Bila Si kecil Ngotot Pertahankan Yang Salah

By nova.id, Selasa, 18 Januari 2011 | 17:00 WIB
Bila Si kecil Ngotot Pertahankan Yang Salah (nova.id)

Tak perlu terpancing untuk marah, cukup terangkan apa adanya sesuai bahasa anak. Bila ia tetap ngotot, alihkan pada aktivitas lain yang menarik daripada ikut-ikutan tak mau kalah.

Satu lagi "ulah" si kecil di usia ini yang kerap bikin kita jengkel. Betapa tidak, ia tahu baju yang dipakainya warna merah, misal, tapi dibilangnya putih. Ketika diberi tahu, "Bukan putih, Nak, tapi merah.", eh, ia malah ngotot, "Putih, Ma!" Coba, siapa yang enggak jengkel? Sudah gitu, ia pakai senyum-senyum segala seolah ngeledek. Tambah bikin dongkol, kan? Hingga tak jarang kita terpancing memarahi sikapnya yang nyeleneh itu.

Padahal, menyalah-nyalahkan yang benar dan membenar-benarkan yang salah semacam ini, terang Indri Savitri, merupakan hal wajar alias normal dalam dunia batita. Soalnya, pada anak usia 2-4 tahun, pola perilaku yang mengarah negativisme seperti itu masih amat menonjol, bahkan merupakan bagian dari proses perkembangannya. "Waktu bayi, ia, kan, sama sekali tak berdaya. Ia sangat tergantung pada pengasuh maupun ibunya karena segala hal masih harus diladeni dan dibantu. Seiring pertambahan usia, ia pun makin berkembang dan selalu mencoba cari tahu dengan mengeksplorasi apa saja yang ada di sekitarnya. Nah, dalam rangka bereksplorasi inilah, ia menggunakan caranya sendiri yang antara lain lewat negativisme," paparnya.

Pantas saja, ya, Bu-Pak, si kecil jadi berperilaku demikian. Bukan cuma itu, lo. Masih dalam rangka bereksplorasi, menurut Indri, si kecil di usia ini juga cenderung "ngerjain" atau memancing kemarahan orang lain, terutama orang tua dan saudara kandungnya. Ia ingin tahu bagaimana kalau ibunya marah, misal. "Meski tak semua memperlihatkan kecenderungan ini, namun pada dasarnya batita senang melihat hal-hal yang berbeda atau merasakan pengalaman yang lain," terang psikolog dari LPT UI ini.

TINGGALKAN BAHASA BAYI

Sebenarnya, perilaku ini bisa diminimalisir, kok. Maksudnya, kita bisa mencegah agar si kecil tak kelewat terpancing untuk menyalah-nyalahkan yang benar dan membenar-benarkan yang salah. Caranya, jangan ajari si kecil berbicara dengan menggunakan bahasa bayi semisal "cucu" untuk "susu", "wawo" untuk "baso", "emen" untuk "permen", dan sebagainya.

Logikanya, tutur Indri, "anak tak akan pernah berusaha belajar dan menerapkan yang benar jika dibiasakan pada yang salah."

Nah, bila Ibu-Bapak kerap menggunakan bahasa bayi saat berbicara dengan si kecil, mulai saat ini harus diubah, ya. Tentu "kesalahan" si kecil juga harus diperbaiki namun tanpa dibarengi emosi dan nada tinggi, lo. Lama-lama ia pun akan paham, kok. Tapi kita pun harus pula melihat perkembangan dan kematangannya. Maksudnya, bila si kecil usia 1,5 tahun, masih bisa diterima jika belum jelas melafalkan kata-kata tertentu yang belum akrab dengan kebutuhan fungsionalnya. Namun kita tetap mengarahkannya untuk mengucapkan kata-kata itu secara benar.

Bila usianya 3 tahun dan masih menggunakan bahasa bayi, kita harus mencermati sekaligus mencarikan ahli dan jalan keluarnya. Pasalnya, di usia ini ia seyogyanya sudah punya sekian banyak perbendaharaan kata dan mampu menyusun kalimat sederhana, serta mengucapkannya dengan lafal yang benar. Kecuali anak cadel bawaan seumur hidup karena lidahnya pendek, misal.

