Si Kecil Gemar "Keliling Kota"

By nova.id, Selasa, 21 Desember 2010 | 17:00 WIB
Si Kecil Gemar Keliling Kota (nova.id)

Yang penting, tandas lulusan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung ini, orang tua harus mencoba menempatkan diri pada kondisi dan posisi anak. "Buat orang dewasa, hal-hal semacam itu tentu saja sudah bukan barang aneh, sama sekali tak memberi sensasi apa pun, bahkan terkesan buang-buang waktu. Tapi buat anak justru sebaliknya, lo!

Jadi apa sih susahnya memenuhi permintaan itu?" Pokoknya, selama si kecil menikmati, jangan pernah khawatir dibilang tak waras atau norak oleh tetangga hanya karena Anda membawa anak berkeliling bolak-balik dengan rute perjalanan yang itu-itu juga.

HARUS PROPORSIONAL

Namun begitu, ingat Mitha, orang tua juga harus tetap punya pegangan. "Kalau sudah setiap saat minta keliling, ya, enggak bener lagi, dong. Atau bagaimana kalau tengah malam anak minta naik delman tanpa bisa ditawar-tawar lagi? Mustahil, kan?" Nah, di sini Anda harus pandai-pandai memberi pengertian pada anak.

Misal, "Naik delmannya besok lagi, ya, sayang. Sekarang kudanya bobo dan Adek juga harus bobo." Jadi patokannya, proporsional atau tidak. Toh, si kecil juga harus belajar mengenali bahwa keinginannya untuk jalan-jalan bukan termasuk kategori kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi saat itu juga.

Dengan demikian, ia tahu persis Anda tak akan meluluskan permintaannya sekalipun ia ngambek meraung-raung di lantai. "Anak juga harus belajar kapan boleh dan kapan tak boleh minta sesuatu," lanjut Mitha. Bila setiap keinginannya tak terpenuhi saat itu juga ia lantas ngamuk bagai orang kesetanan, berarti ia tak pernah belajar mengendalikan emosinya.

Nah, tugas orang tualah untuk mengajarinya. "Jangan orang tua malah luruh, langsung menyerah begitu saja dan mengabulkan permintaan anak." Selain itu, anak yang sering dibohongi orang tua juga akan bersikap menuntut. Misal, "Nanti kita jalan-jalan, ya. Tapi Adek enggak boleh nangis." Tapi begitu anak berhenti menangis, orang tua tidak memenuhi janjinya. "Jadi anak terlanjur belajar bahwa saya harus mendapatkan apa yang saya inginkan saat ini juga dan harus dengan cara menangis. Soalnya kalau enggak diakali dengan cara begini, Mama atau Papa pasti bohong, sih!".

Jadi bila kemungkinan besar Anda tak bisa merealisasikan apa yang Anda janjikan, ya, jangan pernah buat janji dengan anak. Perlu diketahui, anak usia ini belum bisa berpikir abstrak hingga ia belum bisa membedakan pengertian "nanti"; bisa nanti siang, nanti malam, tiga hari lagi, atau bahkan setahun lagi. Dengan demikian, Anda harus menariknya pada situasi yang lebih konkrit. Misal, "Nanti kalau Ayah sudah pulang kerja," atau "Nanti kalau Bunda sudah punya uang."

Jangan pula terlalu banyak cari-cari alasan. Misal, Anda merasa terganggu dengan keinginannya berakrab-akrab, jelaskan apa adanya. "Adek memang boleh main sama Bunda, tapi, kan, enggak harus langsung begitu Bunda pulang. Soalnya Bunda harus cuci tangan dan ganti baju dulu." Tapi ingat, Anda harus konsisten, lo! "Biasanya, kalau orang tua bersikap konsisten dan menepati janji, anak tak butuh waktu lama, kok, untuk bermanja-manja dengan orang tuanya," bilang Mitha.

Jadi, bila keinginan anak tak proporsional, Anda harus dengan tegas dan jelas menolaknya, ya, Bu-Pak. Tapi tentu bukan dengan kemarahan apalagi menyakiti secara fisik, sekalipun cuma menyentil atau mencubit pahanya maupun menjewer telinga. Justru kalau pakai cara ini enggak bakalan efektif. "Lima menit pertama setelah dimarahi mungkin ia bisa diam dan tenang, tapi lima menit kemudian ia bakal mengamuk lagi bahkan mungkin lebih hebat."

BERPIKIR ALTERNATIF

Sebenarnya, lanjut Mitha, kebutuhan menikmati sensasi tadi bisa juga diberikan pada kesempatan lain dan tak harus menggunakan sarana transportasi yang sama. "Hanya dengan naik kuda-kudaan duduk di punggung ayahnya yang kemudian berkeliling di ruang tamu atau ruang keluarga, sudah bisa memberi sensasi yang sama pada anak, kok," lanjut Mitha.

Jadi, Anda bisa, kok, mengerem kebiasaan yang memboroskan waktu dan uang ini. Tentu saja dituntut kreativitas orang tua untuk memunculkan kegiatan bermanfaat dan situasi baru hingga tak membosankan anak, sekaligus memungkinkan anak belajar tentang banyak hal termasuk belajar mengendalikan keinginannya. Dengan begitu, anak tak cenderung memanfaatkan keberadaan orang tua di rumah untuk jalan-jalan, entah hanya sekadar keliling kompleks perumahan dengan naik delman atau makan di luar maupun jalan-jalan ke mal saat libur.

Anak pun akan tahu bahwa tak hanya dengan cara minta keliling naik delman atau mobil ayah saja ia bisa merasakan kebersamaan dan mendapatkan perhatian dari orang tua. Lebih dari itu, "anak akan terbiasa berpikir alternatif bahwa masih ada pilihan kegiatan lain yang bisa membuatnya senang." Dengan demikian kecerdasan anak juga kian terasah. Namun tentu saja dalam proses belajar ini, Anda harus memberi pengertian berulang-ulang. Jangan lupa, meski kecerdasan anak ini tengah berkembang pesat, namun belum sesempurna anak usia 7-11 tahun. Nah, Bu-Pak, sudah ketemu solusinya, kan? Jangan jengkel lagi, ya.  

Julie/Th. Puspayanti