarga baik-baik, sederajat pendidikan dan sosial ekonominya.

Anjuran atau nasihat tersebut, menurut Drs. Monty P. Satiadarma, MS.ATMCP/MFCC, ada benarnya, kok. Setidaknya, dalam psikologi pun ada teori yang mengatakan, semakin dekat perbedaan akan semakin kokoh perkawinan. Sebaliknya, semakin jauh perbedaan akan semakin berat karena harus ada kerja keras untuk menyatukan keduanya. "Itulah mengapa, pasangan suami-istri sebaiknya berlatar belakang sama, baik dalam pendidikan maupun status sosial ekonomi," ujarnya.

Kendati demikian, bukan berarti orang yang lemah secara ekonomi tak boleh menikah dengan golongan orang berada yang jauh di atasnya, lo. "Ide kesamaan status sosial dan ekonomi sebenarnya bertujuan untuk mengurangi tekanan dalam perkawinan. Tapi kalau si miskin akhirnya ketemu jodoh dengan si kaya, ya, enggak apa-apa. Soal jodoh, kan, bukan kita yang mengatur," tutur Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta, ini.

Yang penting, lanjut Monty, sebelum menyatukan diri dalam ikatan perkawinan, sudah dibicarakan matang-matang soal perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk perbedaan sosial ekonomi. "Kalau perbedaan-perbedaan itu sudah disepakati, pasangan bisa melangkah kepada komitmen yang lebih kuat." Dengan demikian, soal kaya-miskin tak lagi dipermasalahkan. Lagi pula, bila dua orang sudah terikat dalam sebuah perkawinan, maka masing-masing pihak harus menanggalkan atribut sebagai si kaya atau si miskin dan menggantinya dengan atribut suami dan istri atau ayah dan ibu bila sudah punya anak. Jadi, tandas Monty, "Mau tak mau, masing-masing pihak memang harus mengubah gayanya, karena itulah proses adaptasi perkawinan."

EKONOMI TAK TERMASUK

Memang, sih, aku Monty, perbedaan latar belakang ekonomi akan membentuk persepsi-persepsi yang tertanam pada masing-masing pihak; menjadi cerminan atau gambaran tentang dirinya yang disebut konsep diri. "Nah, konsep diri ini tampak dalam atribut yang dia bawa, misalnya, kamu anak miskin, kamu anak kaya." Namun dalam hidup berkeluarga, lanjutnya, atribut-atribut ini diharapkan tak tampak lagi, berubah menjadi atribut-atribut baru sebagai suami/ayah dan istri/ibu.

Menurut Monty, bila masing-masing pihak sudah menyadari perannya, maka perbedaan kaya-miskin seharusnya tak menjadi konflik lagi. Tapi, karena persepsi dalam keluarga bisa berbeda dengan persepsi di masyarakat, maka bila komitmen di dalam tak kuat, ya, konflik tetap bisa muncul gara-gara persepsi dari luar. Bukankah dalam penilaian masyarakat, setiap orang harus berperan sesuai atribut-atribut asalnya?

"Jadi, kalau atributnya miskin, ya, dia harus menjalani peran ini di masyarakat. Kalau tidak, dia akan mendapat cela dari masyarakat." Nah, bila persepsi masyarakat yang seperti itu diproyeksikan ke dalam diri kita, ya, celakalah. Soalnya, kita pun akan mempunyai penilaian yang sama. "Orang miskin, tuh, enggak pantas kawin sama orang kaya. Nanti akibatnya kamu jadi minder, enggak bakalan dianggap sama si kaya."

Begitu, kan, yang sering kita dengar? "Nah, pada saat menikah, proyeksi ini bisa tumbuh sewaktu-waktu bila komitmennya enggak kuat," kata Monty. Sebaiknya, saran Monty, tak usahlah kita memfokuskan pada perbedaan ekonomi dan persepsi masyarakat yang bisa menjadi pemicu konflik. "Kalau ingin pernikahan langgeng, fokuskan pada keinginan untuk membentuk perkawinan yang sehat tanpa memandang status sosial ekonomi."

Apalagi, tambahnya, dalam perkawinan yang langgeng, unsur ekonomi tak termasuk, kok. Perkawinan yang langgeng, tuturnya, harus memenuhi 5 unsur berikut ini: ada komitmen, ada rasa saling memberi dan menghargai, ada cinta, ada kebahagiaan, dan ada legitimasi untuk mendapatkan keturunan. Nah, terbukti, kan, unsur ekonomi sama sekali tak termasuk? Jadi, buat apa dipersoalkan, Bu-Pak?

