Selanjutnya, kata Yati, bila bukti-bukti sudah disodorkan, bantulah si shopaholic agar ia perlahan-lahan mau mengubah kebiasaannya itu. "Kalau diskusi sudah dibuka dan solusi sudah dicari, biasanya si "pemabuk" belanja akan bersikap kooperatif karena dia sadar tak mampu mengontrol keinginannya untuk berbelanja." Keinginan untuk "sembuh" ini akan semakin besar apabila pasangannya sangat suportif untuk mendorong ke arah kesembuhan.
Namun tentunya dibutuhkan latihan bagi si shopaholic untuk mengubah kebiasaannya itu. Antara lain dengan ditemani saat ia pergi berbelanja agar ada yang mengingatkan bila ia berniat belanja diluar kebutuhan. Dapat juga dibuat daftar belanja, sehingga sejak dari rumah sudah punya rencana, apa yang hendak dibeli. Tentukan pula hari khusus untuk berbelanja, sehingga diluar hari khusus tersebut, jangan pernah pergi berbelanja. Misalnya, hanya pergi berbelanja di akhir pekan bersama pasangan dan sebelum pergi didiskusikan dulu apa yang mau dibeli. Dengan demikian, selain membantu si shopaholic, "Cara ini juga bisa menjadi sarana berinteraksi sehingga suami-istri menjadi lebih dekat satu sama lain."
POTONG KARTU KREDITNYA
Bagaimana bila si shopaholic ternyata enggan berubah? Menurut Yati, yang bisa dilakukan adalah melibatkan pihak ketiga. Entah itu konselor perkawinan atau dari pihak keluarga yang dianggap netral oleh suami-istri, sama dihormati dan dianggap bijaksana dalam pengelolaan keuangan keluarga. "Jika pihak keluarga yang menjadi orang ketiga ini sukses menangani keuangan keluarga, maka nasihat dan sarannya bisa didengar."
Selain melibatkan pihak ketiga, Yati juga menganjurkan agar si shopaholic dibuat sensitif dengan kebutuhan anak-anak. Misalnya, "Kalau kamu boros terus, bagaimana nanti dengan masa depan anak kita? Bukankah si kecil masih butuh biaya banyak untuk pendidikannya?" Atau, "Kalau begini terus gaya hidupmu, lama-lama rumah bisa dilego, lalu di mana nanti anak-anak akan tinggal?" "Jika masalah ini disinggung dan dikaitkan dengan masa depan, biasanya ia akan feel guilty, merasa bersalah, sehingga mungkin saja keinginan sembuhnya tumbuh," kata Yati.
Bila perlu, lanjut Yati, potong-potong saja kartu kreditnya. Asalkan caranya dengan tak gegabah dan kasar. "Malah ada, kok, istri atau suami yang dikasih tahu baik-baik lantas dengan rela memotong kartu kreditnya sendiri. Karena dia sadar, selama masih ada kartu kredit di dompet, maka belanjanya tak bisa berhenti. Kan, repot kalau orang harus selalu bawa uang tunai dalam jumlah banyak."
Yang pasti, tandas Yati, untuk membantu si shopaholic dibutuhkan kesabaran dari pasangannya dan tak bosan-bosan melatihnya berhemat. "Kalau cara pertama gagal di minggu pertama, cobalah cara lain di minggu depan. Pemutusan hobinya itu tak bisa dipotong secara ekstrim, tapi harus dikasih tenggang waktu untuk menguji latihannya itu."
Sering terjadi, si "pemabuk" belanja enggan mengubah perilakunya itu lantaran ia merasa mempunyai uang sendiri. "Biasanya ini terjadi pada istri yang bekerja," ujar Yati. Bila ditegur, ia akan bereaksi negatif. Alasannya, ia berbelanja dengan menggunakan uang gajinya sendiri, "Ini kan uangku sendiri, Terserah, dong, aku mau belanja apa saja." Jangan lupa, suami juga bisa mengatakan hal yang sama. Meskipun ia kepala keluarga, ia bisa saja mengatakan merasa berhak juga karena itu uangnya juga. Akibatnya, tak ada uang bersama untuk rumah tangga. Masing-masing merasa tak perlu memberikan kontribusinya untuk keluarga. Lalu, bagaimana dengan kebutuhan belanja dan anak-anak?
Itulah mengapa Yati menganjurkan agar sebaiknya soal keuangan sudah dibicarakan sejak pacaran. "Diskusi pertama pada pasangan yang hendak menikah adalah masalah keuangan. Kesannya memang saklek, tapi hal-hal krusial tentang ini apabila tak dibicarakan sejak awal, dapat menjadi sandungan di kehidupan perkawinan," tuturnya.
Namun diskusi soal uang ini bukan melulu untuk mengetahui pendapatan masing-masing, tapi juga untuk mencari bentuk pengelolaan uang yang disepakati bersama. Misalnya, sistem apa yang hendak dipakai, apakah sistem pot. Kalau sistem pot, biasanya semua gaji masuk ke pot dulu, baru dibagi-bagi per amplop sesuai posnya. Sisa dari tiap pos, dibagi lagi berdua, jadi semacam uang saku. Ada juga yang membagi tugas, misalnya, cicilan rumah dan mobil dari gaji suami, penghasilan istri untuk uang sekolah anak dan kebutuhan rumah tangga. Kecuali kalau sejak awal suami mengatakan, "Uang gajimu silahkan kelola sendiri dan penghasilanku untuk seluruh rumah tangga." Dengan demikian jelas bahwa istri berhak menggunakan seluruh penghasilannya. "Meski begitu, konsekuensi harus dijaga, agar jangan sampai hobi belanjanya itu merambah ke uang kebutuhan rumah tangga," kata Yati mengingatkan.
Yang jelas, agar pasangan tak merasa dirugikan oleh perilaku belanja suami atau istrinya, maka buatlah rambu-rambu yang jelas tentang seberapa banyak keuangan rumah tangga boleh dibelanjakan di luar kebutuhan utama. Dengan demikian, masing-masing bisa menahan diri untuk tak "mabuk" berbelanja.
Santi Hartono/nakita