Dengan Bertelepon-ria, Ia Belajar Banyak, Lo

By nova.id, Rabu, 19 Januari 2011 | 17:00 WIB
Dengan Bertelepon ria Ia Belajar Banyak Lo (nova.id)

Di usia ini, anak suka sekali main telepon. Tiap kali berdering, buru-buru ia lari untuk mengangkatnya. Kita lagi bicara di telepon pun, ia terus-menerus minta diizinkan ikut bicara meski tak kenal dengan si penelepon.

Kalau kita lagi malas terima telepon, boleh jadi perilaku si kecil yang demikian sungguh menyenangkan. Tapi kalau kita lagi menunggu telepon penting, misal, terus si kecil sudah keburu mengangkat duluan, bisa celaka. Soalnya, kalau ia sudah angkat telepon, kita perlu ekstra sabar untuk membujuknya karena ia tak mau langsung menyerahkannya. Mending kalau si penelepon ngerti; kalau tidak, begitu telepon diserahkan pada kita ternyata hubungan sudah diputuskan.

Kendati demikian, kita tak boleh melarangnya bertelepon-ria. Sebab, lewat kesibukan bertelepon, ada banyak aspek perkembangan anak yang justru kian terasah. Hingga, pelarangan berarti menghambat kemajuan perkembangannya. Nah, apa saja dan bagaimana kegiatan yang satu ini bisa memacu perkembangan anak, yuk, kita ikuti bersama pemaparan di bawah ini dari ahlinya, Margaretha Purwanti Rahardjo, MSi, Pudek II Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta.

PENGENALAN BUNYI

Meski sudah mengenal telepon dalam bentuk mainan plastik sewaktu bayi dan masih kerap memainkannya hingga di usia ini, namun ia mulai menyadari bahwa telepon sungguhan jauh lebih menarik ketimbang telepon mainan. Itu sebab, telepon merupakan sasaran bereksplorasi yang amat menggugah minatnya.

Dalam rangka bereksplorasi itu pula, ia ingin tahu benda apa, sih, yang bisa mengeluarkan bunyi atau berdering sendiri ini? Ia pun makin takjub dan ingin tahu lebih jauh manakala ia mendengar ada yang bicara di dalam telepon. Belum lagi kekaguman yang muncul saat ia menekan tuts angka-angka di atasnya lalu muncul nada atau bunyi-bunyi tertentu.

Nah, adanya bunyi-bunyi tertentu, respons suara, dan angka-angka itulah yang membuat telepon sangat menarik bagi anak. Paling tidak, si kecil menganggapnya sebagai salah satu mainan yang amat menyenangkan, hingga ia pun ingin mencoba memainkannya. Ia akan menikmati sekaligus belajar membedakan nada masuk, nada sibuk, nada tunggu, dan nada-nada lain.

PENGENALAN ANGKA

Sebetulnya, sebelum genap usia setahun pun, anak sudah bisa dikenalkan dengan angka. Tentu saat itu masih sebatas melihat bentuk: angka satu seperti lidi, angka dua seperti bebek, dan seterusnya. Jadi, kita tak boleh berharap apalagi menuntut anak seusia itu tahu konsep dan makna tiap angka. Hanya saja, kalau sebelumnya pernah dikenalkan, diharapkan pengenalan angka di usia selanjutnya (batita) bisa lebih cepat karena ia, kan, sebetulnya tinggal belajar mengenali kembali angka-angka itu.

Nah, dengan "bermain" telepon, kemampuannya mengenali angka jadi lebih terasah. Bukankah saat berhadapan dengan pesawat telepon, ia belajar mengenali kembali angka-angka sederhana yang kini tertera jelas di situ, dari angka 0 sampai 9? Kita tinggal menjaga agar semangatnya untuk belajar mengenali angka-angka itu tetap tumbuh. Caranya, libatkan ia untuk menekan angka-angka tertentu saat kita hendak menelepon. Tentu kita tetap memberi panduan dengan menyebut angka yang dimaksud sambil menuntun jemarinya menekan tuts angka yang benar. Jangan malah mencercanya, "Tuh, kan, Adek enggak bisa. Udah, deh, sini Mama aja yang pencet!"

