Konflik Itu Perlu

By nova.id, Minggu, 11 Juli 2010 | 17:09 WIB
Konflik Itu Perlu (nova.id)

Jadi, tandas Ieda, suami-istri, khususnya pasangan muda, tak perlu takut dengan adanya konflik yang muncul dalam rumah tangga. "Justru dengan adanya konflik akan membuat suami-istri menjadi berkembang dan maju. Mereka akan menjadi semakin matang." Karena konflik adalah fundamen untuk membentuk rumah tangga. Dengan demikian, suami-istri akan mampu bertahan terhadap goncangan lain yang lebih besar.

Nah, agar kita bisa mengelola konflik dengan baik, maka kita harus membicarakan perbedaan yang ada dengan pasangan. "Tapi sebelum membicarakannya kita harus lihat situasi dan kondisinya dulu, apakah memang bisa dibicarakan pada saat itu ataukah perlu waktu dan tempat khusus untuk membicarakannya?" Ieda mengingatkan. Soalnya, kita, kan sedang berusaha mempertemukan pendapat-pendapat yang berbeda. Sementara dalam situasi konflik kita biasanya tengah dilanda emosi. Nah, biasanya kalau orang lagi emosi, apa saja bisa keluar sehingga persoalan bisa merembet-rembet ke mana-mana. Kalau sudah begitu, bukannya menyelesaikan masalah malah mempertajam masalah. Iya, kan!

Untuk itu, saran Ieda, sebaiknya yang berkepala dingin harus membantu yang sedang panas. "Namanya pasangan, maka keseimbangan harus tetap dijaga." Misalnya, "Tadi aku telepon kamu ke kantor, kok, kamu enggak ada. Ke mana, sih?" Bila reaksinya malah meledak, tanggapilah dengan kepala dingin, "Aku cuma tanya, kok. Ya, sudah kalau kamu enggak suka menjawabnya." Nanti, setelah keduanya tenang dan mesra, bicarakan kembali masalah tersebut, "Tadi aku cuma tanya, tapi, kok, kamu marah. Jadi bagaimana sebaiknya agar kamu enggak marah?" Dengan begitu, masing-masing jadi belajar untuk saling memahami.

Tapi jangan mentang-mentang harus memperhatikan situasi dan kondisi, lantas konflik tersebut disimpan dalam waktu lama. Karena kalau terlalu lama, pasangan Anda akan heran dan lupa pada masalah tersebut, "Kok, baru sekarang dibuka?" "Cukuplah sehari atau dua hari hingga seminggu ditundanya," kata Ieda. Sambil Anda mencari waktu penyelesaian kala pasangan Anda sedang dalam situasi emosi yang enak, tak menunggu sesuatu atau mengerjakan sesuatu.

Memang, diakui Ieda, pasangan muda cenderung lebih mudah meledak. "Saya kira karena faktor emosi. Karena kalau pemahaman, sampai berapa puluh tahun pun setiap pasangan harus belajar terus dalam memahami pasangannya. Jangan lupa, manusia itu dinamis, berkembang terus, sehingga sikap pasangan Anda 5 tahun lagi belum tentu sama dengan yang sekarang." Karena itulah yang diperlukan adalah kemampuan pengendalian emosi.

Harap dipahami, lanjut Ieda, keluarga kita mungkin bisa memahami dan tak protes dengan ekspresi kemarahan kita. Entah itu dengan cara meledak-ledak atau bungkam 1000 bahasa dan mengunci diri di kamar. Tapi ketika kita memasuki perkawinan, pasangan kita belum tentu terbiasa dan mengerti bahwa kita itu kalau marah seperti itu, dan dia pun belum tentu bisa menerima. "Jadi, kita harus menyadari dulu, apakah kebiasaan kita marah tersebut merugikan diri kita dan orang lain atau tidak. Dengan adanya kesadaran tersebut, maka bisa ada perubahan. Kalau tidak, ya, jangan harap akan ada perubahan."

Bila kita tetap ngotot, misalnya, "Ya, terserah. Pokoknya beginilah cara aku marah. Sejak dulu juga aku memang begini. Siapa suruh kamu mau jadi pasanganku!", menurut Ieda, sebaiknya tak usah kawin saja. "Yang namanya perkawinan itu membutuhkan penyesuaian. Masing-masing pihak harus berusaha untuk saling menyesuaikan. Jangan cuma maunya membawa caranya sendiri," tuturnya.

Tentunya pihak yang lain harus memberi kesempatan kepada pasangannya untuk berubah. Jangan malah menuntut agar pasangannya berubah dalam sekejap, karena tak ada orang yang bisa berubah dalam satu waktu. "Jadi, bicarakanlah berdua dan buatlah kesepakatan bersama." Misalnya, "Oke, kalau aku mulai ngomong keras atau teriak-teriak, kamu ingatkan." Si pasangan pun, "Oke, jadi kalau aku kasih isyarat telunjuk di bibir berarti kamu harus mulai memelankan omongan kamu, ya. Dan kamu tidak boleh marah karenanya." Nah, hasilnya akan enak bukan?

CARI PIHAK KETIGA

Bila konflik dapat diselesaikan dengan baik, lanjut Ieda, hubungan suami-istri akan bertambah dekat. "Timbul wawasan baru pada salah satu pihak bahwa pasangannya, 'Oh, begitu, toh, kamu itu.' Ia jadi lebih mengenal pasangannya sehingga membuang prasangka-prasangka yang ada." Tapi kalau tak terselesaikan, apalagi kedua-duanya ngotot dengan maunya sendiri, maka akan merusak perkawinan.

Selain itu, masing-masing pihak juga harus introspeksi diri agar konflik tak terus-menerus terjadi pada kasus yang sama. Dari sini bisa diketahui, apakah selagi konflik terjadi, kita memberikan kontribusi untuk mendekatkan atau malah merusak. Kalau kontribusinya merusak, ya, nggak heran jika konfliknya mengenai yang itu-itu lagi.

Jadi, tandas Ieda, bila ada konflik, "Anda harus lihat, mengapa konflik itu bisa terjadi? Pahami latar belakangnya, kemudian tarik ke depan, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi konflik itu? Anda mau ngotot terus atau diselesaikan."