JANGAN TERPANCING

Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini? Saran Indri, terangkan saja apa adanya sesuai bahasa anak dengan pengucapan yang benar. Misal, "Ini baju merah, Nak." Gunakan pula alat bantu semisal pensil warna, crayon, atau spidol untuk membantu si kecil memahami warna secara benar. Kita bisa pula memanfaatkan benda-benda berwarna di sekitarnya agar ia makin mendalami pemahaman warna. Dengan cara ini, kita pun bisa sekaligus mendeteksi apakah ia buta warna atau tidak.

Bila ia tetap ngotot kendati sudah dijelaskan, "enggak perlulah orang tua ikut ngotot sampai main perintah hanya karena tak mau kalah." Cara begini, tutur Indri, justru bikin si kecil merasa "dijajah". Bukankah berarti ia harus selalu mengikuti pendapat kita sekalipun pendapat kita memang benar? Hati-hati, lo, dalam diri si kecil bisa terpupuk niat memberontak bila kita kerap bersikap layaknya seorang komandan yang selalu main perintah. Soalnya, makin dipaksa, makin ia menentang otoritas kita; ia makin tertantang membuktikan, "Aku juga bisa, kok, seperti Bunda." Buatnya, melakukan sesuatu yang baru semacam ini malah jadi kebanggaan tersendiri, lo.

Lebih baik, saran Indri pula, tanggapi dengan sedikit bergurau. Misal, "Ah, masa, sih, ini warna putih, Nak? Coba, deh, amati lagi." Tapi, jangan lantaran harus tetap mempertahankan selera humor, kita lantas memberinya perhatian berlebih semisal tertawa atau menganggapnya lucu. Soalnya, bila dianggap lucu, ia justru memperkuat perilaku buruk atau "kesalahan"nya tadi.

Bila ia masih juga ngotot, "lebih baik alihkan pada kegiatan lain yang lebih menarik, entah berjalan-jalan atau bermain bersama," anjur Indri. Cara ini juga bisa diterapkan bila kita tahu persis niat si kecil memang semata-mata ingin "ngeledek". "Ketimbang buang waktu dan energi, lebih baik cut saja deh dan alihkan pada aktivitas lain."

Bisa juga dengan memanfaatkan masa eksplorasi anak. Misal, "Coba, deh, Adek sebutkan yang warnanya merah itu apa saja, sih?" Dengan begitu, si kecil jadi berpikir mencari jawaban hingga wawasannya pun bertambah. Sementara kita pun tak terpancing untuk marah karena konflik terbuka dengan si kecil bisa dihindari.

Nah, enggak sulit, kan, Bu-Pak, mengatasi masalah ini?

 KEDEKATAN HUBUNGAN IBU-ANAK

Semua anak, baik laki maupun perempuan, terang Indri, pasti mengalami tahapan negativisme. Jadi, normal. Tapi, bila anak selalu menolak dan sama sekali tak bisa diajak kompromi, "negativismenya dianggap tak normal dan mengarah pada pemberontakan." Negativisme yang ekstrem begini biasanya disebabkan hubungan yang jelek dengan ibu maupun pengasuh. "Karena hubungan ibu dan anak enggak dekat, enggak hangat, anak pun jadi cenderung memberontak dan semaunya sendiri." Akibatnya, orang tua jadi sulit mengarahkan dan selalu muncul konflik dengan anak.

Memang, diakui Indri, anak-anak yang hiperaktif atau punya masalah neurologis hingga tak bisa kontrol diri, juga bisa menunjukkan negativisme esktrem. "Tapi bila hubungannya dengan sosok ibu cukup dekat dan hangat, meski awalnya selalu menolak dan ngambek, pasti bisa diarahkan." Selain, tingkat kecerdasan dan karakter anak juga ikut menentukan. "Jika anaknya pinter dan cepat ngerti, tentu nggak sepayah bila menghadapi anak lamban dan kaku hingga butuh banyak waktu dan contoh nyata."

