Kok, Ngalah Terus, Sih?

By nova.id, Minggu, 30 Januari 2011 | 17:00 WIB
Kok Ngalah Terus Sih (nova.id)

Sikap mengalah perlu untuk anak belajar berbagi. Tapi jika ia selalu mengalah, potensinya tak berkembang. Pola asuh yang salah penyebabnya.

Umumnya, anak usia ini "hobi" merebut barang atau mainan teman maupun saudaranya. Jarang sekali kita saksikan si Upik atau si Buyung mau mengalah semisal, "Ya, udah, deh, kamu duluan yang main. Aku nanti aja," kala ia hendak mainan ayunan sementara temannya juga ingin main.

Jika sikap mengalah ini kerap ditunjukkan oleh kakak kepada adiknya, buat orang tua mungkin tak jadi masalah. Bukankah biasanya orang tua cenderung meminta kakak agar mengalah pada adik? Dengan alasan, si adik masih kecil, belum tahu apa-apa.

Selain untuk menghindari si kakak dan adiknya saling berebut sesuatu, yang buntutnya bertengkar. Hingga, kala si kakak mengalah, orang tua pun memujinya sebagai kakak yang baik, anak baik. Sebaliknya, si kakak akan dimarahi kalau ia tak mau mengalah. Namun, apakah demikian juga perlakuan orang tua bila sikap mengalah ini ditujukan kepada teman? Belum tentu. Kebanyakan orang tua justru tak senang hingga si anak pun dimarahi, "Gimana, sih, Kakak ini? Kok, temannya dikasih main duluan? Kan, Kakak juga mau main. Kalau semua teman dikasih main duluan, terus kapan giliran Kakak main?

Lama-lama temanmu bisa ngelunjak, tahu!" Begitu, kan, yang biasanya terjadi? Kendati tak sedikit pula orang tua yang mengajarkan anaknya untuk mengalah sama teman semisal, "Temannya dikasih pinjam, dong, Kak. Dia, kan, ingin sekali main mobil-mobilan itu. Toh, Kakak masih bisa main yang lain. Mainan Kakak, kan, banyak." Nah, bagaimana, sih, seharusnya? Bagus enggak, ya, sikap mengalah yang ditunjukkan si kecil?

KEHILANGAN HAK PRIBADI

Jika pepatah "mengalah untuk menang" diterapkan sesuai situasi tentulah tak jadi soal. Tapi bila mengalahnya terus-menerus, ya, enggak bagus juga. Terlebih buat anak usia ini, "akan mempengaruhi jati dirinya," kata Dra. Zamralita, "Ia akan selalu mengikuti apa yang diinginkan orang lain terhadapnya, bukan apa yang ia ingin lakukan terhadap dirinya." Dengan kata lain, si kecil kehilangan hak pribadinya.

Dampaknya tentu tak baik. "Ia bisa dimanfaatkan teman-teman atau saudara-saudaranya karena, toh, ia gampang mengalah." Bahkan, bila teman atau adiknya jadi ngelunjak pun dibiarkan saja. "Ini, kan, enggak bagus karena terkesan tak berwibawa." Selain itu, lama-lama ia juga jadi menghindari kompetisi. Padahal, di "sekolah" anak tetap harus bersaing (secara sehat). "Nah, kalau belum apa-apa, ia lebih suka mengalah duluan, kapan ia akan berkompetisinya?" Apalagi, sikap mengalah ini juga akan merembet dalam hal pendapat.

"Bila ia punya ide atau pendapat, ia cenderung tak mempertahankannya hingga terkesan sangat pasif." Kala bertemu teman yang gaya bicaranya lebih keras dan bisa mempengaruhi orang, ia akan mundur duluan. Ia hanya menerima apa yang dikatakan temannya tanpa ada keinginan berdiskusi atau berargumentasi untuk mempertahankan pendapatnya. Hingga, walaupun mungkin ia punya ide lebih bagus dari pendapat si teman, ia tetap tak berkeinginan mencetuskan idenya itu.

Jadi, seolah-olah ia menghindari konflik. Tapi dampaknya, lama-lama ia akan jadi orang yang selalu kalah atau tersingkir. Tak hanya itu, kebiasaan mengalah juga menghilangkan kesempatannya untuk mengembangkan tahap perkembangan tertentu. "Di usia prasekolah, kan, sedang berkembang sikap bossy-nya; segala sesuatu berpusat pada dirinya. Nah, bila sejak awal dibiasakan mengalah terus, akhirnya ia tak punya kesempatan untuk dirinya sendiri." Pun sikap otonominya jadi tak berkembang.

POLA ASUH

Sebenarnya, tutur dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara yang akrab disapa Lita ini, sikap mengalah terbentuk dari pola asuh orang tua. Jadi, sekalipun anak punya potensi mengalah, tapi bila lingkungan tak mendukung, potensinya itu tak akan berkembang. Sama halnya dengan anak yang berpotensi di bidang musik, misal, jika tak dikembangkan, maka bakatnya tu tak akan muncul ke permukaan.

