Orangtua Pun Harus Beradaptasi

By nova.id, Selasa, 28 Desember 2010 | 17:00 WIB
Orangtua Pun Harus Beradaptasi (nova.id)

Ternyata bukan cuma bayi, lho, yang perlu beradaptasi setelah kelahiran. Orang tua, khususnya ibu, juga harus beradaptasi dengan kehadiran anggota baru dalam keluarga.

Soalnya, bagaimana kondisi psikologis orang tua setelah kelahiran, akan mempengaruhi sikapnya dalam menghadapi bayi, yang tentunya mempengaruhi pula cara merawatnya. Padahal, penyesuaian bayi baru lahir terhadap lingkungan barunya di luar kandungan, juga sangat ditentukan oleh bagaimana cara merawatnya. Ingat, lho, bayi baru lahir harus bisa menyesuaikan diri agar ia bisa terus hidup. Jadi, kalau ia tak dirawat dengan baik, jelas akan mempengaruhi kondisi kesehatannya. Akibatnya bisa fatal, lho.

Persiapan menjadi orang tua merupakan salah satu kondisi psikologis yang mempengaruhi proses adaptasi. "Orang tua akan lebih bisa beradaptasi bila sebelum bayi lahir sudah siap menghadapi peran sebagai ayah dan ibu," terang dra. Lila Pratiwi. Jadi, semakin baik persiapan yang dilakukan dalam menghadapi peran barunya, semakin yakin dan tenang ketika membawa bayi pulang dari RS dan mengambil alih perawatannya. Itulah mengapa, sebelum kelahiran, kita perlu mencari informasi mengenai perkembangan bayi atau perubahan yang akan dialami orang tua.

"Pengharapan orang tua terhadap jenis kelamin tertentu pada bayi yang akan dilahirkan, juga menentukan sikap orang tua selanjutnya," lanjut Lila. Sedikit atau banyak, pasti muncul rasa kecewa bila yang diharapkan anak perempuan, misal, namun yang lahir ternyata anak lelaki. Nah, bila rasa kecewa ini terus berkelanjutan, tentu akan berpengaruh terhadap sikap orang tua dalam menghadapi bayinya. Ini yang berbahaya. Sama halnya bila orang tua punya harapan akan lahirnya "bayi idaman", juga kecewa begitu melihat bayi yang lahir masih "keriput" dan belum ada kemiripan dengan salah satu orang tuanya.

Kondisi psikologis lain adalah bayangan orang tua tentang perawatan bayi di rumah. "Jika perawatan bayi di rumah ternyata membutuhkan lebih banyak kerja keras, lebih banyak biaya, serta berkurangnya waktu tidur dan waktu untuk diri sendiri, yang jauh melampaui bayangan orang tua selama ini, akan mempengaruhi sikap terhadap bayi," tutur psikolog yang menjadi mitra kerja di Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat pada Lembaga Psikologi Terapan UI ini.

STRES DAN KELELAHAN FISIK-EMOSIONAL

Dari sejumlah kondisi psikologis yang mempengaruhi proses adaptasi, menurut Lila, stres dan kelelahan fisik serta emosional ibu sangat berperan. Istilahnya, post partum blues, yaitu keadaan depresi secara fisik maupun psikis pada ibu yang baru melahirkan.

Ada beberapa penyebab post partum blues; diantaranya, perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan, proses melahirkan yang meletihkan, kondisi umum seperti kekhawatiran terhadap keadaan bayi, dan kebutuhan secara ekonomi yang meningkat, serta perubahan kebiasaan hidup. Misal, ibu bekerja harus cuti tiga bulan. Mulanya ia senang dan bersemangat merawat bayinya, tapi setelah mengalami kelelahan dan kurang tidur, ia mulai merasa tak berdaya dan kehilangan kebebasannya sendiri.

Menurut penelitian, hampir separuh dari seluruh ibu yang baru melahirkan pernah mengalami post partum blues. Gejalanya antara lain, sebentar merasa sedih tanpa sebab dan sebentar mudah terganggu serta marah, bahkan pada hal-hal kecil. Misal, ketika mendengar atau menonton siaran berita di TV mengenai peperangan, tiba-tiba seorang ibu bisa sampai menangis padahal berita tersebut tak ada hubungannya dengan si ibu. Contoh lain, seorang ibu yang merasa marah karena sewaktu ingin minum teh ternyata persediaan gulanya habis, padahal sebenarnya, kan, bisa dibeli sebentar di warung dekat rumah.

"Keadaan ini akan lebih diperburuk bila ibu terlalu menaruh harapan tinggi bahwa ia harus dapat mengatasi segalanya, sedangkan pada kenyataannya akan berbeda," tutur Lila. Belum lagi kekhawatiran ibu mengenai kesehatan dirinya dan bayi sehingga muncul perasaan sedih yang berkepanjangan. Dukungan dan bantuan dari pasangan, keluarga, serta teman dekat sangat membantu pada saat-saat seperti ini.