MEMELESETKAN NAMA ORANG

Tak jarang perilaku membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar juga ditunjukkannya pada nama orang. Misal, "Ini Tante Iis, itu Tante Ani," sambil menunjuk Tante Ani yang disebutnya Tante Iis dan menunjuk Tante Iis sebagai Tante Ani.

Selain kita harus meluruskan "kesalahan"nya, Indri juga menekankan agar kita mengajarkan si kecil berempati. Misal, "Nama kamu Ria, kan? Nah, kamu mau nggak dipanggil Susi?" Lalu jelaskan, "Setiap orang punya nama dan nggak mau, dong, namanya disalah-salahin begitu." Pembalikan semacam ini, terangnya, menguji empati anak sekaligus belajar menempatkan diri pada posisi orang lain.

MENGATASI NEGATIVISME

Negativisme hadir sebagai bentuk perwujudan keinginan anak mengubah situasi dirinya dari makhluk dependen menjadi manusia bebas dan mandiri. Tak heran bila si kecil di usia ini kerap menunjukkan perilaku membangkang hingga terkesan sulit diatur. Beda sewaktu bayi, ia serba menurut. Kini, untuk memberi makan saja, misal, harus lewat perjuangan tersendiri karena ia pasti berontak. Bila dilarang, ia justru melakukannya.

Untuk mengurangi konflik, kita harus memahami si kecil. "Kenali sifat dan karakter anak, serta ikuti sejauh mana perkembangannya," anjur Indri. Kalau tidak, kita bisa "perang" melulu dengan si kecil. Dampaknya buruk, lo. Si kecil jadi bingung lantaran serba dilarang, lantas ngambek. Sementara kita, karena tak paham dunia anak, jadi tak mengerti apa sebetulnya yang ia protes lewat ngambeknya.

Jadi, penting sekali, ya, Bu-Pak, memahami dunia si kecil agar kita tahu apa maunya. Selanjutnya, yang perlu kita lakukan adalah bersikap luwes atau fleksibel, mengingat ada anak yang sangat cerewet dan gampang mengeluarkan isi hatinya namun tak sedikit yang begitu tertutup hingga perlu dipancing-pancing. Jikapun harus melarang, "sebaiknya tanpa disertai sikap kasar, lalu alihkan perhatiannya dan beri alternatif menarik sambil menjelaskan reasoning dengan bahasa yang mudah dicerna anak," anjur Kepala Divisi Klinik dan Pelayanan Masyarakat LPT UI ini,

Selain itu, kita pun tak boleh terlalu mengintervensi atau kelewat ngatur kehidupan anak. Jadi, sepanjang apa yang dilakukannya tak membahayakan, biarkan saja. Ingat, ia lagi masa-masanya bereksplorasi. Misal, ia mau jadi masinis lewat main kereta-keretaan dengan jejeran kursi. "Jangan dilarang atau diatur barisan kursinya harus lurus dan menghadap ke satu arah. Sebagai orang tua, belajarlah menahan diri saat melihat kondisi berantakan." Dengan begitu, si kecil mendapat kesempatan mengatur atau mengolah diri untuk melatih kemandiriannya dan membuat keputusan sendiri. Jadi, perlu di-support, ya, Bu-Pak.

Lain hal bila apa yang dilakukannya bisa membahayakan maupun bila ia tak pernah bisa diajak serius, tak nyambung saat diajak ngomong apa saja atau malah selalu membelok-belokkan pembicaraan maupun kerap membenar-benarkan yang salah dan menyalah-nyalahkan yang benar. Soalnya, perilaku nyeleneh begini sudah terbilang kelewatan. Kita harus koreksi diri karena bukan tak mungkin penyebabnya lantaran si kecil haus perhatian. Upaya untuk meluruskan perilakunya yang "salah" sebaiknya dilakukan sambil bermain, dengan bahasa anak, dan disertai banyak contoh nyata karena anak usia ini masih konkret operasional. Jangan lupa bernegosiasi dan memberi alternatif, hingga tak terjadi komunikasi satu arah yang serba kaku.

Th. Puspayanti/nakita