Nah, salah satu pola asuh yang mendukung terbentuknya sikap mengalah pada anak ialah perlakuan "khas" orang tua terhadap anak sulung. Seperti diutarakan di awal, orang tua cenderung memperlakukan anak sulungnya harus mengalah, "Kamu anak yang paling besar, jadi kamu harus mengalah sama adikmu."

Begitupun perlakuan orang tua yang cenderung membedakan anak lelaki dan anak perempuan bahwa anak lelaki harus mengalah sama anak perempuan. Jadi, ucapan orang tua yang meminta si sulung atau si buyung untuk mengalah inilah, yang akhirnya membentuk anak jadi punya sikap mengalah. Ingat, lo, Bu-Pak, anak itu ibarat kertas putih.

Bagaimana jadinya, sangat tergantung coretan yang kita bentuk. Jadi, bila kita menemui si kecil sangat mengalah, "ya, lihatlah ke diri kita sendiri. Jangan-jangan kitalah yang membentuknya jadi demikian." Terlebih lagi bila orang tua cenderung otoriter. Bukankah dalam pola asuh otoriter tak ada kebiasaan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah?

Apa yang sudah dikatakan orang tua, itulah yang harus dilaksanakan oleh anak, hingga anak pun tak terbiasa untuk berdebat. "Jadi, sikap mengalahnya muncul karena ia memang sudah terbiasa seperti itu, bukan atas keinginannya sendiri."

Jangan lupa, anak pun punya ego; ia sebenarnya tak ingin mengalah sama adik, misal, tapi karena orang tua menginginkan ia mengalah, maka ia pun menurutinya. Satu hal lagi, kebiasaan hidup di rumah juga ikut berperan. "Bila salah satu orang tua bersikap dominan dan satunya pengalah, sedikit banyak akan berpengaruh pada anak-anaknya, tergantung pada ena ia sudah tak lagi berada di depan kita hingga susah mengontrolnya," kata Lita.

Jadi, kita harus mengubah pola asuh yang keliru tadi. Selain, kita pun harus mengajari si kecil bersikap asertif, yaitu mampu mengungkapkan keinginan tanpa menyinggung perasaan orang lain. "Jadi, ia tetap bisa mengungkapkan keinginannya tanpa menimbulkan konflik. Ia puas, orang lain pun jadi enak pula," terang lulusan Fakultas Psikologi UNPAD, Bandung, ini.

Caranya nggak sulit, kok, yaitu membiasakan anak mengungkapkan pendapatnya. Awalnya, biasakan ia mengungkapkan perasaannya, apa pun yang ia rasakan, dan harapan atau keinginannya. Hingga, akhirnya ia tak lagi pasif dan selalu menuruti apa kata orang, tapi punya pendapat sendiri. Di samping, kita pun harus mengajarkan hak-haknya agar ia tahu bagaimana mempertahankan hak-haknya. Caranya tentu dengan memberikan apa yang menjadi hak-haknya hingga ia tahu apa saja hak-haknya dan bisa mempertahankannya.

"Kalau tidak, bagaimana ia mau berkompetisi? Saat ada suatu pertandingan di mana ia sebenarnya punya potensi untuk berperan serta, tapi karena sikap mengalahnya, bisa saja, kan, kesempatan itu ia berikan kepada temannya. Lama-lama, ya, dia nggak bisa berkembang sesuai potensinya itu, dong."

Jangan lupa, seseorang punya potensi bila dari dirinya punya keinginan. Tapi keinginan saja belum cukup, harus pula didukung lingkungan agar potensinya berkembang. Nah, jika dari dirinya sendiri tak ada keinginan untuk tampil atau memperoleh penghargaan dari orang lain dan selalu memberi kesempatan tersebut pada orang lain, tentu potensinya tak berkembang. Ia tak akan bisa mewujudkan apa yang diinginkannya.

Jadi, tugas orang tualah untuk menjelaskan pada anak bahwa hak setiap orang untuk memperoleh pengakuan dari orang lain. "Kalau Kakak dapat kesempatan, jangan berikan pada orang lain, tapi tunjukkan kemampuan Kakak," misal.

Dengan begitu, kita sekaligus mengajarkan dan memberikan dorongan padanya agar mendapatkan dan mempertahankan haknya. Tapi hasilnya tak bisa seketika, lo, terlebih bila kebiasaannya mengalah sudah terpola. Yang penting, kita terus berusaha dan enggak mudah putus asa, ya, Bu-Pak. Paling gampang, kita melatihnya lewat permainan kalah-menang. Walaupun ia mainnya sama adik, jangan minta ia mengalah. Biarkan ia dan adiknya bermain sesuai kemampuan masing-masing, hingga potensi masing-masing pun berkembang.

Indah Mulatsih/nakita