Dear Ibu Rieny,
Saya (29) telah memiliki anak laki-laki (4) dan bayi yang masih di dalam kandungan. Sebagai lulusan SMK, gaji sangat lumayan karena bekerja di perusahaan keluarga dan pemiliknya sangat percaya sehingga gaji lebih tinggi dari manajer.
Beliau nyaman karena saya tidak pernah menolak penugasan. Kadang, saya memakai logika, Bu. Alhamdulillah, orang malah lebih mudah saya ajak kerja sama. (Ya, Bu, kunci kerjasama memang membuat orang lain merasa bahwa dirinya dihargai dan didengarkan dan Anda sudah melakukannya, RH).
Ayah saya petugas kebersihan di SD, ibu saya menjual gorengan, sehingga saya boleh sekolah gratis. Saya selalu juara, lulus dengan angka tertinggi. Namun, jadi dokter tinggal cita-cita. Saya adalah tulang punggung keluarga dan tiga adik bisa kuliah karena kebaikan bos.
Suami saya kenal saat jadi tamu di kantor. Saat itu, ia sudah sarjana kedokteran, kelihatannya pekerja keras dan keluarganya juga tidak mampu, sehingga dia jadi tulang punggung. Ibu bisa menerka, kan? Ganteng, hampir jadi dokter, cita-cita saya dahulu. Setelah 4 kali malam minggu datang ke rumah, ayah dan ibu memintanya untuk menikahi saya. Anehnya, saya kok setuju saja! Sekarang ini, kalau kami ribut, dia selalu mengungkit ia merasa dipaksa kawin oleh orang tua saya.
Setelah kawin, baru saya tahu ia tak punya penghasilan tetap. Saya belum pernah dinafkahi sejak menikah, Bu. Saya ikhlas menerima kenyataan ini. Namun semakin besarnya anak dan bayi yang tengah dikandung, semakin besar pula keinginan merawat anak.
Bu, saya iri sekali melihat anak lebih dekat dengan pengasuhnya. Jujur Bu, saya ingin menjadi ibu rumah tangga, tapi tak bisa karena baru saja mengambil pinjaman besar karena ulah suami yang membeli rumah untuk orang tuanya, yang ternyata bermasalah.
Sejak remaja, saya sudah bekerja. Sekarang, setelah menikah, kok beban tak berkurang? Malah, hampir tak ada yang tersisa, karena mertua harus saya sokong. Ingin saya berteriak dan meminta kembali uang saya agar terbebas dari utang piutang, bisa sedikit tenang dalam menjalani hidup. Namun tidak mudah, saya merasa ditipu oleh suami dan keluarganya.
Sekarang saya belum bisa membahagiakan orang tua. Kesannya lebih mementingkan keluarga suami. Bodoh benar saya ini Bu, padahal kalau pinjam ke Bos, saya yakin saya tidak dijerat utang seperti sekarang. Sementara saya berpikir, kalau ada kewajiban membayar, ia akan tergerak mencari uang lebih giat. Mustinya kan dia malu ya, Bu? Uang untuk keluarganya, kok?
Nyatanya, saya terus yang mengangsur, dia cuma seperti ayam sayur yang berputar-putar di sekeliling rumah! Maaf kalau saya kasar ya Bu, tetapi kekecewaan saya makin membukit, karena kami juga tak bisa berkomunikasi. Saya tidak bahagia dalam perkawinan ini.
Saya ingin bertanya pada Ibu, logikanya, dengan kondisi begini saya kan makin giat bekerja ya, Bu? Tetapi, saya malah makin ingin berhenti. Lelah rasanya, bahkan saat berangkat kantor, saya lunglai. Masuk kantor, sudah ingin pulang. Gejala apa ini ya, Bu? Apakah salah kalau akhir-akhir ini saya berpikir, lebih enak hidup sendiri? Kalau bercerai, saya hanya harus melunasi utang, tetapi tidak jengkel dan makan hati melihat suami yang sibuk menjaga citra di depan keluarganya.
Saya bisa minta Bos melunasi bank, kemudian saya mengangsur. Sudah putus asa rasanya mengharap suami akan berubah. Yang ada, dia makin keenakan dengan kondisi sekarang. Saya tidak mungkin menceritakan ini kepada keluarga karena tidak ingin mereka sedih, Bu. Saya sungguh bingung, apa yang harus saya lakukan? Terima kasih. Salam
X - Somewhere
Bu X Yth.,
Berada dalam stres berkepanjangan, membuat Anda mengalami demotivasi kerja. Terasanya seperti yang Anda katakan, semangat hilang, menginginkan sesuatu yang lain dari apa yang dilakukan sehari-hari tetapi pada saat yang sama, secara rasional Anda tahu bahwa Anda tak mungkin tak bekerja, karena harus menjadi tulang punggung keluarga maupun keluarga besar Anda. Saya perkirakan Anda sudah bekerja di usia 20-an, atau malah kurang dari itu, ya? Seperti orang yang harus berenang di tengah samudra dan tak tahu berapa jauh sebenarnya jarak pantai terdekat, maka orang ini lalu kehilangan tonggak-tonggak keberhasilan atau pencapaian, yang selalu berguna untuk meneguhkan hasrat untuk bekerja dengan prestasi terbaik. Bayangkan, terus menerus bekerja, tetapi merasa hasilnya tak terlihat, karena memang tak bisa menyisihkan sebagiannya untuk diri sendiri.
Sebenarnya, untuk ukuran gadis seusia Anda, beban Anda saat mulai bekerja memang sudah besar karena membiayai keluarga, bukan? Akan tetapi, ketika kita melakukan sesuatu yang tadinya tidak ada, maka dampak sekecil apapun akan memberi rasa senang yang luar biasa. Membawa amplop gaji, lalu wajah ayah dan ibu yang bangga, anak penjaga sekolah yang pandai, sudah bisa cari uang sekarang. Lalu, adik-adik bisa meraih mimpi yang dulu tak bisa Anda wujudkan, semua itu adalah tonggak-tonggak keberhasilan perjalanan karier, bukan?