TAK USAH MINDER

Lagi pula, lanjut Monty, bila dua orang sudah terikat dalam perkawinan, tak peduli kaya atau miskin, yang ada kemudian adalah mitra sejajar. "Masing-masing pihak harus saling memahami dan belajar. Yang kaya tak perlu lagi menonjol-nonjolkan kekayaannya. Sebaliknya, yang miskin tak perlu minder." Malah yang kaya mungkin bisa belajar bagaimana hidup bersahaja. Jadi, kalau teman-temannya selama ini selalu dari lingkungan orang kaya, cobalah untuk mencari teman dari lingkungan pasangan yang notabene orang-orang sederhana. "Kadang kita malah bisa belajar banyak, lo, dari orang-orang yang statusnya di bawah kita," tutur Monty.

Sementara yang miskin, lanjut Monty, daripada minder, lebih baik berpikir positif. Misalnya, "Biarpun saya enggak sekaya istri, tapi saya punya pekerjaan halal dan penghasilan yang cukup untuk anak-istri." Tentu saja yang miskin pun perlu belajar dalam arti memperluas wawasannya mengenai kehidupan orang kaya. Sehingga manakala suatu saat dia berada dalam kelompok pasangannya yang kaya, paling tidak dia bisa ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka. "Tapi yang baik, adalah masing-masing pihak perlu mempelajari gaya hidup pasangannya. Inilah yang dinamakan proses penyesuaian diri dalam perkawinan."

Tapi bukan berarti si suami yang miskin ini lantas harus mengubah gaya hidupnya yang sederhana menjadi glamor, lo. "Nanti malah dibilang kere munggah bale, orang miskin yang kawin hanya untuk climb society, pindah ke golongan yang dirasanya lebih tinggi." Lagi pula, kalau ternyata dia enggak sanggup, malah bisa timbul konflik peran, lo. Maksudnya, lanjut Monty, peran adalah watak yang kita mainkan di dalam pergaulan sosial.

Konflik peran terjadi jika kita harus memainkan watak yang tidak selaras atau bahkan bertentangan. "Dalam konteks miskin dan kaya, misalnya, seseorang yang berasal dari keluarga sederhana yang terbiasa hidup sederhana dan ekonomis, kemudian harus menyesuaikan diri dengan pasangan barunya yang kaya dan boros, ia akan mengalami konflik peran. Seringkali 'terpaksa' harus bertindak yang sama dengan pasangannya, padahal hati kecilnya tersiksa.

Nah, lama-kelamaan ini bisa menimbulkan frustrasi. Karena dia harus menjadi orang yang bukan dirinya sendiri." Menurut Monty, lebih baik kemajuan itu diperoleh karena achievement dia sendiri, bukan karena mobilitas sosial yang diperolehnya dari pasangan. Harga diri juga tetap bisa dipertahankan. "Bangga, kan, kalau kita kemudian menjadi kaya, dan step by step 'perjuangannya' kita nikmati."

YANG KAYA HARUS MENGALAH

Jikapun sampai terjadi konflik gara-gara perbedaan status sosial ekonomi, saran Monty, coba, deh, pikirkan, penting enggak, sih, suami- istri "berkelahi" gara-gara soal itu? "Fokuskan mana yang lebih penting, status sosial ekonomi atau kelanggengan perkawinan?" Monty menganjurkan agar pasangan melihat kembali bagaimana komitmennya dulu sebelum menikah. Bila memang dulu sudah dicapai kata sepakat bahwa perbedaan status sosial ekonomi tak bakal jadi masalah, lantas mengapa komitmen tersebut sekarang malah berbelok? Apakah karena ada faktor luar yang terlalu ikut campur?

Kalau masalahnya karena faktor luar, kembalikan lagi pada komitmen. Kalau masalahnya karena komitmen yang dilanggar, ya, harus diluruskan lagi. Berarti, mau tak mau, harus ada pihak yang mengalah. Nah, dalam kasus perkawinan beda status sosial ekonomi, kata Monty, yang lebih diharapkan mengalah adalah pihak yang lebih tinggi tingkat ekonominya. "Kalau suami sudah sebal dengan gaya hidup yang kita pertahankan, ya, cobalah untuk mengubahnya. Toh, tak ada salahnya mengubah gaya hidup yang lebih down to earth. Apalagi di zaman sekarang, orang dinilai bukan dari kekayaannya, tapi lebih kepada pendidikan dan attitude-nya."

