Unsur Kekinian pada Adaptasi Kisah Klasik Tiongkok "Opera Ular Putih"

By nova.id, Selasa, 14 April 2015 | 21:14 WIB
Unsur Kekinian pada Adaptasi Kisah Klasik Tiongkok Opera Ular Putih (nova.id)

Tabloidnova.com - Bagi para penggemar setia pertunjukkan Teater Koma yang sudah lama menanti pementasan mereka yang terbaru, kini dapat kembali menyaksikan produksi ke-139 teater paling ternama di Tanah Air, melalui pementasan "Opera Ular Putih". 

Teater Koma yang didukung oleh Djarum Apresiasi Budaya akan mementaskan Opera Ular Putih selama lebih dari dua minggu, pada 3-19 April di Graha Bhakti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta.

Lakon Opera Ular Putih ini diangkat dari legenda kuno asli Tiongkok yang sebelumnya pernah ditampilkan di tempat yang sama oleh Teater Koma, yakni pada 1994 silam. Berkisah tentang Siluman Ular Putih yang ingin menjadi manusia, sehingga ia bertapa selama seribu tahun lamanya.

Melihat usaha dan kebaikan yang ada dalam diri sang siluman, para dewa lantas mengabulkan permohonannya. Hingga siluman ular putih pun menjelma jadi perempuan cantik jelita bernama Tinio. Bersama adiknya, Siluman Ular Hijau, yang juga menjelma sebagai manusia bernama Siocing, keduanya menjalani kehidupan sebagai manusia biasa.

Kisah berlanjut tatkala Tinio bertemu pemuda bernama Hanbun, yang merupakan reinkarnasi dari seseorang yang pada ratusan tahun lalu pernah menolong Ular Putih. Tinio pun bertekad untuk menjadi istri Hanbun. Singkat cerita, keduanya pun menikah.

Namun kedamaian mereka terusik ketika Hanbun bertemu Gowi, peramal yang memberitahu bahwa istrinya adalah seekor siluman ular jahat. Padahal, selama ini Tinio selalu bersikap baik terhadap suaminya dan kepada siapa pun.

Dari kisah ini kemudian muncul pertanyaan, apakah sesuatu yang dikutuk sebagai kejahatan memang benar kejahatan? Apakah hal yang diagungkan sebagai kebaikan hanya merupakan kedok dari suatu kebusukan? Dalam kisah ini juga dituturkan mengenai pengorbanan, kebijaksanaan dan cinta.

Selain kisah yang menarik, yang unik dari pementasan Opera Ular Putih adalah kostum yang dipakai para pemain yang dirancang Rima Ananda Oemar. Semua kostum tak terpagar dalam satu budaya yang sama, namun memperlihatkan perpaduan motif batik khas Indonesia pada model busana khas Tiongkok.

Ditambah tata rias oleh Sena Sukarya, perpaduan unsur Indonesia dan Tiongkok yang sangat kental semakin terasa kuat dalam mewakili semangat akulturasi budaya melalui pementasan ini.

"Lakon Opera Ular Putih diangkat dari kisah klasik Tingkok berjudul Ouw Peh Coa, yang naskahnya dibuat pada 1994. Secara garis besar, pementasannya tak jauh berbeda dengan yang dipentaskan dulu. Tapi memang terdapat beberapa unsur kekinian yang ditambahkan pada pementasan Opera Ular Putih yang sekarang," papar sang sutradara, penyadur naskah, dan pendiri Teater Koma, Nano Riantiarno.

Unsur kekinian atau kebaruan yang ditampilkan Nano pada pementasan Opera Ular Putih ini muncul melalui sejumlah idiom yang populer di masa kini yang diucapkan para pemainnya di atas panggung, termasuk memasukkan perilaku yang sedang tren di masa sekarang, seperti adegan berfoto selfie dan sebagainya.

Melalui pementasan ini, Nano pun tetap memiliki satu pertanyaan yanng masih sangat relevan diajukan di masa kini, "Masih sanggupkah kita membedakan siapa manusia dan siapa siluman? Semoga penonton dapat mengambil makna yang kaya akan pesan moral tersirat yang berusaha kami sampaikan dalam lakon ini."