Ketika si kecil menanyakan, "Kenapa 2 kucing itu berkelahi?" misal, lalu kita jawab dengan, seenaknya, "Karena kucing yang ini iri sama kucing yang itu," hanya akan membuat si kecil terus mengejar dengan pertanyaan, "Iri itu apa sih, Ma?" yang jawabannya pasti lebih sulit. Nah, kita sendiri yang kewalahan, kan?
Akan lebih enak, lanjut Retha, bila jawaban yang kita berikan berkaitan dengan pengalaman sehari-hari si kecil. Misal, "Soalnya, mereka cuma punya sepotong ikan, padahal dua-duanya lapar dan enggak ada yang mau ngalah." Lebih pas bukan karena anak pastinya sudah berinteraksi dengan kakak atau temannya. Jawaban konkrit yang pernah dialami anak semacam ini, selain lebih mudah juga mampu memuaskan anak saat itu.
JANGAN ANGGAP REMEH
Selain wajib menjawab, kita pun tak boleh meng-cut atau menganggap remeh argumentasi anak. Soalnya, terang Retha, ia bisa tumbuh jadi anak yang tak punya inisiatif dan tak pernah berani bertanya ataupun berdebat, hingga informasi yang didapat pun jadi sangat terbatas.
Kerugian lain, bukan tak mungkin ia pun jadi pembohong. Soalnya, kalau ia mendapat perlakuan seperti itu hingga tak punya kesempatan untuk menceritakan alasannya, bisa jadi ia akan bersikap pasif. Atau justru sebaliknya, agar tak dihukum atau dimarahi, ia lantas berkelit dan menggunakan kebohongan sebagai tameng. "Ini salah satu bahaya yang mesti diantisipasi, lo."
Jadi, bila kita mengharapkan kejujuran dan keberaniannya mengutarakan pendapat, akan jauh lebih aman kalau kita tanggapi. Jikapun saatnya enggak tepat lantaran kita benar-benar sibuk dan tak bisa ditunda, "janjikan waktu yang lebih pas. Tapi jangan lantas berlagak pilon dan sengaja melupakan waktu yang sudah dijanjikan."
AKUI KETERBATASAN KITA
Sedangkan bila kita benar-benar tak tahu harus menjawab apa, jawab saja seadanya dulu. "Tapi harus tetap masuk akal, lo, dan bukan asal-asalan!" Kemukakan pula keterbatasan kita, "Aduh, Ayah lupa tuh gimana persisnya." Jangan malah membohongi atau memberi jawaban salah bila memang tak tahu.
Membohongi anak, bilang Retha, akan sangat melukai harga dirinya. Jangan sampai anak menangkap, "Bunda ini gimana sih, tadi katanya aku boleh milih ikut Bunda, kok sekarang jadi enggak boleh." Kalau sudah begitu, anak tak percaya lagi pada orang tuanya, atau setidaknya kepercayaannya jadi berkurang. Padahal untuk mengembalikan kepercayaan bukan perkara gampang, lo, apalagi jika keseringan."
Lagi pula, si kecil juga perlu dikenalkan, kok, bahwa ayah dan ibunya tak selalu benar. "Anak harus tahu bahwa orang tua bisa salah, hingga mereka tak semata-mata mengandalkan ketergantungan pada orang tua." Jadi, tak usah malu mengakuinya, ya, Bu-Pak. Tentu sekaligus kita juga harus koreksi. "Dengan begitu, anak justru belajar untuk tak merasa betul terus atau benar sendiri." Bukankah menyadari kesalahan dan sikap tahu diri semacam ini merupakan modal penting bagi pergaulannya kelak saat dewasa? Minimal, mengajarkan anak bersikap luwes.
Begitu pun bila kita tak yakin jawabannya, lebih bisa diterima jika kita mengatakan, "Setahu Ayah, sih, begini.", lalu ajak ia untuk mencari bersama-sama jawabannya yang benar, "Kayaknya Ayah punya bukunya, deh. Yuk, kita cari di buku Ayah jawabannya." Hal ini amat bisa ditoleransi untuk menjelaskan atau menjawab konsep yang relatif sulit semisal proses jatuhnya hujan.
Berani mengakui keterbatasan sama sekali enggak menjatuhkan harga diri, kok. Juga nggak bakal dianggap bodoh oleh si kecil. Justru sikap jantan begini, bilang Retha, akan menggugah anak untuk bertanya pada sosok lain di luar ibu-bapaknya, semisal om, tante, atau kakek-nenek.