Bila suami lebih kaya, seringkali mereka justru menuntut agar istri mengikuti sang suami. Bukankah kerap terjadi, bila istri tidak bisa mengimbangi suami, maka si suami pun jadi punya alasan untuk membenarkan tindakannya untuk menyeleweng, misalnya, "habis istriku enggak bisa diajak gaya, norak. Kan, malu kalau bawa-bawa istri ke tempat jet-set?" Tentu saja itu hanya alasan yang dicari-cari untuk menyeleweng.

"Karena pada dasarnya memang sudah berencana menyeleweng. Punya istri norak? Siapa yang suruh punya istri norak? Memangnya siapa yang memilih pada mulanya, bukankah karena sifat norak laki-laki itu sendiri yang membawanya pada pilihan tersebut?" Pola pikir demikian sesungguhnya cuma blamming, menyalahkan orang lain yang sesungguhnya bersumber dari rasa ketidakberdayaan menerima kritik, saran dan kekurangan orang lain. Hal ini hanya mungkin terjadi jika seseorang memiliki sikap rendah hati." Sebaliknya sifat mau menang sendiri adalah keangkuhan yang menyelimuti sifat pengecut karena tidak berani menerima ketidaksempurnaan manusia. "Ingat, perkawinan itu sendiri merupakan ibadah dalam kehidupan. Tidak adil kalau kita selalu mencari-cari kekurangan pasangan, sementara kita tutup mata atas kelebihan-kelebihannya."

JADI CONTOH BUAT ANAK

Yang terbaik, menurut Monty, ambillah jalan tengah. Misalnya, gaya hidup yang bersahaja. Pasalnya, bila suami-istri kerap konflik hanya gara-gara mempersoalkan status sosial yang berbeda, bisa berdampak pada anak. "Anak-anak jadi melihat, oh, jadi dalam memilih jodoh, materi menempati hal yang utama, bukan lagi kepribadian calon pasangannya. Soalnya gara-gara materi, bapak dan ibu jadi sering berantem.

Jadi anak-anak berpikiran, kalau begitu, materi sangat penting, dong. Padahal kan itu tidak betul. Anak-anak bisa menjadi orang yang pemilih, mungkin dalam bergaul juga begitu, maunya berteman dengan yang segolongan saja." Tapi jika ayah dan ibu tak pernah mempersoalkan perbedaan status sosial ekonomi, maka ke depannya nanti, bisa menjadi contoh bagi anak-anak dalam mencari kawan atau jodoh. "Anak-anak, kan, bisa melihat, meski ayah-ibu berbeda status sosial ekonomi, tapi mereka tetap akur dan awet perkawinannya." Anak-anak juga mungkin akan lebih melihat status pendidikan daripada ekonomi.

Misalnya, ayahnya yang orang miskin tapi bisa menjadi doktor. "Ini, kan, juga memotivasi mereka bahwa kekayaan saja kadang kala bukan modal untuk mencapai pendidikan yang tinggi dan prestasi tak selalu berarti kekayaan." Yang jadi masalah, tak jarang kakek-nenek yang berduit sangat royal kepada cucu-cucunya. Entah dengan membelikan mainan, pakaian, ataupun makanan yang mahal-mahal. Bila demikian, saran Monty, kemukakan saja terus terang kepada si kakek dan nenek tentang pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga kita.

"Mungkin pada awalnya mereka akan berpikir, 'Wah, sok amat anakku, kok, menolak pemberian barang-barang buat cucu.' Tak apa-apa. Toh, lama-kelamaan mereka akan mengerti juga. Apalagi jika mereka melihat, anak dan menantunya ternyata mempunyai komitmen yang kuat dan sikap saling menghargai." Malah, lanjut Monty, bukan tak mungkin si kakek dan nenek akan berbalik bangga mempunyai anak dan menantu yang tahu cara menempatkan diri dengan baik; yang satu enggak pongah karena kaya dan satunya enggak minder lantaran miskin. Nah, Bu-Pak, tak ada lagi yang perlu dipersoalkan, bukan?  

Santi Hartono