Mitos Seputar Gangguan Tidur
Selain OSA, sleep paralysis dan insomnia termasuk pada golongan gangguan tidur yang sering terjadi. Sayangnya, kedua gangguan tidur ini acapkali mengalami perubahan pengertian akibat mitos serta anggapan umum yang berkembang.
Sleep Paralysis
Untuk orang awam, gangguan tidur ini lebih dikenal dengan istilah "ketindihan". Menurut kepercayaan masyarakat, ketindihan terjadi saat makhluk halus menduduki kita yang sedang tidur sehingga kita sesak serta sulit bergerak. Padahal kondisi ketika seseorang bermimpi dan merasa sesak seperti ini disebabkan oleh bercampurnya fase tidur R.E.M dengan kondisi bangun. Ciri-cirinya dapat dilihat melalui gerakan mata dan gambaran otak yang cepat layaknya orang dalam kondisi bangun, namun tonus (tegangan) ototnya lemah.
"Memang ketika sleep paralysis kita mengalami tonus otot yang paling lemah dibandingkan tahap-tahap tidur lainnya. Tujuannya baik, agar ketika bermimpi kita tidak ikut memeragakannya. Bayangkan jika kita mimpi lari atau lompat dan kita bisa menggerakan tubuh, itu justru akan bahaya," kata Rima.
Kesimpulannya, sleep paralysis termasuk wajar jika terjadi hanya sesekali. Namun patut dipertanyakan jika kondisi ini terjadi lebih dari satu kali dalam seminggu. "Kalau sudah terlampau sering, kita sudah harus mulai curiga dengan kondisi tidur. Sering terbangun ketika dalam fase R.E.M bisa jadi karena tidurnya terganggu oleh sleep apnea tadi," tambahnya.
Insomnia
Anggapan yang salah adalah ketika seseorang yang sering lembur atau tidur larut disebut sebagai penderita insomnia. Padahal, insomnia adalah sebutan untuk seseorang yang diberi kesempatan tidur namun tak kunjung masuk pada siklus tidur.
Insomnia sendiri terdiri dari dua kategori, yaitu kronis dan tidak kronis. "Dapat dikatakan kronis jika terjadi terus selama lebih dari tiga bulan. Ini bisa disebabkan trauma dan berdampak depresi. Lain halnya jika seseorang merasa tertekan hingga tidak bisa tidur tapi keesokan harinya tenang-tenang saja, itu buka insomnia," papar Rima.
Namun, insomnia tidak kronis dapat berubah menjadi kronis jika ditangani dengan salah. Misalnya jika banyak "membayar" tidur di siang hari karena malamnya tidak bisa tidur atau jika mengonsumsi obat tidur lebih dari dosis aman. Hal-hal yang demikian, pada akhirnya justru dapat memicu insomnia kronis. Dampak yang paling sering dirasakan dari insomnia adalah depresi dan mudah lelah. Selain itu, Rima menyebutkan bahwa insomnia pun dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.
Ciri-ciri Tidur Berkualitas
Tidur berkualitas dapat ditakar dari rasa segar tanpa kantuk saat Anda bangun tidur. Hal ini dapat diraih jika siklus tidur telah berjalan dengan mulus tanpa terkendala faktor apa pun. "Siklus tidur terbagi menjadi tidur tak dalam ketika kita mudah terbangun, tidur dalam atau nyenyak, dan Rapid Eye Movement yaitu tidur ketika kita bermimpi," kata Rima. Jika perbandingan waktu ketiganya seimbang, berarti tidur Anda sudah berkualitas.
Sedangkan dilihat dari kuantitas, setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda atas jumlah jam tidur. Umumnya kebutuhan dibagi berdasarkan usia, yaitu enam belas jam untuk bayi, delapan hingga sepuluh jam untuk anak-anak dan remaja, kemudian enam hingga delapan jam untuk dewasa.
"Sementara jika sudah terganggu dengkuran, seseorang jadi mudah bangun gara-gara tersedak atau henti napas. Akibatnya siklus tidur tidak lancar. Hal ini mengakibatkan ia jarang mencapai siklus R.E.M dan lebih sering berada di siklus pertama tidur alias tidur tak dalam. Siklusnya tidak seimbang, tidurnya tidak berkualitas," papar dokter yang tahun lalu mengambil Sleep School di Singapura ini.
Selain jam tidur yang teratur, olahraga secara rutin pun dapat membantu menghasilkan tidur berkualitas. "Tapi, hindari olahraga di malam hari karena kita butuh waktu empat jam untuk menurunkan adrenalin sampai dapat tidur nyenyak," tambah Rima. Sementara pengonsumsian kafein sebaiknya dihindari dua belas jam sebelum tidur.
ANNELIS BRILIAN