KEMAMPUAN MENGINGAT

Selain pengenalan bunyi dan angka, lewat kegiatan bertelepon, anak pun tergali kemampuannya mengingat. Tentu saja bila dibarengi kesabaran kita untuk mendengarkan celotehnya maupun segudang pertanyaan yang ia ajukan. Misal, "Angka delapan yang mana, Ma? Ini, ya? Kalau tujuh kayak gini, ya, Ma? Nah, ini lima. Bener, kan, Ma?"

Dari beberapa kalimat pendek itu saja sudah membuktikan kemampuan mengingatnya bahwa ia bisa mengingat-ingat sekian angka. Penjelasan kita bukan hanya sangat membantu ia mempertajam kemampuannya mengingat angka-angka tersebut, juga mengingat pesan semisal, "Tadi ada telepon buat Mama enggak, Nak?"

KEMAMPUAN MOTORIK

Memencet-mencet nomor telepon juga ada kaitannya dengan pengembangan kemampuan motorik kasar dan motorik halus si kecil, lo. Agar tak salah pencet, misal, tentu diperlukan keterampilan khusus. Begitu juga kemampuan mengangkat gagang telepon dengan benar agar tak jatuh ataupun keterampilan meletakkannya dengan baik tanpa harus membanting dan menimbulkan kerusakan berarti. Nah, mengajari anak bertelepon dengan benar berarti melatih kemampuan motoriknya secara lebih terarah, bukan?

KEMAMPUAN SOSIALISASI

Memasuki usia batita, kemampuan anak bersosialisasi juga tengah meningkat pesat. Ia mulai sering nenangga dan bertemu dengan teman-teman serta orang-orang dalam lingkup lebih luas. Nah, mengapa tak kita manfaatkan eksplorasi anak terhadap telepon untuk meningkatkan kemampuannya bersosialisasi? Dengan kata lain, jadikan telepon sebagai ajang bersosialisasi buat si kecil. Paling tidak, bukankah lebih mudah mengajarinya berani bicara dengan siapa pun lewat telepon ketimbang tatap muka langsung? Entah sosok yang sudah dikenalnya maupun belum.

Kita, toh, bisa segera menyambungkannya bila ia ingin mendengar suara nenek-kakeknya yang ada di seberang pulau, misal. Atau sekadar mengakrabkan hubungan dengan saudara sepupu yang sebaya namun tinggal berjauhan, "Mas Bagus, ini Adik Dita mau bicara, kangen katanya." Bila perlu, dorong ia untuk juga berani menjalin hubungan dengan orang lain yang belum dikenalnya, "Teman Mama ada yang mau kenalan sama Adek, lo. Namanya Tante Lina. Nanti kalau Tante Lina telepon ke rumah, Adek mau, ya, ngomong?"

KEMAMPUAN BICARA

Dengan memberi kesempatan seluas mungkin pada anak untuk bereksplorasi lewat telepon, secara tak langsung kita pun mengasah kemampuannya bicara. Bukankah saat menerima telepon, ia harus bicara? Begitupun saat ia bertanya pada kita mengenai seluk-beluk telepon. Belum lagi bila ia harus menyampaikan pesan dari si penelepon.

Tapi sebelumnya kita perlu membekali anak dengan pengenalan nama orang-orang serumah, ya, Bu-Pak. Hingga, ketika ada penelepon yang mencari ayah, ibu atau siapa pun, anak akan segera tahu dan langsung menyerahkan telepon. Tak mengapa dan jangan pernah marah bila ia lebih kerap "lupa" siapa yang dituju dan tak jelas menangkap pesan si penelepon.

Pokoknya, kita perlu memberi respons positif. Kita harus memberinya kesempatan seluas mungkin untuk bicara ataupun bercerita apa saja dengan lawan bicaranya. Jangan malah memutuskan percakapan begitu saja hanya karena khawatir tagihan pulsa membengkak, ya, Bu-Pak.