DUKUNGAN PASANGAN DAN KELUARGA

Post partum blues dapat terjadi pada beberapa hari setelah kelahiran sampai menjelang kira-kira satu bulan sejak kelahiran. "Umumnya bisa bertahan sampai beberapa minggu setelah kelahiran, lalu berangsur-angsur menghilang," jelas Lila. Tapi bila terjadi faktor pemicu seperti stres dan kurang tidur atau istirahat pada tahun pertama, ada kemungkinan keadaan ini muncul kembali. Nah, ini yang harus diwaspadai. Soalnya, kalau sampai berlarut-larut atau saat pertama terjadinya setelah tiga bulan atau lebih setelah kelahiran, dapat mengarah pada keadaan lebih berat yang disebut post partum depression. Gejalanya kurang lebih sama namun dirasakan lebih berat.

Hati-hati, lho, masalah ini bisa mengganggu kemampuan ibu untuk merawat bayinya dan bahkan mengganggu dirinya semisal jadi kesulitan menyelesaikan tugas yang biasa dilakukan sehari-hari. Kalau sudah begitu, perlu dicari bantuan profesional, berkonsultasi dengan dokter atau psikolog. "Tapi untungnya, post partum blues bisa dikurangi dengan 3 cara, yaitu cukup istirahat, melakukan latihan ringan, dan mengkonsumsi makanan ringan," tutur Lila. Meski hal itu hanya bisa terwujud bila ada dukungan dari pasangan atau keluarga.

Nah, buat kita yang tinggal di Indonesia, umumnya selama masa penyesuaian, baik pasangan, keluarga, maupun teman-teman dekat banyak membantu, sehingga ibu yang baru melahirkan banyak mendapat dukungan. Ibu jadi lebih mudah meninggalkan bayinya untuk sementara bila ada orang lain yang bisa menjaga bayi. Ibu pun bisa tidur sebentar ataupun melakukan latihan ringan seperti senam dan jalan-jalan, sehingga ibu jadi lebih segar dan tak bosan. "Mungkin ini penyebab kejadian post partum blues di Indonesia lebih rendah ketimbang di luar negeri, ya," ujar Lila.

SIKAP POSITIF AYAH

Karena dukungan dari pasangan atau keluarga sangat penting, maka sikap positif ayah terhadap kelahiran menjadi sangat berarti. Malah, menurut Lila, sikap positif ini sebenarnya sudah dibutuhkan saat menjelang kelahiran. Pasalnya, dengan kehadiran ayah selama proses persalinan, akan memberi kekuatan bagi ibu, disamping membantu terciptanya sikap positif ibu terhadap bayinya.

Bukan berarti ayah mutlak hadir selama proses persalinan, lho, karena yang dipentingkan adalah sikap positif ayah. Jadi, ayah tetap bisa membantu keberhasilan proses adaptasi ibu dan bayi sepulangnya dari RS. Antara lain dengan membantu ibu merawat bayi semisal menggendong, mengganti popok, ikut atau bergantian bangun tengah malam, dan sebagainya. "Walaupun pengaruhnya tak langsung pada bayi tapi lebih pada kondisi atau sikap ibu, karena sikap postif ayah akan membuat ibu senang." Selain, dukungan dan bantuan dari ayah juga akan mempercepat pemulihan kondisi fisik ibu, sehingga ia dapat memberi perawatan yang baik bagi bayi.

Pendeknya, sikap positif ayah akan mendukung keberhasilan proses adaptasi ibu maupun bayi. Hal ini berarti, baik ayah maupun ibu harus sama-sama punya sikap positif terhadap bayi. Tentu saja sikap positif ini diharapkan berlangsung terus. Jangan sampai di tengah jalan terjadi perubahan. "Biasanya sikap kurang positif bisa timbul ketika orang tua mulai membanding-bandingkan bayinya dengan bayi lain." Misal, bayi lain, kok, bisa tidur sepanjang malam, sedangkan bayinya "begadang" melulu. "Akhirnya, mereka jadi panik dan ini justru akan memperburuk kondisi."

Bisa juga, sikap kurang positif muncul lantaran orang tua, terutama ibu, meragukan kemampuannya dalam merawat bayi. Misal, karena melihat bayinya masih merah dan kecil, ibu lantas jadi cemas dan ragu dirinya bisa merawat si bayi. Padahal, terang Lila, perasaan cemas dan tak aman ini dapat cepat dirasakan oleh bayi melalui cara ibu menangani bayinya. "Kalau ibu gugup, bayi pun merasakannya. Nah, ini, kan, dapat mempengaruhi proses adaptasi bayi baru lahir terhadap lingkungannya."

Jadi, jauhkan sikap kurang positif, ya, Bu-Pak.

Faras Handayani/nakita