Bila pasangan Anda doyan belanja sampai mengganggu keuangan keluarga, jangan buru-buru marah. Sodorkan saja bukti-buktinya lalu bantu ia untuk mengubah perilakunya itu.
Konon, yang namanya wanita pasti doyan belanja. Segala apa yang dilihat rasanya mau dibeli. Sampai-sampai ada wanita yang berbelanja tanpa perhitungan sama sekali, sering membeli barang-barang yang sebenarnya tak perlu. Kalau kita ke rumahnya, pasti ditemukan banyak barang yang sebenarnya tak diperlukan. Kadang malah sampai ada 2-3 barang yang sama.
Nah, wanita yang demikian, menurut Dra. Yati Utoyo Lubis, M.A. Ph.D., digolongkan sebagai orang yang "mabuk" belanja atau shopaholic dan sudah mengarah pada ketagihan. "Biasanya sampai di rumah, mereka baru sadar kalau barang tersebut tak dibutuhkan. Tapi pas lagi belanja, rasanya senang, exciting sekali. Pokoknya, apa saja dibeli. Kredit atau tunai, perlu atau tidak, semua dibayar," tutur psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini.
KARENA CEMAS
Menurut Yati, seseorang menjadi "pemabuk" belanja disebabkan ada kecemasan dalam dirinya dan rasa tak percaya diri. Nah, untuk menghilangkan kecemasan tersebut, mereka lantas pergi belanja dan larut dalam kegembiraan berbelanja. "Mereka mengganggap kegiatan belanja itu sebagai release, melepaskan diri dari kepengapan. Tapi mereka sering tak sadar bahwa release yang tak sehat seperti itu hanya dapat menghilangkan kecemasan untuk sementara, sehingga perilaku itu tetap ada terus," tuturnya.
Ada juga yang jadi "mabuk" belanja karena pemikiran bawah sadarnya dipupuk sejak kecil. Misalnya, waktu kecil ia tak pernah bisa mendapatkan barang-barang yang diinginkannya, diam-diam ia memupuk tekad untuk membalas semua itu kelak. "Nah, ketika ia mampu, semua itu seolah ingin dibayar, bagaimana, ya, rasanya bisa berbelanja tidak terbatas-batas. Kayaknya ada feel thrill, ada rasa sensasi."
Tapi jangan salah, lo, yang bisa "mabuk" belanja bukan cuma wanita. Bila selama ini "tuduhan" tersebut hanya dialamatkan kepada wanita, tak lain karena selalu wanita yang kebagian tugas belanja. Padahal, ujar Yati, kalau yang namanya belanja, pria juga bisa "mabuk". "Perilakunya sama saja dengan wanita yang 'mabuk' belanja. Pokoknya, mereka yang tak bisa mengontrol dirinya sendiri untuk berbelanja. Bisa untuk keperluan dirinya sendiri, bisa juga asyik berbelanja untuk keperluan orang lain." Malah ada, lo, bapak-bapak yang "mabuk" belanja tapi yang dibeli lebih banyak keperluan anak-istrinya.
SODORKAN BUKTI
Soal apakah perilaku "mabuk" belanja ini akan berpengaruh buruk terhadap relasi suami istri, menurut Yati, tergantung apakah secara psikologis pasangannya merasa terganggu atau tidak. Sebab, ada pasangan yang baru 10 persen dari pendapatannya digunakan untuk pengeluaran saja sudah dianggap boros. Tapi ada yang menganggap oke-oke saja meskipun 50 persen dari pendapatannya digunakan untuk belanja.
Nah, bila pasangannya tak merasa keberatan dan dirasa tak mengganggu keuangan keluarga, tentunya tak masalah. Lain halnya bila si pasangan merasa terganggu. "Biasanya pasangan akan memberi reaksi negatif apabila kebiasaan 'mabuk' belanja ini sampai mengganggu keuangan keluarga," tutur Yati. Misalnya, uang untuk tabungan atau yang seharusnya dicadangkan untuk emergency mulai berkurang, pengeluaran lebih besar dari pendapatan, sampai yang paling ekstrim yakni berutang atau menggadaikan barang. "Tentunya kalau sudah sampai pada taraf yang ekstrim, perselisihan biasanya seringkali tak bisa dihindari lagi."
Padahal, perselisihan tak akan pernah menyelesaikan masalah. Justru yang dibutuhkan adalah dukungan dari pasangan untuk menyadarkan si shopaholic, karena ia sering tak sadar dengan apa yang dilakukannya dan tak bisa menguasai diri (uncontrolled). "Si shopaholic harus diberi tahu bahwa perilakunya itu sudah mengganggu." Misalnya, "Kalau kamu enggak berubah maka lama-lama kita bisa kelaparan." Tentunya pada tahap awal, yang bersangkutan biasanya akan menolak dengan reaksi keras. Hal ini wajar saja, karena, "setiap orang yang mabuk pasti akan denial, menolak. Siapapun orangnya kalau dituduh secara frontal pasti akan menolak. Apalagi orang yang sedang 'mabuk', kan, tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Sehingga kalau selalu disalahkan padahal dia merasa tak bersalah, maka akan ribut terus."
Selain itu, penyebab perselisihan atau konflik juga lantaran si pasangan biasanya tak mencari tahu bagaimana pencegahannya tapi malah berantem dulu. Jadi, anjur Yati, sebaiknya tuduhan tersebut disertai data yang dapat memperkuat argumen. Data bisa berupa struk kartu kredit, laporan tagihan kartu kredit dan laporan rekening bank. "Biasanya kalau sudah disodorkan data, si shopaholic tak bisa berkelit lagi, malah dia akan terhenyak, tak mengira bahwa dirinya telah berbelanja sebanyak itu." Namun dalam menyodorkan data atau bukti-bukti tersebut, Yati juga menganjurkan agar diselipkan humor. Misalnya, "Nah, ini kamu sudah beli sepatu lagi padahal sepatumu yang baru masih 2 pasang. Kalau kamu beli sepatu terus, nanti ranjangmu penuh sepatu, aku tidur di mana ?"