MENGEMBANGKAN RASA PERCAYA DIRI

Perkembangan otonomi pada usia batita terbilang menonjol. Dalam arti, anak ingin dinilai mampu melakukan tugas tertentu dan ingin eksistensi dirinya diakui. Itu sebab, di usia ini anak cenderung egosentris, tak bisa dilarang, dan ingin melakukan apa saja sendirian. Nah, dengan memberinya kesempatan menerima telepon merupakan salah satu cara untuk mengakui eksistensi dirinya. Jadi, sebagai penerima informasi sekaligus penyampai berita, meski informasi yang disampaikannya mungkin kurang lengkap atau tidak akurat, usaha si kecil jangan dianggap sebelah mata, ya, Bu-Pak. Soalnya, meski terlihat amat sepele, anak merasa begitu berarti dan dihargai atas jasa baiknya terhadap keluarga.

Apa pun bentuknya, kesempatan semacam itu merupakan peluang bagus, lo, buat si kecil untuk memupuk rasa percaya dirinya. Soalnya, kebutuhan yang terpenuhi di tahap ini akan memberi kepuasan pada anak di tahap-tahap perkembangan berikut. Makanya, jangan terlalu banyak melarang, melainkan carilah selalu celah yang justru bisa mengajarkan banyak hal pada si kecil, termasuk mengenalkan berbagai aturan dan etika bertelepon kepadanya. Adapun etika bertelepon yang perlu dikenalkan, antara lain mengucapkan salam seperti selamat pagi atau siang sesuai waktu saat itu, menyapa si penelepon dengan sikap ramah dan manis meski cuma mengucapkan "halo". Bila ia sudah "pandai" mengingat nama seseorang, ajarkan pula untuk menanyakan nama si penelepon, "Ini Om (Tante) siapa, ya?" atau "Mau bicara dengan siapa, ya, Bu (Pak)?". Tapi kita pun harus jaga sikap, lo, saat bertelepon karena anak usia ini, kan, lagi gencar meniru. Nggak akan berhasil, deh, mengajarkan sopan santun kalau kita sendiri cenderung kasar dan ngomong seenaknya.

Nah, Bu-Pak, cukup banyak, kan, nilai positif yang bisa dikembangkan dari bertelepon ria? Jadi, jangan menganggap aktivitas yang satu ini hanya sekadar angkat gagang telepon dan berhalo-halo tanpa mendatangkan manfaat.

 SAAT TERBURU-BURU

Bila kita lagi terburu-buru atau tengah menanti telepon penting, jangan lupa beri tahu si kecil, "Nanti kalau ada telepon, biar Mama saja yang angkat, ya, Nak. Soalnya ini telepon penting dan Mama harus buru-buru." Biasanya anak mengerti, kok, dengan penjelasan semacam itu.

Jikapun kita lupa memberitahukannya, tak usahlah sampai rebutan telepon dengan si kecil apalagi memarahinya. "Biarkan saja anak yang mengangkatnya. Hanya dalam waktu hitungan detik, ia pasti sudah menyerahkan gagang telepon," bilang Margaretha.

Kalau ia ngambek lantaran tak diberi kesempatan bicara, sampaikan alasan yang masuk akal tanpa harus mengada-ada. Misal, "Itu tadi telepon dari teman kerja Papa, mau bicara sama Papa. Lagian Adek juga belum kenal, kok."

AGAR TAGIHAN PULSA TAK MEMBENGKAK

Menurut Margaretha, mengenalkan kecanggihan komunikasi sebaiknya tak sekadar main telepon, melainkan harus betul-betul ada pendampingan dan pengarahan dari orang tua, disertai kepekaan untuk mengetahui perkembangan anak sekaligus kesabaran/ketelatenan dalam memberi penjelasan yang memadai, termasuk penjelasan mengenai tagihan pulsa dan beban yang harus ditanggung keluarga terhadap penggunaan telepon.

Jadi, kalau ia sampai "ngobrol" lama atau sering minta kita agar menelepon orang-orang yang dikenalnya untuk dirinya, kita perlu memberinya pengertian. Misal, "Sudah, dong, teleponnya, Sayang. Sekarang giliran Mama." atau, "Kalau Adek sering telepon, nanti Mama harus mengeluarkan banyak uang untuk membayar tagihannya. Jadi, kalau Adek telepon, ngomongnya jangan lama-lama, ya." Dengan begitu, kita tetap memberinya kesempatan untuk mencoba dan mengetahui apa yang ingin diketahuinya, namun kita pun tak terlalu khawatir akan tagihan pulsa yang membengkak.

  Th. Puspayanti, Dedeh Kurniasih/nakita